Hamida dan Agnes sudah bersiap di meja makan menunggu kedatangan Hilbram.Ayesha datang terlebih dahulu karena Hilbram masih ada panggilan penting.Melihat wanita itu, Agnes memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Apa yang menarik dari wanita yang serba menutup dirinya itu? “Selamat malam, Tante! Selamat malam, Agnes!” tegur Ayesha pada mereka dengan sopan.Ayesha duduk dengan tenang menunggu suaminya bergabung. Niatnya tadi ingin sekedar basa-basi pada kedua wanita itu.Dia sudah menjadi anggota keluarga Al Faruq. Bagaimanapun masalah mereka, Ayesha tetap harus menyapa tantenya itu.“Bagaimana kau bisa mengenal keponakanku itu?” tanya Hamida pada Ayesha. Menatap wanita yang tampak anggun itu, dia jadi benci sendiri. “Saya guru di sekolah Yayasan Al Faruq.”Ayesha tidak mungkin menjelaskan bagaimana mereka bertemu. Lebih masuk akal jika menyampaikan bahwa dia guru di Yayasan Al Faruq. Bertemu Hilbram di sana sangatlah mungkin.Agnes terganggu dengan kenyataan bahw
Demi tidak berlarut-larut dalam masalah hak waris, Hilbram meminta Rahman menghubungi pengacaranya dan menyegerakan untuk menuntaskan wasiat neneknya. Dia tidak mau dituduh ingin memguasai semua harta Al Faruq. Karena sejak dulu, Hilbram selalu diistimewakan dari cucu-cucu yang lain. Tak terkecuali dari anak-anak Al Faruq sendiri. Rahman paham apa yang harus dilakukannya. Dia segera menghubungi anak cucu keluarga Al Faruq agar bisa hadir untuk mendengar wasiat dari mendiang sang Nyonya Besar Al Faruq. Biasanya sangat sulit untuk mengumpulkan keluarga yang terberai itu. Tapi karena membahas tentang hak waris, mereka merespon dengan sangat cepat. “Aku malah terkejut, Hilbram sudah menikah. Dasar keponakan satu itu! Tantenya sendiri tidak di undangnya,” suara Fatma, tante Hilbram yang lain. Sepertinya bahagia sekali mendengar hak waris akan segera di bacakan. “Tuan Hilbram meminta maaf, karena tahu diri, tante-tantenya sangat repot dan tidak bisa diganggu. Jadi sekalian saja
Kedatangan anggota keluarga Al Faruq tidak berbarengan. Hamida yang terus mendesak agar pembacaan wasiat itu segera dilaksanakan, tentu datang lebih dulu di rumah keluarga. Dia datang bersama suaminya, Hardi dan juga tidak ketinggalan sang putri, Agnes.Mereka memilih beristirahat terlebih dahulu karena pembacaan wasiat itu masih nanti malam.Ayesha secara tidak langsung adalah sang Nyonya rumah, yang harus menyambut tamu-tamu keluarga. Dia sedikit bingung karena selama ini tamu yang paling agung yang disambutnya hanyalah Bu RT di perumahan.Hilbram menahan senyum mendengar ucapan istrinya itu.“Jangan becanda, Mas. Aku benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana nanti?”“Tenang, aku akan selalu bersamamu!”“Apa mereka akan mengomentari penampilanku?” Ayesha jadi kurang percaya diri.Pernah dicecar Hamida dan Agnes, membuatnya meminta pendapat suaminya. Dia tidak ingin Hilbram sampai malu karena dirinya.“Kau selalu cantik, Ayesha!”Hilbram memeluk istrinya itu dan merasa baha
“Kakak cantik sekali!” ujar gadis itu pada Ayesha sambil meraba-raba wajahnya. Ayesha membiarkan saja gadis itu melakukan apa yang dia ingin. Merasa bersalah sudah sempat berpikir buruk tentang Farin. Tadi, begitu Hilbram mengenalkannya pada Farin, gadis itu terlihat begitu terkesan dengan senyum tulus Ayesha. Karenanya selalu menempel saja pada Ayesha. “Farin, nanti Kak Ayeshanya tidak nyaman, lho!” Papa Farin mencoba menarik tubuh putrinya dari Ayesha “Tidak apa, Om. Biar aku bujuk Farin agar ikut makan malam juga.” Ayesha mencoba menenangkan Farin agar tidak berlebihan mengekspresikan perasaannya. Dia tentu memiliiki pengetahuan tentang menghadapi gadis itu. Seorang guru selalu dibekali ilmu psikologi untuk mendidik anak. “Jangan, Sha! Farin tidak boleh gabung dalam makan bersama keluarga.” “Tidak boleh begitu, Om. Farin juga butuh sosialisasi dan interaksi agar bisa belajar bersikap baik.” Ayesha terlihat tidak sepakat. Itu namanya diskriminasi. Dia akan membujuk Hilbra
Kalau ada yang lebih tegang dari persidangan, itu adalah pembacaan surat wasiat dan pembagian hak waris keluarga Al Faruq pada anak-anaknya. Apalagi setelah pembacaan itu ada pihak yang merasa sangat tidak terima.Siapa lagi kalau bukan Hamida dan suaminya. Mereka mencak-mencak karena hak waris mereka dicabut setelah melakukan banyak hal yang sangat merugikan keluarga Al Faruq. Mencemarkan nama baik dan terus-terusan mengumbar keburukan keluarga sendiri di media sosial.Namun, Nyonya Safina masih memberikan kemurahan dengan memberinya tunjangan seumur hidupnya yang baginya itu tidaklah seberapa.“Aku anaknya, kenapa malah tidak mendapatkan apapun!” Hamida tidak terima pada pengacara itu. membuatnya berpikir, Bharata pasti ada main dalam proses pembagian hak waris ini.“Hak Anda secara otomatis akan dilimpahkan pada anak Anda, Nona Farin Dahlia Al Faruq, sekaligus saham perusahaannya.” Bharata menjelaskan.“Tidak
“Apa itu, Mas?” Ayesha jadi ketakutan mendengar suara yang keras itu. Apalagi disusul suara orang ribut di luar. Hilbram merasa terganggu sekali. Dia bangkit untuk memeriksanya dan meminta Ayesha tetap di kamar. Siapa orang tidak waras yang berani-berani membuat masalah di waktu istirahat? Gerutunya sambil bersungut-sungut keluar. Di ruang tengah, Rahman dan beberapa anak buahnya yang lain memegangi Hardi yang tampak beringas, sementara Bobby terkulai lemas memegangi perutnya yang sudah bersimbah darah. Hilbram jadi tahu apa yang terjadi. Berjalan menghampiri Hardi, Hilbram langsung menamparnya dengan keras. Hingga hidung Hardi mimisan dan sudut mulutnya meneteskan darah. Tenaga Hilbram tidaklah lemah. “Bram! Jangan pukul suamiku!” Hamida berteriak ketika Hilbram memukul Hardi. “Rahman, bawa masuk wanita itu!” Hilbram menyuruh Rahman mengatasi Hamida. Lalu beralih pada Zain. “Periksa Om Bobby, kalau ada yang serius, segera bawa ke rumah sakit!” “Baik, Tuan!” Zain sigap melak
“Suamimu itu, hampir membunuh Bobby!” Fatma dengan ketus mengomeli kakaknya sebelum berangkat kembali ke negara asal suaminya.“Itu sah-sah saja, kita orang diperlakukan tidak adil!” Hamida tidak merasa apa yang dilakukannya salah.“Bharata sudah bilang, kalau kau tidak terima hasil pembagian waris itu, kau bisa menggugat di pengadilan!” Fatma menantang.“Kau pikir aku tidak akan melakukannya?”“Lakukan saja! Apa kau perlu kami umumkan pada semua orang, kalau sebenarnya kau hanyalah anak adopsi?”“Jaga mulutmu!” Hamida menatap tajam Fatma dan menunjuk mukanya. Dengan segera Fatma menampik tangan itu.“Kenapa? Kau pikir aku tidak tahu hal itu?”Kenyataan bahwa Hamida hanyalah anak adopsi sudah diketahui Fatma sejak remaja. Ketika dia menemukan beberapa surat adopsi dari panti asuhan tempat Hamida diambil.Tapi, demi keinginan sang Ibu
Lily melihat Ayesha tepat ketika pria itu menjambak rambutnya dan menariknya kasar. Penampilan tampak berantakan dengan eyeliner, belepotan tersapu air matanya.Sungguh menyedihkan.“Nyonya?”Zain muncul karena merasa Ayesha sedikit lama tidak segera kembali. Dia cemas ada sesuatu dengan Ayesha.Tak jauh dari sana, pemandangan seorang pria menyeret lengan perempuan membuatnya heran. Karena sang Nyonya terlihat membeku.“Nyonya?” Zain memanggil kembali.Ketika baru tersadar, Ayesha segera mengguncang lengan Zain.“Zain, aku kenal wanita itu. Bisakah kau membantu melepaskannya dari pria yang menyiksanya tadi?” Ayesha tampak mendesak.Zain juga keheranan. Ada kejadian seperti itu di tempat umum. Apa pria itu sudah gila? Dan lagi, kemana security tempat ini?“Maaf, Nyonya. Itu bukan urusan kita. Lebih baik kita kembali ke depan.” Zain dengan tegas menolak. Meski terlihat