Suara sirene ambulans terdengar melengking membelah padatnya jalan. Begitu sampai di IGD beberapa perawat dengan tergesa berlari menuju mobil pasien itu, menjemput sang pasien yang sudah tidak sadarkan diri. “Darahnya banyak yang keluar, Dok!” ucap salah satu perawat membersihkan luka Hilbram saat seorang dokter memeriksa. Sementara yang lain segera memasang oksigen dan alat sensor lainnya di tubuh Hilbram. Merasa kondisi pasien terlihat gawat. Beberapa dokter berdatangan untuk segera membantu. Mereka tahu, pasien yang mereka tangani bukan pria sembarangan. Tapi seorang cucu keluarga Al Faruq. Kebetulan salah satu dokter yang ikut menangani adalah dokter keluarga Al Faruq sendiri yang sudah diberi tahu sebelumnya. Dia harus bertanggung jawab memastikan sang tuan baik-baik saja. “Perhatikan tanda vitalnya, segera laporkan jika ada yang darurat!” Sambil menjahit luka Hilbram, dokter meminta seorang perawat memantau monitor tanda vital. “Dokter, detak jantungnya semakin melemah!”
“Apa maksudmu, Hanin?”Ayesha butuh penjelasan tentang pemikiran Hanin mengenai suaminya itu. Apa dia mengira Hilbram sengaja membiarkan semua ini terjadi padanya lalu tidak mau tahu? “Aku yang meninggalkannya. Kalau kemudian saat ini dia tidak mencariku juga, biarlah. Aku hanya berharap suatu saat nanti bisa memiliki kesempatan menjelaskan semuanya,” kata-kata Ayesha terlihat berlainan dengan perasaannya.Bukankah dia sepanjang waktu berharap Hilbram mencarinya dan menemukannya?Ayesha jadi bingung dengan dirinya sendiri.“Hmm, benar! Kau yang meninggalkannya, Sha!” Hanin hanya menandasi ucapan Ayesha sendiri.Dia ingin Ayesha konsisten dengan keputusannya dan bisa memahami dirinya sendiri, mengenai apa tujuan dia meninggalkan suaminya itu. Bukannya malah menyiksa dirinya dengan terus memikirkannya.Dalam pandangan Hanin, Ayesha pasti masih berharap suaminya itu menemukanny
Kedatangan Thalita membuat Fatma berpikir bahwa putrinya itu ingin menengok kondisi sepupunya. Nyatanya, gadis itu sedang lari dari kenyataan hidupnya. Dia mengalami masalah besar yang membuatnya sampai harus bersembunyi dari kejaran polisi di negaranya.“Aku sudah bilang, Mark bukan orang yang baik! Sekarang lihatlah, dia malah meninggalkanmu dan membuat polisi mengejarmu juga.” Fatma sudah pusing memikirkan Hilbram, ini malah sang putri membuat ulah lagi. Kekasih Thalita ternyata seorang pengedar narkoba. Dan Thalita jadi ikut disangkut-sangkutkan. Terlebih Thalita menyampaikan pada mamanya itu bahwa dia sedang hamil anak Mark.Plak!Tamparan itu mendarat di pipi Thalita hingga tanda merah tercetak di kulitnya yang putih.“Mam?!” Tahlita protes atas tindakan mamanya. Seumur-umur Fatma tidak pernah menamparnya seperti ini.“Apa? Kau mau marah karena aku menamparmu?”“Ken
Ayesha berjalan-jalan di sepanjang tepian sungai Mahakam. Melihat muda-mudi yang sedang bersenang-senang di sana. Dia jadi ingat masa-masa di mana dia belum dipukul dengan banyak masalah hidup. Tawa dan senyumnya juga selepas itu. Kemudian dia melihat seorang gadis kecil terlihat kebingungan dan menangis. Ayesha menghampirinya. “Di mana orang tuamu?” tanya Ayesha pada gadis kecil itu. “Tadi Mama di sana, sekarang tidak tahu...” Gadis itu menangis lebih kencang. Ayesha menggenggam tangan kecil itu dan mengajaknya berjalan menyusuri tepian sungai yang ramai itu. Melihat sepasang suami istri terlihat panik dan bingung, Ayesha menduga itu pasti orang tua gadis kecil ini. “Apakah itu orang tuamu?” Ayesha menunjuk ke dua orang di sana. “Iya, iya, itu Mamaku, Tante...” Gadis kecil itu terlonjak senang. Segera dia berteriak memanggil orang tuanya. “Deby...!” teriak sang Mama yang juga langsung berlari menyambut sang putri. Begitu sudah terjangkau tangannya, dia langsung mengangkat sang
Hilbram sudah mulai bekerja di kantornya meski harus didorong di kursi roda. Tulang kakinya sebelah kiri mengalami patah dan masih membutuhkan waktu pemulihan. Dia juga belum bisa mengingat banyak hal pasca kecelakaan itu.“Baru-baru ini Anda sudah menanda tangani kontrak kerjasama dengan perusahaan minyak dan gas di Kanada, kemudian beberapa aset perusahaan kita di Qatar pun berkembang dengan pesat.” Karena dokter mengatakan bahwa Hilbram mengalami amnesia dan kehilangan beberapa memori beberapa tahun kebelakang, Rahman menjelaskan hal yang Hilbram lupakan.“Benarkah itu, Rahman?” Hilbram tampak terkesan dengan pencapaiannya sendiri.“Benar, Tuan. Anda juga melakukan banyak investasi ke beberapa perusahaan di Eropa dan Amerika. Dan setiap tahun nilai sahamnya terus merangkak naik.”Hilbram merasa terhibur mendengarnya. Dia kemudian berterima kasih pada Rahman, pasti karena pria ini dia bisa melakukan
Hilbram menjalankan kursi rodanya secara otomatis menuju halaman samping. Melihat Thalita sedang duduk di ayunan sambil merenung di sana.“Kau melamun?” tanya Hilbram menyapa sepupunya itu.“Bram?” Thalita sedikit terkejut ada Hilbram yang sudah mendekatinya.“Biasanya kau panggil aku kakak?” Hilbram sedikit protes pada sepupunya itu yang memanggilnya dengan hanya nama saja. Padahal usianya jauh lebih muda darinya.“Hei, kenapa kau mirip sekali dengan Nenek? Dia selalu meribetkan hal-hal kecil seperti ini.”Hilbram tersenyum melihat sepupunya itu mencebik. Gadis ini memang selalu membuatnya terhibur. Yah, itu karena Hilbram tidak punya banyak waktu sekedar bersama teman atau mencari hiburan yang lain. Setidaknya memiliki sepupu membuatnya masih bisa bercanda.“Ada apa dengan kekasihmu itu? Dia meninggalkanmu saat hamil?” tanya Hilbram, dia juga bisa melihat perut Thalita mulai
Hilbram sedang memeriksa laporan perusahaannya saat ponsel di samping laptopnya berkedip. Tidak ada nama pengirim yang tertera. Jadinya, dibiarkan saja panggilan itu tidak terjawab.Beberapa saat kemudian, ponselnya berkedip kembali. Sepertinya, nomor sama yang menghubunginya lagi. Barulah dia tercenung menatap layar ponselnya.Tidak sembarang orang yang tahu nomor ponselnya. Mungkinkah itu panggilan penting dari orang yang dikenalnya.Hanya karena tidak mau terus diganggu, akhirnya Hilbram mengangkat ponsel itu.“Hallo?” Suaranya dingin. Setelah mendengar tidak ada pergerakan dari seberang. Dia mengulang sekali lagi sapaannya, jika tidak ada hal penting maka dia akan segera menutupnya.Namun, akhirnya terdengar juga suara seseorang di seberang sana.“Tuan, apa kabar?”Hilbram mengernyitkan dahinya dan memikirkan apakah dia pernah mendengar suara seperti itu sebelumnya? Siapa wanita yang menghubunginya ma
Hanin melihat Ayesha membolak-balik makanannya tapi tidak juga dimakannya. Setelah panggilan waktu itu yang tidak ada respon baik, Ayesha malah terlihat murung sepanjang hari.“Mungkin dia sedang sibuk dan tidak menyangka kalau itu dirimu. Bisa jadi seperti itu ‘kan?” Hanin masih menghibur Ayesha.Padahal, Hanin sendiri merasa tidak suka Ayesha terlalu berharap pada pria yang sudah menelantarkannya itu.“Benar, Nin. Mungkin aku kirim pesan dulu kali ya?” tiba-tiba Ayesha mendongakan tatapnya dan melihatkan seribu harapan masih terpancar di manik matanya yang teduh itu.Hanin hanya bisa mengangguk dan menyodorkan ponselnya. Asal Ayesha bisa terlihat senang, dia berharap yang terbaik saja.Dengan tangan bergetar karena tidak sabar ingin menghubungi Hilbram, Ayesha mengetikan sesuatu di sana. Ini bukan tengah malam, mudah-mudahan Hilbram membalas pesannya dan langsung menghubunginya?[ Assalamu’aa