Sedang asyik berjalan-jalan di mall dengan gaya bak anak muda, David menebar pesona ke setiap wanita-wanita yang melintas.
Dia benar-benar merasa hidupnya selalu dihinggapi dewi keberuntungan akhir-akhir ini. Tidak perlu sibuk memikirkan bekerja, tapi uangnya mengalir terus. Ada mesin ATM-nya yang bisa dmintai kapanpun dia mau.
Meski keras kepala seperti sang ayah, David selalu bisa saja membuat Ayesha menggelontorkan uang padanya.
Tidak sia-sia kan dia menjualnya ke rumah bordil waktu itu? Akhirnya dia bertemu orang kaya yang menikahinya. David tertawa sendiri.
Dulu, dia merasa menjadi orang yang paling sengsara. Orang tuanya selalu mengabaikannya, bahkan mengusirnya dari rumah hanya karena melakukan kesalahan yang tidak berarti.
Merasa begitu tersisih dan menganggap semua ini karena keberadaan sang kakak yang dibangga-banggakan ayahnya itu—kemudian David menjatuhkan keadaan ini karena kesalahan kakaknya—ayah Ayesha.  
“Hahaha!”Suara tawa renyah Hamida mendengar ucapan David yang di luar dugaannya.“Anak itu ada-ada saja, lucu juga ceritanya. Lanjutkan...”Hamida menuangkan minuman lagi ke gelas David, memintanya melanjutkan cerita tentang Ayesha. David merasa tidak ada beban saat menceritakan tentang keponakannya itu.“Itu sebenarnya kesalahan saya, Nyonya. Tolong jangan berpikiran buruk tentang Ayesha.” David menyelipkan keseriusannya meski melihat Hamida malah tertawa-tawa lepas. Seolah itu bukan hal besar.“Santai, kita bisa mengerti, kok! Aku tahu Ayesha wanita yang baik. Dia juga seorang guru ‘kan?” Hamida mengulas senyumnya.‘Ayo, teruskanlah. Aku harus mendapatkan sesuatu yang mengejutkan lagi!’ Hamida tidak sabar menggiring David. “Dia di tempat bordil pun hanya sebentar, langsung diambil Tuan Hilbram dan dinikahi.”“Hmmm, rasanya tidak mungki
Ada undangan pernikahan dari seorang kenalan, Hilbram untuk pertama kalinya mengajak Ayesha dan ingin memperkenalkannya ke khalayak ramai bahwa dia sudah memiliki istri. Selama ini, di kalangan pengusaha muda, Hilbram terkenal sebagai bujang sukses yang belum juga menikah. Usianya sudah 33 tahun dan beberapa bulan lagi akan bertambah satu angka. Dia merasa harus mengajak istrinya itu agar tidak terus dibully jika kebetulan bertemu teman dekatnya. “Mas, aku tidak pernah pergi ke acara seperti ini.” Ayesha melingkarkan tangannya di lengan Hilbram ketika masuk ke tempat acara yang megah itu. “Tidak apa, kau hanya perlu tersenyum dan menyapa orang yang aku kenalkan padamu,” bisik Hilbram pada istrinya yang tegang itu. Ayesha sering dipandang rendah orang lain, karenanya dia selalu merasa kurang percaya diri dengan penampilannya. Padahal saat ini dia menggunakan gaun yang indah dan terlihat sesuai dengan dirinya. Meski memakai hijab, dia terlihat sangat anggun dan menawan. Belum lagi a
Sepanjang acara tadi, Hilbram hanya terdiam melihat prosesi acara yang memang dirancang dalam suasana hidmat. Ayesha yang duduk di sampingnya jadi resah atas sikap suaminya itu. Apa dia memang menghayati acara atau marah padanya?‘Aku tidak melakukan apapun, kenapa dia marah?’ batin Ayesha yang memilih untuk tidak memikirkannya lagi.Acara akhirnya selesai. Hilbram menggandeng tangan Ayesha kembali ke mobilnya. Sialnya, mereka lagi-lagi berpapasan dengan Gilga dan istrinya.“Aku tidak suka berbasa-basi, mau apa?” Hilbram heran, untuk apa Gilga malah menghampiri mereka. Sementara di sudut sana, Hilbram melihat istri pria ini menunggunya di samping mobil.“Ini—pin Ayesha bukan? Tertaut di kemejaku!” tukas Gilga santai menunjukan pin itu.Ayesha melihatnya, itu memang pin hijabnya. Sebelum tangannya sempat mengambil pin itu, Hilbram sudah lebih dulu menyambarnya.“Terima kasih!” tukas Hilbram dingin dan menggandeng Ayesha masuk ke dalam mobilnya.Hilbram nampak fokus menyetir dalam diam
Ayesha mengambil beberapa bunga di halaman yang sudah bermekaran dan menatanya di dalam vas. Zain membantu nyonya -nya itu mengambilkan beberapa bunga lagi. Ketika itu, Rahman tampak menghampiri Zain. Mereka terlihat berbicara serius.“Ada apa, Zain?” tanya Ayesha, penasaran.“Pak Rahman mencari Tuan Hillbram, Nyonya. Saya sudah menyampaikan Tuan sedang berolahraga di lantai atas.”Zain membawa bunga-bunga yang baru dipetiknya.“Adakah hal serius?” tanya Ayesha, karena melihat raut Rahman yang tegang dan mendesak. Terlebih, Rahman bertanya pada Zain dan mengabaikannya yang juga ada di sini.“Saya kurang faham, Nyonya,” ujar Zain tidak banyak bicara.Ayesha tidak bertanya lagi. Dia menyelesaikan rangkaian bunganya lalu membawa vas itu ke dalam.“Aku bisa melakukannya sendiri, Zain. Kau bisa melakukan pekerjaan lainnya,” tukas Ayesha, melihat Zain hendak mengukutinya.“Baiklah, Nyonya. Permisi!”Zain melangkah pergi.Ayesha melihat-lihat ruangan dan menilai sudut mana yang bagus untuk m
“Sebagai seorang Nyonya keluarga Al Faruq, hal seperti itu tidak pantas Anda lakukan, Nyonya. Saya berharap Anda belajar lagi menggunakan etika yang baik. Ada sesuatu hal yang bisa jadi tidak bisa di dengar orang lain. Kata permisi adalah hal yang seharusnya sudah anda ketahui dalam sopan santun!”Rahman memberikan sebuah pelajaran etika pada seorang guru seperti Ayesha. Hal demikian bukan sesuatu yang bisa diangggap menasehati, tapi lebih sebagai sebuah sindiran.Ayesha bukan orang yang tidak memahami hal itu. Tapi, sebelumnya dia sudah merasa berbuat kesalahan. Karenanya dia tidak ingin menjadi pemicu masalah lagi, hingga sampai harus ingin tahu apa yang terjadi.Ayesha mengakui dia salah. Dan akan memperbaiki kesalahannya itu.“Baik, Rahman. Aku memang bersalah.” Ayesha tidak menyangkal.“Apa yang Anda ingin sampaikan?” tanya Rahman lagi.“Aku-aku hanya...”“Apa Anda mau mengakui kalau Anda-lah yang membocorkan perjanjian pernikahan itu?”Ayesha terdiam. Rahman sudah tentu mencuri
“Bisakah Anda tidak mengganguku?” ujar Ayesha dengan nada lelah.“Ada apa? Kau terlihat tertekan? Apa kau ada masalah?” Gilga justru bertanya dengan sok perhatian.“Maaf!” Ayesha segera menutup ponselnya dan melemparkannya di tempat tidur.Dia suntuk sekali, lalu memutuskan untuk pergi keluar. Tidak lupa, dia mengirim pesan pada Hilbram sekedar memberitahunya kalau dia ingin keluar.[Mas, aku keluar ya?] tulisanya yang sudah terkirim ke nomor Hilbram.Pesan terbalas lima menit kemudian.[Baik, hati-hati!]Ayesha tercenung sesaat, Hilbram tidak bertanya ke mana dia pergi. Ya sudah, mungkin dia sedang sibuk di kantor dan banyak pekerjaan.Hilbram tentu tidak perlu bertanya ke mana istrinya pergi. Ada supir dan juga gps di mobilnya. Jadi dia bisa tahu kemana dan kapan istrinya singgah di suatu tempat.“Ke mana, Nyonya?” tanya Zain, karena sejak tadi Ayesha tidak mengatakan tujuannya. Sementara mereka sudah berputar-putar kota.“Maaf, Nyonya? Kita ke mana?” tanya Zain sekali lagi.Barul
Zain menurut saja kala Ayesha memintanya harus mengikuti mobil Hamida. Dia menyampaikan bahwa Hamida ingin mengajaknya sekedar makan malam.Ayesha juga sudah menghubungi Hilbram. Suaminya itu hari ini pulang larut karena harus menghadiri launching produk perusahaannya di sebuah hotel. “Anda yakin, Nyonya?” Zain kembali mengingatkan.Hamida selalu ingin menjahatinya, lalu untuk apa sekarang dia tiba-tiba ingin mengajak Ayesha makan malam.“Ya sudahlah, Zain. Tidak enak juga ‘kan kalau tidak menyanggupi ajakan makan malamnya,” ujar Ayesha terlihat sekali enggan mengikuti kemauan Hamida.Setelah sampai di sebuah tempat, Ayesha pun keluar dari mobil.Zain menawarkan apakah dia perlu ikut? Tapi Ayesha menolak.Lagi pula Zain tidak perlu tahu pembicaraan mereka agar tidak mengadu pada Rahman ataupun Hilbram. Meski Ayesha tahu, Zain bukan orang yang suka mengadu.Dia mengikuti dua wanita itu memasuki lift. Ke tiganya tidak berbicara hingga lift terbuka dan mereka disambut petugas restoran y
Ayesha bingung dengan semua kerumitan dalam hidupnya ini. Dia menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam bathtub untuk beberapa saat, berharap gelembung-gelembung yang keluar dapat menghempaskan semua beban di kepalanya.Apa yang harus dia lakukan?Apakah harus membicarakan semua ini dengan Hilbram?Hhhahhh! Ayesha kembali muncul dipermukaan merasakan dadanya sesak kehabisan napas. Nyatanya, beban yang bergelanyut di kepalanya masih terasa berat dan menyiksa.“Tuhan, perjanjian apa yang kau serukan padaku sebelum memutuskan meloloskan jiwaku terlahir ke dunia ini” gumamnya sambil menitikan air matanya. Sebentar menguatkan diri, barulah Ayesha bangkit mengambil handuknya.Dia lelah sekali, lalu memutuskan untuk bergegas tidur saja agar tidak malah stress meghadapi masalahnya. Suaminya pasti masih sibuk bekerja. Kasihan dia, sudah sesibuk ini mengurusi perusahaan, tapi malah menghadapi gugatan hak warisnya dicabut.