“Apa?! Alat pelacak?! Kapan Tuan menaruh alat pelacak di cincin ini?! Kenapa Tuan melakukannya?!” sentak Syera dengan suara tertahan. Dari semua kemungkinan, ia tak menyangka ternyata Tama meletakkan alat pelacak di cincinnya. Walaupun alat pelacak tersebut sangat membantu semalam, tetapi tetap saja itu melanggar privasinya. Pantas saja Tama begitu mudah menemukannya karena lelaki itu memang bisa memantau keberadaannya kapan pun dan di mana pun. Syera spontan melepas cincin yang tersemat di jari manisnya itu. Tak peduli suaminya akan marah padanya. Namun, Tama lebih dulu mencegah dan menggenggam tangannya erat. Kemudian, melempar tatapan amat tajam. “Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak boleh melepasnya dan kita sudah menyepakati itu!” sentak Tama penuh penekanan, namun masih dengan suara pelan. Tak ingin orang-orang di sekitar sana mendengar percakapan mereka. “Aku setuju karena tidak tahu kalau Tuan memasang alat pelacak di cincin ini! Kalau aku tahu sejak awal, aku tidak akan mau m
Syera yang semula terkantuk-kantuk kontan menegang. Wanita itu spontan menoleh ke belakang bersamaan dengan Utari juga dokter Elly yang duduk di bangku belakang. Ternyata ada sebuah mobil hitam yang memang sedari tadi berada di belakang mobil ini. “Apa Mas yakin? Bisa saja mobil itu memang memiliki tujuan yang sama dengan kita,” sahut Syera yang masih mengumpulkan nyawanya karena nyaris jatuh terlelap tadi. “Kita tidak boleh asal menuduh tanpa bukti.” Ia juga menyadari jika mobil itu berada di belakang mobil Tama, namun belum tentu juga mobil tersebut sengaja mengikuti mereka. “Kamu terlalu polos dan tidak mengerti apa-apa. Sejak kita keluar dari hotel, mobil itu sudah berada di belakang mobil kita. Untuk membuktikannya, kita putar arah saja. Kita buktikan mobil itu mengikuti kita atau tidak!” tegas Tama tak ingin dibantah. Arman yang menjadi supir dalam perjalanan ini segera membelokkan mobil ke kiri, padahal seharusnya mereka menggunakan jalur lurus agar lebih cepat sampai di band
“Mereka adalah orang-orang yang sama dengan peneror Kirana dulu. Polisi menemukan lencana ini di dalam mobil yang mereka tumpangi. Aku ingat lencana itu dimiliki oleh orang-orang yang mengganggu Kirana,” beber Tama seraya meletakkan sebuah lencana kecil berbentuk lingkaran dengan aksen unik itu di samping Syera. Syera yang sedang menyuapi Elvina spontan menoleh dengan mata membulat sempurna. Tak menyangka ternyata ketiga lelaki brengsek yang mengejarnya dan nyaris membuat mereka semua celaka kemarin ada kaitannya dengan peneror mendiang Kirana. Entah apa lagi yang mereka inginkan sampai nekat mengejarnya dua hari lalu. Jika seperti itu, ada kemungkinan dirinya dan anggota keluarga Tama lainnya sudah diincar sejak lama. Berarti orang-orang itu berniat mencelakainya seandainya Tama tidak cepat datang. Padahal tempat ini cukup jauh dari kota asal mereka. Namun, dengan begitu mudahnya orang-orang misterius itu menjadi menyusul dirinya dan Tama kemari. Mulai sekarang ia harus menamba
“Kenapa, Mas? Kami hanya mengobrol biasa, seperti itu saja tidak boleh?” tanya Syera dengan kening berkerut. “Ck! Tentu saja tidak! Kamu terlalu polos dan bisa membeberkan apa pun bahkan yang seharusnya tidak perlu orang lain tahu! Ini berlaku untuk siapa pun. Kamu tidak boleh terlalu akrab dengan siapa pun karena ada banyak hal yang tidak boleh dibahas!” sahut Tama tegas. Syera menatap Tama dengan mulut menganga lebar. Tak menyangka Tama akan memberi alasan seperti itu. Alasan yang sangat tidak masuk akal dan berlebihan. Dirinya bukan anak kecil yang harus diatur sedemikian rupa sampai tutur katanya juga. “Aku pasti bisa mengontrol diri! Mana mungkin aku membeberkan sesuatu yang tidak seharusnya aku katakan?! Selama ini aku juga selalu bisa mengontrol pembicaraan dengan siapa pun!” protes Syera tak terima. “Atau jangan-jangan sebenarnya Mas sengaja ingin membuatku tidak punya teman mengobrol?!” gerutu wanita itu dengan wajah bersungut-sungut kesal. “Mas tega sekali kalau begitu. A
Seakan memiliki dendam kesumat, begitu sampai di rumah setelah menempuh perjalanan udara, Tama langsung menarik Syera memasuki kamarnya dan mengunci ruangan tersebut. Yang lebih mengejutkan lagi, lelaki itu sampai mengambil kunci kamarnya dan meletakkan di saku celananya. Syera yang sedari tadi dibekap langsung memberontak dan melepaskan diri. Namun, Tama tak membiarkan dirinya terlepas meski lelaki itu telah menyingkirkan tangan dari mulutnya. “Untuk apa sampai dikunci segala?! Aku harus membereskan barang-barang Elvina di kamar sebelah!” “Bukankah harusnya sekarang Mas pergi ke kantor? Ayo bersiap-siaplah! Tolong buka pintunya agar aku bisa menyiapkan sarapan dan keperluan lainnya,” imbuh wanita itu dengan senyum kecil, berharap Tama akan mengabulkan keinginannya. Sebenarnya Syera mengerti apa yang sedang Tama rencanakan. Meskipun telah berulang kali melakukannya dengan orang yang sama, tetap saja selalu mendebarkan hatinya. Dan sekarang dirinya masih terlalu lelah untuk melakukan
“Menyesal? Tentu saja! Tidak ada satu pun orang yang ingin berada di posisiku dan memiliki kehidupan sepertiku!” jerit Syera yang benar-benar tak bisa mengontrol emosinya. Foto-foto Kirana yang terpajang di kamar ini dan ruangan lainnya berhasil menjatuhkan moodnya hingga ke dasar. Deru napaa Syera terengah-engah karena emosi yang semakin membumbung tinggi. “Masa depanku hancur! Bahkan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya! Semuanya berawal dari fitnah keji itu! A-aku harus berada di sini, kehilangan ayahku, dan semua rencana masa depan yang pernah aku susun dengan rapi.” Syera sudah tidak tahan lagi. Setiap detiknya selalu ia lewati dengan perasaan was-was juga rasa bersalah yang pekat. Meskipun ia bukan pembunuh Kirana dan tidak tahu apa pun tentang itu. Tetap saja apa yang dirinya lakukan sekarang tidak berbeda jauh. Syera merasa seakan merebut Tama dari Kirana, meskipun sebenarnya tidak seperti itu. Selama ini ia berusaha menyangkal dan mengabaikan rasa bersalah itu. Na
“Nyonya, maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Tadi aku kewalahan dan—” “Jangan banyak alasan! Hanya menjaganya saja kamu tidak becus! Kamu pasti sengaja ingin mencelakai cucu saya, ‘kan?! Dasar perempuan tidak tahu diri!” bentak Rebecca yang langsung menjambak rambut Syera setelah mengambil alih Elvina dari pangkuan wanita itu. Mengabaikan sang cucu yang masih menangis histeris, Rebecca lebih terobsesi menyiksa Syera. Tak peduli wanita yang sebenarnya merupakan menantunya itu menahan sakit, terlebih dalam keadaan hamil, Rebecca terus menarik rambut Syera. Wanita paruh baya dalam balutan pakaian hangat itu masih tampak pucat, namun tenaganya seakan tak berkurang. Tak berselang lama, Rebecca melepas jemarinya dari rambut Syera, namun setelahnya malah mendorong wanita itu. Untung saja, Syera langsung berpegangan pada bangku taman yang tadi ditempatinya. Kalau tidak, sudah pasti dirinya akan terjatuh. “Kalau kamu hanya ingin menyakitinya, jangan pernah berharap kamu bisa menyent
BYUR! Syera yang sedang terlelap kontan terlonjak hebat karena tubuhnya tiba-tiba basah kuyup. Ketika manik matanya terbuka, ia menemukan Rebecca yang tengah memegang sebuah ember kecil di hadapannya. Tubuh Syera langsung menggigil seketika. Air yang Rebecca siramkan padanya terasa sangat menusuk hingga ke tulangnya. Wanita itu spontan memeluk tubuhnya sendiri demi menghalau dingin yang menyergap meski tidak terlalu membantu. “Jangan harap kamu bisa berleha-leha di kamar hari ini! Cepat bangun dan bersiaplah! Hari ini adalah hari spesial cucu saya, kamu pasti tahu apa yang harus kamu lakukan! Saya tidak mau ada kekacauan hari ini, apalagi kalau kamu yang menjadi penyebabnya!” tutur Rebecca seraya menjatuhkan ember di tangannya hingga menimbulkan suara mengganggu. Rebecca menarik ujung dagu Syera, memaksa wanita yang masih mengumpulkan nyawa itu mengangkat kepala. “Kamu tidak boleh beristirahat sebelum acara hari ini selesai. Kamu juga harus ikut membereskan semuanya nanti.” Wanita