Kecupan hangat pada puncak kepalanya berhasil menarik kesadaran Syera. Wanita itu membuka manik hazelnya perlahan-lahan. Keningnya mengernyit ketika pencahayaan terang menyorot tepat di atas matanya dan membuat kepalanya semakin pening. Syera masih menyesuaikan indra penglihatannya ketika mendengar sesuatu berderit di sampingnya. Ia spontan menoleh dan mendapati sang suami yang juga menatap ke arahnya tengah menekan tombol di dekat tempatnya berbaring. “Akhirnya kamu sadar. Apa yang kamu rasakan? Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Tama seraya kembali menempati tempat duduknya. Namun, tak sedetik pun melepas tatapannya dari wajah Syera yang masih pucat pasi. Alih-alih menggubris pertanyaan Tama, Syera malah teringat sesuatu. “Ma—emm … Tuan, kenapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi? Bagaimana dengan pesta ulang tahun Elvina? Apa sudah selesai? Aku ingin melihatnya tiup lilin, tapi seperti tidak akan—” “Sekarang sudah malam. Acaranya sudah selesai sejak tadi siang,” sahut Tama m
“Kirana juga alergi kacang. Kebetulan sekalu kalian punya alergi yang sama,” tutur Tama sembari mengusap bubur yang menempel di sudut bibir Syera. Kali ini Tama tidak lagi membelikan makanan yang aneh-aneh untuk Syera. Tak ingin kejadian semalam kembali terulang. Karena mungkin saja Syera masih memiliki alergi lainnya yang bahkan tidak diketahui oleh sang empunya sendiri. Syera spontan menoleh mendengar kata-kata yang Tama lontarkan. “Oh, benarkah? Kebetulan sekali.” Wanita itu tidak tahu harus memberi respon seperti apa karena ia menyadari Tama masih marah padanya. “Tapi, dia tidak sebodoh kamu!” semprot Tama tanpa saringan sama sekali. “Kamu bukan anak kecil! Kenapa tidak mengatakan kalau kamu alergi kacang! Dan kamu juga langsung memakannya! Tidak mungkin selama ini kamu tidak pernah memakan makanan yang menggunakan kacang!”Syera mengerucutkan bibirnya. Kata-kata Tama selalu tajam menusuk tanpa dipilah sama sekali. Ia tahu ini juga karena keteledorannya. Akan tetapi, tidak
“Pergi ke mana, Mas? Dan bagaimana caranya kita keluar?” tanya Syera dengan kekhawatiran yang masih tampak sangat jelas di wajahnya. Syera tidak merasa seperti yang media tuduhkan padanya. Namun, para wartawan pasti tidak akan mempercayai pembelaannya. Apalagi ditambah dirinya tengah mengandung anak Tama sekarang. Asumsi orang-orang pasti semakin buruk. Dengan tubuh yang masih sangat lemas begini, ia malas menghadapi hal-hal seperti itu. “Aku akan memikirkannya dan yang jelas bukan melewati mereka,” jawab Tama seraya kembali berkutat dengan ponselnya dan menghubungi seseorang. Setelah cukup lama bertelepon dengan seseorang di seberang sana, Tama bergerak mendekati jendela yang terhubung dengan area luar. Kemudian berusaha membukanya dan berhasil! Jendela yang ukurannya lumayan besar itu kini terbuka lebar. Ternyata Arman telah menunggu Tama di dekat jendela. Setelah memberi anggukan singkat sebagai tanda hormat, lelaki itu langsung menyodorkan sebuah paper bag berukuran sedang
“Apa?! Jadi, semuanya batal karena aku? Tapi, kenapa? Bahkan, para tamu undangan juga sudah datang,” sahut Syera dengan mata membulat sempurna. Syera menatap sang putri yang asyik memandangi kue buatannya dengan sorot bersalah. Bukan hanya terlambat memberi ucapan selamat dan hadiah, ia juga menghancurkan acara ulang tahun putrinya. Seandainya dirinya tidak pingsan, acara tersebut pasti berlanjut sampai selesai. “Aku juga tidak tahu kenapa Mama memilih membatalkannya. Aku tidak pernah meminta acara itu dibatalkan. Setelah aku di rumah sakit, Mama marah dan memberitahu kalau acara ulang tahun Elvina dibatalkan,” jawab Tama seraya menarik kursi di samping baby chair Elvina dan menempatinya. “Mungkin karena orang-orang membicarakan kita. Entahlah, aku belum sempat menanyakannya. Sudahlah, tidak perlu merasa bersalah. Itu bukan salahmu. Lebih baik sekarang kamu nyalakan lilinnya, setelah itu langsung potong saja. Sepertinya putriku sudah tidak sabar ingin mencicipinya.” Lelaki itu m
“Aku di sini saja, Mas,” tolak Syera saat Tama menarik tangannya. Syera tak ingin mengganggu waktu Tama dan Elvina yang mungkin ingin mengobrol banyak dengan Kirana. Apalagi dirinya hanyalah orang luar yang tidak memiliki kepentingan sama sekali. Lebih baik ia diam di mobil saja sampai Tama dan Elvina kembali. “Tidak boleh, kamu harus ikut,” paksa Tama seraya membuka pintu mobil lebih lebar dan kembali menarik Syera keluar dari sana. “Elvina tidak akan mau ikut kalau kamu tidak ikut. Seperti saat ulang tahunnya waktu itu, dia rewel terus karena kamu tidak ada.”Walaupun sebenarnya keberatan, Syera terpaksa ikut turun dan membiarkan Tama menggandeng tangannya. Ia baru tahu kalau Kirana dimakamkan di tempat pemakaman ini. Padahal jaraknya masih cukup jauh dari pusat kota juga kediaman mereka. Entah kenapa malah tempat ini yang dipilih, padahal lebih memudahkan untuk berziarah jika tempatnya dekat. “Dulunya tanah ini memang milik keluarga Kirana. Namun, sudah lama dikelola sebagai
“Buku harian? Kenapa Bibi memberikan buku ini padaku? Mas Tama bisa marah kalau tahu aku menyentuh benda ini. Bibi simpan saja di tempat yang aman ya? Atau berikan langsung pada Mas Tama,” sahut Syera sembari mengembalikan buku yang Utari letakkan di pangkuannya. Tama akan marah besar jika melihatnya menyentuh buku rahasia itu tanpa izin, meski tak mengetahui apa isinya. Mereka baru saja berbaikan, jangan timbul masalah yang lebih rumit lagi hanya karena sebuah buku. “Aku tidak akan memberikan buku ini pada Tuan Tama. Kamu harus melihat isinya, siapa tahu ada informasi penting yang kamu butuhkan. Jangan sampai Tuan Tama tahu sebelum kamu membaca semuanya karena setelah itu kamu pasti tidak bisa menggali informasi lagi.” Utari mengembalikan buku harian berwarna merah muda itu ke pangkuan Syera. Syera hendak mengembalikan benda itu lagi, namun Utari lebih dulu menahan. “Kenapa Bibi yakin aku akan menemukan informasi itu di sini? Bagaimana kalau tidak ada tapi aku sudah terlanjur m
Syera melirik Tama yang masih terlelap nyenyak di sampingnya seraya menghela napas berat. Ia tahu saat ini langit masih gelap, namun kantuknya sudah menguap sejak beberapa saat lalu. Dirinya bukan tak bisa tidur, tetapi sepertinya pikirannya yang kacau membuatnya terjaga lebih cepat. Wanita itu mulai muak dengan isi pikirannya sendiri. Selalu saja, rasa bimbang dan sesal itu hadir setelah semuanya selesai. Kalau Tama tahu, lelaki itu pasti marah besar. Kejadian beberapa waktu lalu akan kembali terulang dan ia tak ingin itu terjadi. Syera tak pernah merasa takut pada suaminya, namun menolak sentuhan yang lelaki itu berikan sangatlah sulit. Padahal ada banyak kesempatan yang ia miliki untuk menghentikan semuanya, bahkan Tama pun memberinya kesempatan jika ingin berhenti. “Sampai kapan akan seperti ini terus?” Syera bermonolog dalam hati dengan mata menyorot lurus ke langit-langit kamar. Syera tak berani bergerak sama sekali, khawatir tidur Tama akan terusik karena pergerakannya.
Syera bangkit dari posisinya perlahan-lahan, kemudian melangkah cepat mendekati pintu dan menguncinya. Ia tak ingin ada yang masuk ke kamar ini, entah itu Utari apalagi Tama selama dirinya mengulik isi buku diary Kirana. Setelah mengunci pintu, Syera duduk di ujung ranjang. Ia menghela napas pelan sembari menatap sepotong kertas yang masih terlipat menjadi dua bagian itu. Meyakinkan diri untuk melanjutkan rencana gilanya ini terlepas dari apa pun risiko yang akan dirinya terima. Pelan-pelan Syera membuka lipatan kertas tersebut. Tulisan tangan sangat rapi terpampang di sana, sepertinya merupakan tulisan tangan Kirana. Ukuran tulisan tersebut memang cukup kecil, namun masih dapat terbaca dengan jelas. ‘Kukira dia sebaik yang terlihat. Dia selalu merangkulku, namun tak kusangka ternyata ada sebilah pisau di tangannya. Aku tertipu, aku terlalu lugu untuk menyadari maksudnya. Saat aku sadar, semuanya terlambat. Aku terlanjur terjebak. Aku ketakutan, tapi tidak mungkin mengatakan a