Syera yang berbaring telentang di atas ranjang masih menatap jam di dinding kamarnya dalam cahaya remang-remang. Malam semakin larut dan seharusnya ia sudah terlelap sekarang. Namun,matanya masih terbuka lebar dan tak ada tanda-tanda kantuk akan datang. Alasannya sederhana tetapi cukup sulit terwujud dalam keadaan seperti ini. Entah kenapa, Syera begitu menginginkan Tama memeluknya sekarang. Seperti yang biasa lelaki itu lakukan di malam-malam sebelumnya. Namun, jelas saja ia tidak berani untuk sekadar meminta. Sejak sikap Tama berubah drastis beberapa jam lalu, mereka benar-benar saling bungkam satu sama lain. Tak mungkin Syera tiba-tiba meminta permintaan konyol semacam itu. Bisa-bisa suaminya malah akan semakin mengamuk dan berkata kasar. “Tuan.” Syera berbisik samar. Namun, suaranya pasti masih bisa terdengar jika Tama yang berbaring di sampingnya belum tidur. Karena tak ada jawaban sama sekali, Syera bergeser pelan-pelan mendekati Tama dan menyentuh bahu lelaki itu. Namu
Syera spontan bersingkut mundur setelah tak ada lagi yang menyeret tubuhnya. Selama beberapa saat wanita itu masih menunduk dengan tubuh gemetar ketakutan. Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya dan saat itu pula netra hazelnya bertabrakan dengan manik hitam legam suaminya yang sedang melawan para lelaki cabul itu. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, memastikan sosok yang tengah bergulat dengan ketiga lelaki mabuk itu. Ia tidak mungkin salah, lelaki itu memang Tama. Namun, bagaimana caranya lelaki itu menemukan keberadaannya? Syera menyeret langkah menjauh dari sana hingga punggungnya menabrak tembok pembatas di belakangnya. Sorot matanya tak lepas dari sosok Tama yang sangat lihai melawan 3 orang sekaligus. Namun, tetap saja hal itu tak membuat kekhawatirannya berkurang. Sayangnya, ia tak bisa membantu sama sekali. “Awas di belakangmu, Tuan!” pekik Syera spontan saat salah satu di antara orang-orang itu nyaris memukul Tama dari belakang mengunakan batu besar. Beruntung, Ta
Syera mengerutkan keningnya tepat ketika mobil yang dikendarai oleh asisten suaminya berhenti di dekat tempat perbelanjaan. Tempat yang cukup dekat dengan area jalan-jalannya kemarin. “Kenapa kita berhenti di sini, Tuan? Apa kita tidak langsung ke bandara saja?” “Kita tidak jadi kembali ke Jakarta hari ini. Masih ada beberapa hal yang harus kita selesaikan sebelum pulang. Ayo turun!” tutur Tama yang lebih dulu turun dari mobil. Lelaki itu melangkah memutari mobil dan membukakan pintu untuk Syera. Syera mengerutkan keningnya bingung. Namun, ia tetap melangkah turun dari mobil dan membalas gandengan Tama. Sejak masih berada di hotel tadi, dirinya memang sudah heran karena Elvina tidak diizinkan ikut. Syera mengira mereka memang akan menggunakan mobil terpisah. Tetapi ternyata Tama memiliki rencana lain. Setelah kejadian semalam, jujur saja dirinya memang ingin segera kembali ke Jakarta. Syera ingin segera menghapus sisa kenangan pahit itu. Setidaknya jika ia tidak berada di sini lagi,
“Apa?! Alat pelacak?! Kapan Tuan menaruh alat pelacak di cincin ini?! Kenapa Tuan melakukannya?!” sentak Syera dengan suara tertahan. Dari semua kemungkinan, ia tak menyangka ternyata Tama meletakkan alat pelacak di cincinnya. Walaupun alat pelacak tersebut sangat membantu semalam, tetapi tetap saja itu melanggar privasinya. Pantas saja Tama begitu mudah menemukannya karena lelaki itu memang bisa memantau keberadaannya kapan pun dan di mana pun. Syera spontan melepas cincin yang tersemat di jari manisnya itu. Tak peduli suaminya akan marah padanya. Namun, Tama lebih dulu mencegah dan menggenggam tangannya erat. Kemudian, melempar tatapan amat tajam. “Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak boleh melepasnya dan kita sudah menyepakati itu!” sentak Tama penuh penekanan, namun masih dengan suara pelan. Tak ingin orang-orang di sekitar sana mendengar percakapan mereka. “Aku setuju karena tidak tahu kalau Tuan memasang alat pelacak di cincin ini! Kalau aku tahu sejak awal, aku tidak akan mau m
Syera yang semula terkantuk-kantuk kontan menegang. Wanita itu spontan menoleh ke belakang bersamaan dengan Utari juga dokter Elly yang duduk di bangku belakang. Ternyata ada sebuah mobil hitam yang memang sedari tadi berada di belakang mobil ini. “Apa Mas yakin? Bisa saja mobil itu memang memiliki tujuan yang sama dengan kita,” sahut Syera yang masih mengumpulkan nyawanya karena nyaris jatuh terlelap tadi. “Kita tidak boleh asal menuduh tanpa bukti.” Ia juga menyadari jika mobil itu berada di belakang mobil Tama, namun belum tentu juga mobil tersebut sengaja mengikuti mereka. “Kamu terlalu polos dan tidak mengerti apa-apa. Sejak kita keluar dari hotel, mobil itu sudah berada di belakang mobil kita. Untuk membuktikannya, kita putar arah saja. Kita buktikan mobil itu mengikuti kita atau tidak!” tegas Tama tak ingin dibantah. Arman yang menjadi supir dalam perjalanan ini segera membelokkan mobil ke kiri, padahal seharusnya mereka menggunakan jalur lurus agar lebih cepat sampai di band
“Mereka adalah orang-orang yang sama dengan peneror Kirana dulu. Polisi menemukan lencana ini di dalam mobil yang mereka tumpangi. Aku ingat lencana itu dimiliki oleh orang-orang yang mengganggu Kirana,” beber Tama seraya meletakkan sebuah lencana kecil berbentuk lingkaran dengan aksen unik itu di samping Syera. Syera yang sedang menyuapi Elvina spontan menoleh dengan mata membulat sempurna. Tak menyangka ternyata ketiga lelaki brengsek yang mengejarnya dan nyaris membuat mereka semua celaka kemarin ada kaitannya dengan peneror mendiang Kirana. Entah apa lagi yang mereka inginkan sampai nekat mengejarnya dua hari lalu. Jika seperti itu, ada kemungkinan dirinya dan anggota keluarga Tama lainnya sudah diincar sejak lama. Berarti orang-orang itu berniat mencelakainya seandainya Tama tidak cepat datang. Padahal tempat ini cukup jauh dari kota asal mereka. Namun, dengan begitu mudahnya orang-orang misterius itu menjadi menyusul dirinya dan Tama kemari. Mulai sekarang ia harus menamba
“Kenapa, Mas? Kami hanya mengobrol biasa, seperti itu saja tidak boleh?” tanya Syera dengan kening berkerut. “Ck! Tentu saja tidak! Kamu terlalu polos dan bisa membeberkan apa pun bahkan yang seharusnya tidak perlu orang lain tahu! Ini berlaku untuk siapa pun. Kamu tidak boleh terlalu akrab dengan siapa pun karena ada banyak hal yang tidak boleh dibahas!” sahut Tama tegas. Syera menatap Tama dengan mulut menganga lebar. Tak menyangka Tama akan memberi alasan seperti itu. Alasan yang sangat tidak masuk akal dan berlebihan. Dirinya bukan anak kecil yang harus diatur sedemikian rupa sampai tutur katanya juga. “Aku pasti bisa mengontrol diri! Mana mungkin aku membeberkan sesuatu yang tidak seharusnya aku katakan?! Selama ini aku juga selalu bisa mengontrol pembicaraan dengan siapa pun!” protes Syera tak terima. “Atau jangan-jangan sebenarnya Mas sengaja ingin membuatku tidak punya teman mengobrol?!” gerutu wanita itu dengan wajah bersungut-sungut kesal. “Mas tega sekali kalau begitu. A
Seakan memiliki dendam kesumat, begitu sampai di rumah setelah menempuh perjalanan udara, Tama langsung menarik Syera memasuki kamarnya dan mengunci ruangan tersebut. Yang lebih mengejutkan lagi, lelaki itu sampai mengambil kunci kamarnya dan meletakkan di saku celananya. Syera yang sedari tadi dibekap langsung memberontak dan melepaskan diri. Namun, Tama tak membiarkan dirinya terlepas meski lelaki itu telah menyingkirkan tangan dari mulutnya. “Untuk apa sampai dikunci segala?! Aku harus membereskan barang-barang Elvina di kamar sebelah!” “Bukankah harusnya sekarang Mas pergi ke kantor? Ayo bersiap-siaplah! Tolong buka pintunya agar aku bisa menyiapkan sarapan dan keperluan lainnya,” imbuh wanita itu dengan senyum kecil, berharap Tama akan mengabulkan keinginannya. Sebenarnya Syera mengerti apa yang sedang Tama rencanakan. Meskipun telah berulang kali melakukannya dengan orang yang sama, tetap saja selalu mendebarkan hatinya. Dan sekarang dirinya masih terlalu lelah untuk melakukan