“Kenapa kantung matamu menghitam? Apa kamu selalu begadang setiap malam? Bukannya sudah aku katakan, biar Bibi Utari saja yang menemani Elvina jika dia terbangun tengah malam?” tanya Tama sembari menangkup wajah Syera dengan kedua tangannya. Lelaki yang baru saja kembali dari perjalanan dinas dari luar kota itu langsung menghampiri Syera yang sedang menyapu halaman depan. Tepat di hari mereka kembali ke rumah ini, Tama harus langsung berangkat ke luar kota untuk mengurus bisnis selama 2 hari. Tama tidak tahu saja apa yang telah Rebecca lakukan selama lelaki itu tidak berada di sini. Seluruh perintah yang Tama inginkan tak terlaksana dengan benar karena wanita paruh baya itu memiliki aturannya sendiri. Syera yang seharusnya masih banyak-banyak beristirahat malah diberi tugas berkali-kali lipat lebih banyak dari sebelumnya. Ia begadang bukan karena Elvina yang terjaga tengah malam, akan tetapi karena Rebecca sengaja mengundang teman-teman wanita paruh baya itu berkumpul di sini sa
“Tentu saja pernah. Di pemakaman Kirana? Atau di rumah sakit? Saya memang datang sedikit terlambat karena baru pulang dari luar kota. Wajar kalau kamu lupa. Memangnya ada apa?” balas pria paruh baya bernama Faisal itu dengan kening berkerut. Syera belum pernah satu kali pun menginjakkan kakinya di makam Kirana. Sebab, ketika wanita itu dimakamkan, ia juga sedang berkabung karena kepergian ayahnya. Syera juga masih mengingat siapa saja yang datang ke rumah sakit malam itu hingga akhirnya ia memilih melarikan diri. Hanya Rebecca dan kedua orang tua Kirana yang datang. Tidak ada anggota keluarga lainnya. Entah kenapa, Syera merasa ia pernah bertemu dengan pria paruh baya ini di tempat lain. Sepertinya sudah cukup lama karena ingatan itu samar-samar. Dirinya pun tidak dapat memastikan di mana tempat itu berada. “Emm … aku hanya merasa wajah Tuan sedikit familiar. Aku pikir kita pernah bertemu sebelumnya. Maksudku, sebelum malam kecelakaan itu,” jawab Syera dengan senyum canggung. “Sebe
Syera yang tak sempat menghindar hanya membeku saat tubuhnya tiba-tiba direngkuh seseorang. Namun, Tama yang berdiri di sampingnya lebih cepat merespon dan langsung menarik paksa lelaki asing itu menjauh darinya. “Apa kamu tidak punya sopan santun dan tidak malu memeluk istri orang di tempat umum?” cerca Tama penuh penekanan. Rahangnya mengeras. Ia tak suka melihat miliknya disentuh oleh lelaki lain, apalagi tepat di depan matanya. “Tu—emm … dia sepupuku,” sahut Syera yang berhasil membuat Tama tampak salah tingkah sebelum kembali memasang ekspresi garang.Karena telah bertahun-tahun tidak bertemu, Syera sedikit pangling dengan lelaki yang tiba-tiba menghampirinya ini. Aldo adalah anak dari kakak kandung ayahnya, satu-satunya sepupu yang ia miliki dan tinggal di luar kota dalan beberapa tahun terakhir. Komunikasi di antara mereka juga terputus karena nomor telepon keluarga Aldo mendadak tak bisa dihubungi sejak tahun lalu. Entah karena apa alasannya. Oleh karena itu, ketika aya
“A-apa? Tidak pernah menikah? Lalu, bagaimana dengan keberadaanku? Atau jangan-jangan Ayah melakukannya dengan—” Syera tak sanggup melanjutkan kalimatnya karena terlalu syok. Fakta ini sangat mengguncangnya. Selama ini, Syera percaya saja jika ibu kandungnya memang meninggal dunia setelah melahirkannya. Hanya beberapa kali dirinya menanyakan tentang ibu kandungnya itu, bukan karena tidak peduli, melainkan tak ingin membuat sang ayah kembali membuka luka lama. Pantas saja, selama puluhan tahun, belum pernah sekalipun Kuncoro menunjukkan di mana makam ibu kandungnya. Syera tak berani meminta diantar ke sana karena respon sang ayah memang kurang baik setiap kali ia membahas tentang ibunya. “Aku sudah berusaha menggali informasi lebih dari orang tuaku. Tapi, tidak banyak yang mereka tahu atau mungkin mereka memang sengaja menyembunyikannya.” Melihat Syera yang tampak begitu sedih, Aldo langsung menggenggam kedua tangan wanita itu. “Aku hanya ingin berkata jujur, tapi tolong jangan m
Biasanya Syera akan terkejut ketika mendapati posisinya dengan Tama cukup intim. Namun, saat ini berbeda, tidak ada keterkejutan di wajahnya yang bersemu merah membayangkan sesuatu yang terjadi beberapa jam lalu. Syera akui cara yang Tama lakukan benar-benar berhasil mengalihkan pikirannya meski hanya sejenak. Ia mengira dirinya akan terlelap nyenyak sampai matahari terbit. Tetapi, ternyata dirinya harus terbangun karena sesuatu dan memiliki kesempatan untuk mengamati wajah damai Tama yang terlelap di sampingnya. Syera harus banyak-banyak berterima kasih pada Tama yang tak disangka bersedia menemaninya. Lelaki itu memang tidak memberikan solusi atau banyak berkomentar. Namun, kehadirannya saja sudah cukup menghibur Syera. Walaupun kemungkinan besar alasan Tama berada di sampingnya hanya karena kasihan. “Tuan, boleh aku minta tolong?” gumam Syera sembari mengguncang pelan bahu tegap Tama. Syera tak terlalu berharap Tama akan bangun apalagi bersedia memenuhi keinginannya. Tetapi
Syera mengerjapkan matanya, seakan tak mempercayai kata-kata terakhir yang Tama katakan. Wanita itu membeku selama beberapa saat dengan manik mata membulat sempurna. Ia menunggu lelaki itu meralat kalimat sebelumnya, barangkali ia salah mendengar atau Tama yang salah ucap. Namun, Tama hanya diam dan berbalik menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan. “Tidak ada model yang kamu sukai di sini?” tanya Tama sebelum mengalihkan pandangan ke arah sang manajer toko yang duduk di hadapannya. “Bawakan semua desain cincin terbaik yang kalian miliki.” Syera gelagapan. Sebenarnya maksudnya bukan seperti itu. Ia ingin menolak, namun bingung harus mengatakan apa. Sungguh, dirinya benar-benar tak menyangka Tama akan memberikan sesuatu yang bahkan tidak pernah lelaki itu bahas sejak hari pertama pernikahan mereka. Syera mengira Tama hanya ingin membelikan perhiasan untuk Elvina. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya mengharapkan lelaki itu membelikan perhiasan untuknya. Apalagi samp
“Apa maksudmu, Tuan? Apa Anda sudah tidak menganggapku pembunuh Nyonya Kirana lagi?” sahut Syera yang tampak sedikit berbinar. Ia selalu menunggu saat di mana dirinya tak akan lagi dituduh pembunuh. “Jika iya, apa Tuan akan segera melepasku?” Pertanyaan antusias Syera malah dibalas tarikan cukup kuat pada lengannya. Mulutnya spontan memekik dan tubuhnya limbung tanpa bisa dicegah. Wajahnya berubah merah padam saat menyadari dirinya sudah berada dalam pangkuan Tama. Belakangan ini, sikap Tama selalu membuat jantungnya nyaris lepas dari sarangnya. Walaupun saat ini suaminya lebih banyak menunjukkan sikap manusiawi, tetapi itu malah berbahaya baginya. Sebab, lelaki itu selalu berhasil membuatnya ketar-ketir. Syera malah lebih suka Tama menjaga jarak dengannya. “Apa Anda tidak bisa memberi aba-aba dulu sebelum melakukan sesuatu, Tuan? Bagaimana kalau aku terjatuh dan itu semakin membahayakan kami berdua?” protes Syera yang masih berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Aku tidak akan mem
“Untuk apa membuat kue sebanyak ini? Apa kamu berencana ingin membuat pesta untuk merayakan kepergianku? Merasa bisa lepas dariku?” sindir Tama yang telah tampil rapi dalam balutan setelan kantoran serba hitamnya. Tama yang seharusnya sudah berangkat ke kantor itu malah berbelok ke dapur karena menangkap aroma cake yang menyebar di seluruh penjuru ruangan. Ketika melangkah ke dapur, ia mendapati Syera yang tengah berkutat di sana dengan beberapa macam cake. Suara bariton Tama yang tiba-tiba terdengar membuat Syera terkesiap. Akibatnya, punggung tangan wanita itu tak sengaja bersentuhan dengan bagian oven yang panas. Ia spontan meletakkan loyang yang diambilnya di sembarang tempat sembari meringis kesakitan. Decak samar lolos dari bibir Tama. Lelaki itu bergegas menyebrangi dapur dan memeriksa luka bakar yang tercipta pada punggung tangan Syera. Kemudian menarik wanita itu mengikuti langkahnya menuju tempat penyimpanan kotak obat. Luka tersebut memang tidak terlalu besar, namun t