Ayesha bingung dengan semua kerumitan dalam hidupnya ini. Dia menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam bathtub untuk beberapa saat, berharap gelembung-gelembung yang keluar dapat menghempaskan semua beban di kepalanya.Apa yang harus dia lakukan?Apakah harus membicarakan semua ini dengan Hilbram?Hhhahhh! Ayesha kembali muncul dipermukaan merasakan dadanya sesak kehabisan napas. Nyatanya, beban yang bergelanyut di kepalanya masih terasa berat dan menyiksa.“Tuhan, perjanjian apa yang kau serukan padaku sebelum memutuskan meloloskan jiwaku terlahir ke dunia ini” gumamnya sambil menitikan air matanya. Sebentar menguatkan diri, barulah Ayesha bangkit mengambil handuknya.Dia lelah sekali, lalu memutuskan untuk bergegas tidur saja agar tidak malah stress meghadapi masalahnya. Suaminya pasti masih sibuk bekerja. Kasihan dia, sudah sesibuk ini mengurusi perusahaan, tapi malah menghadapi gugatan hak warisnya dicabut.
[ Nyonya, persiapkan dirimu. Aku akan menjemputmu sebentar lagi ]Pesan dari Hilbram terbaca di layar ponsel Ayesha.Netranya masih juga menatap lekat-lekat layar ponsel itu. Apakah pesan seperti ini masih bisa didapatkannya setelah semua ini berakhir?[ Baik, Tuan! ] Ayesah mengirim balasan beberapa menit kemudian.Dia bangkit untuk mempersiapkan dirinya. Mungkin malam ini dia akan membicarakan masalah itu pada Hilbram. Mereka akan berbicara selayaknya dua orang dewasa. Bukan sebagai dua orang yang sama-sama mencintai. Ayesha berharap dia dan Hilbram bisa mengesampingkan perasaan masaing-masing untuk kebaikan bersama.“Istriku cantik sekali!” Hilbram mengulurkan tangannya saat menyambut Ayesha dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Dia tidak pernah pelit saat memuji istrinya itu.Ayesha tidak memungkiri, dia memang mempercantik dirinya. Hari-hari menuju perpisahan mereka harus diakhirinya dengan kesan yang indah. Setidaknya
Setelah memesan makanan dan menikmatinya di kamar hotel saja, mereka akhirnya memutuskan untuk menonton di bioskop. Menghabiskan sisa waktu hari ini dengan mengunjungi beberapa tempat.Sepanjang waktu, Ayesha mencoba mencari sela agar bisa membicarakan tentang apa yang dikatakan Rahman. Namun, sepertinya Hilbram tidak sedikitpun memberinya jeda untuk sekedar terlihat bersedih.Ayesha bingung, namun dia juga menikmati kebersamaan bersama suaminya itu. mereka seperti dua pasang anak muda yang sedang kasmaran dan saling bucin. Sehingga ketika sedang bersama dan menikmati kebersamaan, tidak rela menyelipkan hal yang hanya akan merusak suasana romantis itu. Hilbram bahkan, menonaktifkan ponselnya. Dia tahu, Rahman pasti akan terus mengganggunya dengan banyak sekali agenda pekerjaan yang sudah disusunnya sedemikian rupa. Belum lagi dia akan selalu bawel mengingatkan ini dan itu. Sudah seperti ibu-ibu saja. Batin Hilbram mulai sedikit kesal dengan asistenn
Kepala Ayesha sangat pusing, tapi dia masih dalam kesadarannya. Dia harus segera keluar dari toilet. Zain pasti sudah mencarinya. Kalaupun nanti dia pingsan, setidaknya Zain mengetahuinya.Langkahnya terhuyung dan sampai butuh berpegangan pada dinding. Toilet sedang sepi dan Ayesha tidak bisa meminta tolong pada siapapun. Hingga setelah berhasil keluar dari toilet, sebuah tangan besar memapahnya.“Hei, kau tidak apa?” tanya pria itu pada Ayesha yang sudah nampak pucat itu.“Astaga, tanganmu dingin sekali. Sini aku bantu kau duduk!”Ayesha tidak menolak bantuan pria itu karena memang tubuhnya sudah begitu lemah. Sudah ingin pingsan saja. Dan benar, sebelum sampai di tempat duduk dia sudah tidak mengingat apapun lagi...“Di mana aku?” Ayesha membuka matanya dan tidak tahu sedang ada di mana.Dia bangkit dan baru menyadari bahwa sepertinya sedang berada di rumah sakit.
Rahman sengaja meminta Ayesha menemuinya di suatu tempat dengan diantar Zain. Dia cemas Hilbram bisa mengetahuinya saat memeriksa CCTV rumahnya. Rahman tahu, Hilbram sangat mencintai istrinya itu. Jika ke depan ada hal yang tidak beres, maka Hilbram akan dengan mudah menyalahkan Rahman. Dalam pandangan Rahman, inilah yang terbaik untuk tuannyaa itu. Oleh sebab itu, Rahman merasa harus membicarakan semua ini pada Ayesha. Dia tahu Ayesha wanita yang penuh pengertian. Karenanya, dia akan mencoba dengan cara baik-baik terlebih dahulu. Meminta pemahaman darinya, demi kebaikan Hilbram. Jika memang Ayesha mencintai Hilbram, Rahman berpikir Ayesha akan mau berkorban untuknya. “Nyonya, Tuan Hilbram memiliki tanggung jawab yang besar. Dia tidak boleh mendahulukan ego-nya karena banyak orang yang bergantung di pundaknya.” Ayesha memahami hal itu. Dia juga tidak menampik bahwa banyak kepentingan yang bergantung pada keputusan suaminya itu. “Benar, Rahman. Apa yang kau inginkan dariku untuk se
Ayesha tidak melihat Zain saat mereka membawanya dengan mobil yang biasa dipakai Zain mengantarnya kemanapun pergi.Ketika mobil itu perlahan keluar dari rumah keluarga Al Faruq, ada rasa yang begitu kehilangan.Tatapannya menoleh ke belakang dan melihat rumah itu mulai menjauh. Semua cinta dan kenangannya harus dia tinggalkan di sana. Hatinya pilu dan sedih. Dia bahkan terisak harus menyadari semua sudah berakhir.Dua pengawal yang duduk di kursi depan saling melirik, namun tidak bereaksi apapun mendengar isakan sang Nyonya. Mungkin, mereka merasa kasihan padanya tapi tidak punya daya untuk melakukan apapun.Semua berjalan begitu saja hingga sampai di bandara. Ayesha masih dikawal hingga dipastikan benar-benar masuk ke pesawat dengan baik. Setelah itu semuanya sudah menjadi masing-masing. Ayesha bukanlah lagi Nyonya mereka. Dan tugas untuk mengawal sudah selesai.Sepanjang di udara, hatinya sudah tidak bisa digambarkan. Dia tahu, Hilbr
Hilbram begitu mencintai istrinya itu. Hingga foto-foto yang terlihat mesra itu sudah membuatnya sangat cemburu. Dia tidak suka melihat istrinya berpelukan dengan pria lain. Apalagi itu Gilga Andreas.Sejak pertama David sudah mengatakan bahwa Gilga Andreas menyukai Ayesha dan selalu berharap menjadikan Ayesha istrinya. Mengetahui sang istri pernah bertemu dengan pria itu beberapa kali, kemudian melihat foto-foto itu, Hilbram begitu murka. Dia berpikir, Ayesha memang meninggalkannya untuk pria itu.Hilbram tahu pria seperti apa Gilga itu. Dia seorang playboy yang selalu suka mempermainkan hati wanita. Memiliki seorang istri tidak juga membuat prilaku Gilga Andreas berubah. Entah pelet apa yang dipakainya hingga pria itu selalu bisa mendapatkan hati para wanita.“KEPAR*T KAU!” Hilbram mencekal kerah leher Gilga yang sedang asyik nge-bar bersama beberapa teman dengan para wanita penghibur.“Sebentar, apa-apan dirimu?” Gilga mencoba m
Hilbram sepertinya sudah lebih baik. Fatma melihatnya sedang berolahraga di tempat gym pribadinya. Dia sudah beberapa hari ini menunggu untuk bisa berbicara dengan sang keponakan. Dia tidak bisa berlama-lama dan sudah harus segera pulang ke negaranya. Urusannya banyak, tapi urusan yang ini tentu harus diselesaikannya.“Sayang, bisa kita bicara sebentar?” ujar Fatma yang sejak tadi sabar menunggu Hilbram menyelesaikan olahraganya itu. Begitu turun dari treadmill, Fatma menghampirinya.Hilbram menurut, dan mereka duduk di balkon sambil menikmati kopi yang disuguhkan pelayan.“Tante ikut prihatin dengan masalahmu. Tapi, kau tidak bisa terus seperti ini. Jangan terlalu berkeras mengangkat beban yang menyakitimu terus menerus. Sementara waktu, letakan dulu dan pikirkan hal lainnya,” tutur Fatma memberikan nasihat pada Hilbram.Hilbram tampak mendengar tapi sepertinya belum bersedia membahas apapun. Dia menyeruput kopinya dan