“Pergi ke mana, Mas? Dan bagaimana caranya kita keluar?” tanya Syera dengan kekhawatiran yang masih tampak sangat jelas di wajahnya. Syera tidak merasa seperti yang media tuduhkan padanya. Namun, para wartawan pasti tidak akan mempercayai pembelaannya. Apalagi ditambah dirinya tengah mengandung anak Tama sekarang. Asumsi orang-orang pasti semakin buruk. Dengan tubuh yang masih sangat lemas begini, ia malas menghadapi hal-hal seperti itu. “Aku akan memikirkannya dan yang jelas bukan melewati mereka,” jawab Tama seraya kembali berkutat dengan ponselnya dan menghubungi seseorang. Setelah cukup lama bertelepon dengan seseorang di seberang sana, Tama bergerak mendekati jendela yang terhubung dengan area luar. Kemudian berusaha membukanya dan berhasil! Jendela yang ukurannya lumayan besar itu kini terbuka lebar. Ternyata Arman telah menunggu Tama di dekat jendela. Setelah memberi anggukan singkat sebagai tanda hormat, lelaki itu langsung menyodorkan sebuah paper bag berukuran sedang
“Apa?! Jadi, semuanya batal karena aku? Tapi, kenapa? Bahkan, para tamu undangan juga sudah datang,” sahut Syera dengan mata membulat sempurna. Syera menatap sang putri yang asyik memandangi kue buatannya dengan sorot bersalah. Bukan hanya terlambat memberi ucapan selamat dan hadiah, ia juga menghancurkan acara ulang tahun putrinya. Seandainya dirinya tidak pingsan, acara tersebut pasti berlanjut sampai selesai. “Aku juga tidak tahu kenapa Mama memilih membatalkannya. Aku tidak pernah meminta acara itu dibatalkan. Setelah aku di rumah sakit, Mama marah dan memberitahu kalau acara ulang tahun Elvina dibatalkan,” jawab Tama seraya menarik kursi di samping baby chair Elvina dan menempatinya. “Mungkin karena orang-orang membicarakan kita. Entahlah, aku belum sempat menanyakannya. Sudahlah, tidak perlu merasa bersalah. Itu bukan salahmu. Lebih baik sekarang kamu nyalakan lilinnya, setelah itu langsung potong saja. Sepertinya putriku sudah tidak sabar ingin mencicipinya.” Lelaki itu m
“Aku di sini saja, Mas,” tolak Syera saat Tama menarik tangannya. Syera tak ingin mengganggu waktu Tama dan Elvina yang mungkin ingin mengobrol banyak dengan Kirana. Apalagi dirinya hanyalah orang luar yang tidak memiliki kepentingan sama sekali. Lebih baik ia diam di mobil saja sampai Tama dan Elvina kembali. “Tidak boleh, kamu harus ikut,” paksa Tama seraya membuka pintu mobil lebih lebar dan kembali menarik Syera keluar dari sana. “Elvina tidak akan mau ikut kalau kamu tidak ikut. Seperti saat ulang tahunnya waktu itu, dia rewel terus karena kamu tidak ada.”Walaupun sebenarnya keberatan, Syera terpaksa ikut turun dan membiarkan Tama menggandeng tangannya. Ia baru tahu kalau Kirana dimakamkan di tempat pemakaman ini. Padahal jaraknya masih cukup jauh dari pusat kota juga kediaman mereka. Entah kenapa malah tempat ini yang dipilih, padahal lebih memudahkan untuk berziarah jika tempatnya dekat. “Dulunya tanah ini memang milik keluarga Kirana. Namun, sudah lama dikelola sebagai
“Buku harian? Kenapa Bibi memberikan buku ini padaku? Mas Tama bisa marah kalau tahu aku menyentuh benda ini. Bibi simpan saja di tempat yang aman ya? Atau berikan langsung pada Mas Tama,” sahut Syera sembari mengembalikan buku yang Utari letakkan di pangkuannya. Tama akan marah besar jika melihatnya menyentuh buku rahasia itu tanpa izin, meski tak mengetahui apa isinya. Mereka baru saja berbaikan, jangan timbul masalah yang lebih rumit lagi hanya karena sebuah buku. “Aku tidak akan memberikan buku ini pada Tuan Tama. Kamu harus melihat isinya, siapa tahu ada informasi penting yang kamu butuhkan. Jangan sampai Tuan Tama tahu sebelum kamu membaca semuanya karena setelah itu kamu pasti tidak bisa menggali informasi lagi.” Utari mengembalikan buku harian berwarna merah muda itu ke pangkuan Syera. Syera hendak mengembalikan benda itu lagi, namun Utari lebih dulu menahan. “Kenapa Bibi yakin aku akan menemukan informasi itu di sini? Bagaimana kalau tidak ada tapi aku sudah terlanjur m
Syera melirik Tama yang masih terlelap nyenyak di sampingnya seraya menghela napas berat. Ia tahu saat ini langit masih gelap, namun kantuknya sudah menguap sejak beberapa saat lalu. Dirinya bukan tak bisa tidur, tetapi sepertinya pikirannya yang kacau membuatnya terjaga lebih cepat. Wanita itu mulai muak dengan isi pikirannya sendiri. Selalu saja, rasa bimbang dan sesal itu hadir setelah semuanya selesai. Kalau Tama tahu, lelaki itu pasti marah besar. Kejadian beberapa waktu lalu akan kembali terulang dan ia tak ingin itu terjadi. Syera tak pernah merasa takut pada suaminya, namun menolak sentuhan yang lelaki itu berikan sangatlah sulit. Padahal ada banyak kesempatan yang ia miliki untuk menghentikan semuanya, bahkan Tama pun memberinya kesempatan jika ingin berhenti. “Sampai kapan akan seperti ini terus?” Syera bermonolog dalam hati dengan mata menyorot lurus ke langit-langit kamar. Syera tak berani bergerak sama sekali, khawatir tidur Tama akan terusik karena pergerakannya.
Syera bangkit dari posisinya perlahan-lahan, kemudian melangkah cepat mendekati pintu dan menguncinya. Ia tak ingin ada yang masuk ke kamar ini, entah itu Utari apalagi Tama selama dirinya mengulik isi buku diary Kirana. Setelah mengunci pintu, Syera duduk di ujung ranjang. Ia menghela napas pelan sembari menatap sepotong kertas yang masih terlipat menjadi dua bagian itu. Meyakinkan diri untuk melanjutkan rencana gilanya ini terlepas dari apa pun risiko yang akan dirinya terima. Pelan-pelan Syera membuka lipatan kertas tersebut. Tulisan tangan sangat rapi terpampang di sana, sepertinya merupakan tulisan tangan Kirana. Ukuran tulisan tersebut memang cukup kecil, namun masih dapat terbaca dengan jelas. ‘Kukira dia sebaik yang terlihat. Dia selalu merangkulku, namun tak kusangka ternyata ada sebilah pisau di tangannya. Aku tertipu, aku terlalu lugu untuk menyadari maksudnya. Saat aku sadar, semuanya terlambat. Aku terlanjur terjebak. Aku ketakutan, tapi tidak mungkin mengatakan a
Manik mata Syera semakin melebar sempurna mendengar kata-kata sang suami. Ia tak menyangka ternyata Viandra kembali membuat ulah. Apalagi sampai tega menyebarkan berita bohong yang membuat dirinya dan Tama menjadi bulan-bulanan banyak orang. “Cepat minta maaf pada istriku! Jangan lupa kamu harus membuat video klarifikasi setelah ini!” perintah Tama tegas sembari menyeret Viandra ke hadapan Syera. Tak ada belas kasihan sama sekali dalam ekspresinya. Lelaki itu benar-benar murka. Syera menatap Viandra dengan sorot campur aduk. Di satu sisi ia kasihan melihat Viandra yang mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Namun, wanita itu memang pantas mendapatkannya setelah begitu tega menyebarkan berita bohong di saat ia terbaring di rumah sakit. Syera tak membuka suara lagi. Ia mengamati gerak-gerik Viandra yang tampaknya enggan meminta maaf padanya. Wanita itu tersenyum kecut, padahal Tama tidak perlu repot-repot menyeret Viandra kemari. Percuma saja Viandra meminta maaf jika nantinya akan b
Sebelah tangan Tama merangkul Syera, sedangkan satu tangan lagi menggendong Elvina. Ketiganya melangkah menelusuri lorong rumah sakit yang ramai tanpa mengenakan topi atau masker. Lelaki itu tampak masa bodoh dengan berbagai tatapan orang-orang di sekitar sana. Bahkan, tak ada beberapa yang terang-terangan mengarahkan ponsel pada mereka. Entah untuk sekadar memfoto atau malah merekam. Namun, Tama tetap santai dan tak merasa terbebani dengan hal itu. Berbanding terbalik dengan Syera yang hanya berani menatap lantai di sepanjang jalan.Bukannya Syera malu, tetapi ia merasa risih. Wanita itu tak suka menjadi pusat perhatian banyak orang. Dan sekarang entah bagaimana caranya membuat tatapan orang-orang berpaling dari mereka. Apalagi tampaknya Tama tidak akan bertindak. “Mas, sebenarnya siapa yang akan kita temui? Kalau tidak ada urusannya denganku, lebih baik aku menunggu di mobil saja. Ada banyak orang yang memperhatikan kita,” bisik Syera setelah mereka melewati lorong yang lebih s