Udara sejuk yang menerpa punggungnya menyebabkan Syera terjaga. Rengkuhan erat Tama hanya mampu memberi kehangatan di satu sisi saja. Sementara dingin itu tetap terasa di sisi lainnya. Menguatkan bukti jika di balik selimut yang sudah melorot ke pinggangnya ini, ia tidak mengenakan apa pun lagi. Kantuk yang semula masih samar terasa kini hilang tak bersisa. Wanita itu mengubah posisinya menjadi telentang dan menatap nyalang ke depan. Mereka ulang kejadian yang beberapa jam lalu terjadi. Setelah sekian kali tertunda, akhirnya ia dan Tama kembali melakukannya semalam. Tama sempat berbisik padanya, mengatakan akan memberi kenangan baru untuk menghapus trauma pada kejadian di club malam itu. Nyatanya, lelaki itu memang berhasil, menggeser kenangan kelam itu dengan apa yang terjadi semalam. “Kamu sudah bangun? Lapar, hm?” Tama yang terbangun karena pergerakan Syera kontan kembali mengeratkan rengkuhannya. “Sepertinya iya. Apa Tuan mau membuatkan sesuatu untukku?” gurau Syera sembari ter
Syera yang sedang menyesap orange juicenya langsung tersedak mendengar bisikan Utari. Wanita itu spontan bangkit dari posisinya dan bercermin pada spion mobil yang kebetulan terparkir tak jauh dari sana. Ia ingin mengecek sesuatu, dan ternyata benar saja, bercak kemerahan yang memenuhi leher dan dadanya masih tampak samar-samar. Padahal sebelum keluar kamar untuk mencari sarapan tadi, Syera telah menutupi semuanya menggunakan makeup. Ia juga sudah memastikan jika tidak ada lagi yang terlihat. Namun, ternyata masih ada beberapa bagian yang kurang merata dan Tama tidak mengatakannya sama sekali. Pantas saja beberapa orang yang berpapasan dengannya menatapnya dengan sorot aneh. Syera menarik ikat rambutnya, membiarkan rambut hitam legamnya tergerai indah dan menutupi lehernya sampai ke bahu. Kalau bukan karena gerah, Syera tak akan mengikat rambutnya dan secara tidak langsung membuat dirinya menjadi tontonan orang lain. “Syera, tidak perlu panik. Kalau tidak dilihat dari jarak yang cuk
Syera yang berbaring telentang di atas ranjang masih menatap jam di dinding kamarnya dalam cahaya remang-remang. Malam semakin larut dan seharusnya ia sudah terlelap sekarang. Namun,matanya masih terbuka lebar dan tak ada tanda-tanda kantuk akan datang. Alasannya sederhana tetapi cukup sulit terwujud dalam keadaan seperti ini. Entah kenapa, Syera begitu menginginkan Tama memeluknya sekarang. Seperti yang biasa lelaki itu lakukan di malam-malam sebelumnya. Namun, jelas saja ia tidak berani untuk sekadar meminta. Sejak sikap Tama berubah drastis beberapa jam lalu, mereka benar-benar saling bungkam satu sama lain. Tak mungkin Syera tiba-tiba meminta permintaan konyol semacam itu. Bisa-bisa suaminya malah akan semakin mengamuk dan berkata kasar. “Tuan.” Syera berbisik samar. Namun, suaranya pasti masih bisa terdengar jika Tama yang berbaring di sampingnya belum tidur. Karena tak ada jawaban sama sekali, Syera bergeser pelan-pelan mendekati Tama dan menyentuh bahu lelaki itu. Namu
Syera spontan bersingkut mundur setelah tak ada lagi yang menyeret tubuhnya. Selama beberapa saat wanita itu masih menunduk dengan tubuh gemetar ketakutan. Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya dan saat itu pula netra hazelnya bertabrakan dengan manik hitam legam suaminya yang sedang melawan para lelaki cabul itu. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, memastikan sosok yang tengah bergulat dengan ketiga lelaki mabuk itu. Ia tidak mungkin salah, lelaki itu memang Tama. Namun, bagaimana caranya lelaki itu menemukan keberadaannya? Syera menyeret langkah menjauh dari sana hingga punggungnya menabrak tembok pembatas di belakangnya. Sorot matanya tak lepas dari sosok Tama yang sangat lihai melawan 3 orang sekaligus. Namun, tetap saja hal itu tak membuat kekhawatirannya berkurang. Sayangnya, ia tak bisa membantu sama sekali. “Awas di belakangmu, Tuan!” pekik Syera spontan saat salah satu di antara orang-orang itu nyaris memukul Tama dari belakang mengunakan batu besar. Beruntung, Ta
Syera mengerutkan keningnya tepat ketika mobil yang dikendarai oleh asisten suaminya berhenti di dekat tempat perbelanjaan. Tempat yang cukup dekat dengan area jalan-jalannya kemarin. “Kenapa kita berhenti di sini, Tuan? Apa kita tidak langsung ke bandara saja?” “Kita tidak jadi kembali ke Jakarta hari ini. Masih ada beberapa hal yang harus kita selesaikan sebelum pulang. Ayo turun!” tutur Tama yang lebih dulu turun dari mobil. Lelaki itu melangkah memutari mobil dan membukakan pintu untuk Syera. Syera mengerutkan keningnya bingung. Namun, ia tetap melangkah turun dari mobil dan membalas gandengan Tama. Sejak masih berada di hotel tadi, dirinya memang sudah heran karena Elvina tidak diizinkan ikut. Syera mengira mereka memang akan menggunakan mobil terpisah. Tetapi ternyata Tama memiliki rencana lain. Setelah kejadian semalam, jujur saja dirinya memang ingin segera kembali ke Jakarta. Syera ingin segera menghapus sisa kenangan pahit itu. Setidaknya jika ia tidak berada di sini lagi,
“Apa?! Alat pelacak?! Kapan Tuan menaruh alat pelacak di cincin ini?! Kenapa Tuan melakukannya?!” sentak Syera dengan suara tertahan. Dari semua kemungkinan, ia tak menyangka ternyata Tama meletakkan alat pelacak di cincinnya. Walaupun alat pelacak tersebut sangat membantu semalam, tetapi tetap saja itu melanggar privasinya. Pantas saja Tama begitu mudah menemukannya karena lelaki itu memang bisa memantau keberadaannya kapan pun dan di mana pun. Syera spontan melepas cincin yang tersemat di jari manisnya itu. Tak peduli suaminya akan marah padanya. Namun, Tama lebih dulu mencegah dan menggenggam tangannya erat. Kemudian, melempar tatapan amat tajam. “Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak boleh melepasnya dan kita sudah menyepakati itu!” sentak Tama penuh penekanan, namun masih dengan suara pelan. Tak ingin orang-orang di sekitar sana mendengar percakapan mereka. “Aku setuju karena tidak tahu kalau Tuan memasang alat pelacak di cincin ini! Kalau aku tahu sejak awal, aku tidak akan mau m
Syera yang semula terkantuk-kantuk kontan menegang. Wanita itu spontan menoleh ke belakang bersamaan dengan Utari juga dokter Elly yang duduk di bangku belakang. Ternyata ada sebuah mobil hitam yang memang sedari tadi berada di belakang mobil ini. “Apa Mas yakin? Bisa saja mobil itu memang memiliki tujuan yang sama dengan kita,” sahut Syera yang masih mengumpulkan nyawanya karena nyaris jatuh terlelap tadi. “Kita tidak boleh asal menuduh tanpa bukti.” Ia juga menyadari jika mobil itu berada di belakang mobil Tama, namun belum tentu juga mobil tersebut sengaja mengikuti mereka. “Kamu terlalu polos dan tidak mengerti apa-apa. Sejak kita keluar dari hotel, mobil itu sudah berada di belakang mobil kita. Untuk membuktikannya, kita putar arah saja. Kita buktikan mobil itu mengikuti kita atau tidak!” tegas Tama tak ingin dibantah. Arman yang menjadi supir dalam perjalanan ini segera membelokkan mobil ke kiri, padahal seharusnya mereka menggunakan jalur lurus agar lebih cepat sampai di band
“Mereka adalah orang-orang yang sama dengan peneror Kirana dulu. Polisi menemukan lencana ini di dalam mobil yang mereka tumpangi. Aku ingat lencana itu dimiliki oleh orang-orang yang mengganggu Kirana,” beber Tama seraya meletakkan sebuah lencana kecil berbentuk lingkaran dengan aksen unik itu di samping Syera. Syera yang sedang menyuapi Elvina spontan menoleh dengan mata membulat sempurna. Tak menyangka ternyata ketiga lelaki brengsek yang mengejarnya dan nyaris membuat mereka semua celaka kemarin ada kaitannya dengan peneror mendiang Kirana. Entah apa lagi yang mereka inginkan sampai nekat mengejarnya dua hari lalu. Jika seperti itu, ada kemungkinan dirinya dan anggota keluarga Tama lainnya sudah diincar sejak lama. Berarti orang-orang itu berniat mencelakainya seandainya Tama tidak cepat datang. Padahal tempat ini cukup jauh dari kota asal mereka. Namun, dengan begitu mudahnya orang-orang misterius itu menjadi menyusul dirinya dan Tama kemari. Mulai sekarang ia harus menamba