Kedatangan anggota keluarga Al Faruq tidak berbarengan. Hamida yang terus mendesak agar pembacaan wasiat itu segera dilaksanakan, tentu datang lebih dulu di rumah keluarga. Dia datang bersama suaminya, Hardi dan juga tidak ketinggalan sang putri, Agnes.Mereka memilih beristirahat terlebih dahulu karena pembacaan wasiat itu masih nanti malam.Ayesha secara tidak langsung adalah sang Nyonya rumah, yang harus menyambut tamu-tamu keluarga. Dia sedikit bingung karena selama ini tamu yang paling agung yang disambutnya hanyalah Bu RT di perumahan.Hilbram menahan senyum mendengar ucapan istrinya itu.“Jangan becanda, Mas. Aku benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana nanti?”“Tenang, aku akan selalu bersamamu!”“Apa mereka akan mengomentari penampilanku?” Ayesha jadi kurang percaya diri.Pernah dicecar Hamida dan Agnes, membuatnya meminta pendapat suaminya. Dia tidak ingin Hilbram sampai malu karena dirinya.“Kau selalu cantik, Ayesha!”Hilbram memeluk istrinya itu dan merasa baha
“Kakak cantik sekali!” ujar gadis itu pada Ayesha sambil meraba-raba wajahnya. Ayesha membiarkan saja gadis itu melakukan apa yang dia ingin. Merasa bersalah sudah sempat berpikir buruk tentang Farin. Tadi, begitu Hilbram mengenalkannya pada Farin, gadis itu terlihat begitu terkesan dengan senyum tulus Ayesha. Karenanya selalu menempel saja pada Ayesha. “Farin, nanti Kak Ayeshanya tidak nyaman, lho!” Papa Farin mencoba menarik tubuh putrinya dari Ayesha “Tidak apa, Om. Biar aku bujuk Farin agar ikut makan malam juga.” Ayesha mencoba menenangkan Farin agar tidak berlebihan mengekspresikan perasaannya. Dia tentu memiliiki pengetahuan tentang menghadapi gadis itu. Seorang guru selalu dibekali ilmu psikologi untuk mendidik anak. “Jangan, Sha! Farin tidak boleh gabung dalam makan bersama keluarga.” “Tidak boleh begitu, Om. Farin juga butuh sosialisasi dan interaksi agar bisa belajar bersikap baik.” Ayesha terlihat tidak sepakat. Itu namanya diskriminasi. Dia akan membujuk Hilbra
Kalau ada yang lebih tegang dari persidangan, itu adalah pembacaan surat wasiat dan pembagian hak waris keluarga Al Faruq pada anak-anaknya. Apalagi setelah pembacaan itu ada pihak yang merasa sangat tidak terima.Siapa lagi kalau bukan Hamida dan suaminya. Mereka mencak-mencak karena hak waris mereka dicabut setelah melakukan banyak hal yang sangat merugikan keluarga Al Faruq. Mencemarkan nama baik dan terus-terusan mengumbar keburukan keluarga sendiri di media sosial.Namun, Nyonya Safina masih memberikan kemurahan dengan memberinya tunjangan seumur hidupnya yang baginya itu tidaklah seberapa.“Aku anaknya, kenapa malah tidak mendapatkan apapun!” Hamida tidak terima pada pengacara itu. membuatnya berpikir, Bharata pasti ada main dalam proses pembagian hak waris ini.“Hak Anda secara otomatis akan dilimpahkan pada anak Anda, Nona Farin Dahlia Al Faruq, sekaligus saham perusahaannya.” Bharata menjelaskan.“Tidak
“Apa itu, Mas?” Ayesha jadi ketakutan mendengar suara yang keras itu. Apalagi disusul suara orang ribut di luar. Hilbram merasa terganggu sekali. Dia bangkit untuk memeriksanya dan meminta Ayesha tetap di kamar. Siapa orang tidak waras yang berani-berani membuat masalah di waktu istirahat? Gerutunya sambil bersungut-sungut keluar. Di ruang tengah, Rahman dan beberapa anak buahnya yang lain memegangi Hardi yang tampak beringas, sementara Bobby terkulai lemas memegangi perutnya yang sudah bersimbah darah. Hilbram jadi tahu apa yang terjadi. Berjalan menghampiri Hardi, Hilbram langsung menamparnya dengan keras. Hingga hidung Hardi mimisan dan sudut mulutnya meneteskan darah. Tenaga Hilbram tidaklah lemah. “Bram! Jangan pukul suamiku!” Hamida berteriak ketika Hilbram memukul Hardi. “Rahman, bawa masuk wanita itu!” Hilbram menyuruh Rahman mengatasi Hamida. Lalu beralih pada Zain. “Periksa Om Bobby, kalau ada yang serius, segera bawa ke rumah sakit!” “Baik, Tuan!” Zain sigap melak
“Suamimu itu, hampir membunuh Bobby!” Fatma dengan ketus mengomeli kakaknya sebelum berangkat kembali ke negara asal suaminya.“Itu sah-sah saja, kita orang diperlakukan tidak adil!” Hamida tidak merasa apa yang dilakukannya salah.“Bharata sudah bilang, kalau kau tidak terima hasil pembagian waris itu, kau bisa menggugat di pengadilan!” Fatma menantang.“Kau pikir aku tidak akan melakukannya?”“Lakukan saja! Apa kau perlu kami umumkan pada semua orang, kalau sebenarnya kau hanyalah anak adopsi?”“Jaga mulutmu!” Hamida menatap tajam Fatma dan menunjuk mukanya. Dengan segera Fatma menampik tangan itu.“Kenapa? Kau pikir aku tidak tahu hal itu?”Kenyataan bahwa Hamida hanyalah anak adopsi sudah diketahui Fatma sejak remaja. Ketika dia menemukan beberapa surat adopsi dari panti asuhan tempat Hamida diambil.Tapi, demi keinginan sang Ibu
Lily melihat Ayesha tepat ketika pria itu menjambak rambutnya dan menariknya kasar. Penampilan tampak berantakan dengan eyeliner, belepotan tersapu air matanya.Sungguh menyedihkan.“Nyonya?”Zain muncul karena merasa Ayesha sedikit lama tidak segera kembali. Dia cemas ada sesuatu dengan Ayesha.Tak jauh dari sana, pemandangan seorang pria menyeret lengan perempuan membuatnya heran. Karena sang Nyonya terlihat membeku.“Nyonya?” Zain memanggil kembali.Ketika baru tersadar, Ayesha segera mengguncang lengan Zain.“Zain, aku kenal wanita itu. Bisakah kau membantu melepaskannya dari pria yang menyiksanya tadi?” Ayesha tampak mendesak.Zain juga keheranan. Ada kejadian seperti itu di tempat umum. Apa pria itu sudah gila? Dan lagi, kemana security tempat ini?“Maaf, Nyonya. Itu bukan urusan kita. Lebih baik kita kembali ke depan.” Zain dengan tegas menolak. Meski terlihat
Melihat suaminya terdengar marah-marah pada Rahman, Ayesha urung membuka pintu ruang kerjanya. Pasti ada masalah serius. Mudah-mudahan bukan lagi tentang hak waris itu.Sejak dulu masalah warisan memang sangat sensitif. Keluarga bisa bercerai berai karena hal ini. Bahkan sampai terjadi pertumpahan darah untuk itu. Apalagi, sebagai satu-satunya anggota keluarga laki-laki yang memiliki banyak tanggung jawab di pundaknya, Hilbram mendapatkan hak yang istimewa.Ayesha cemas, itu hanya akan membuat hidup mereka tidak damai.“Sudah makan, Mas?” tanya Ayesha melihat suaminya baru keluar dari ruang kerjanya. Dia tahu dari pelayan rumah bahwa meja makan masih utuh tanpa ada yang berkenan untuk sekedar mencicipi.Ayesha dan Zain tadi sudah makan di luar. Tapi pria ini pasti belum.“Oh, aku tidak lapar!” Hilbram hanya mengusap kepala Ayesha dan berlalu meninggalkannya ke kamar.Ayesha mengikuti ke kamar. Melihat pria itu masih sibuk dengan sesuatu, Ayesha tidak berani mengganggu. Padahal dia ing
“Hari ini aku boleh keluar menemui teman ya, Mas?” Ayesha meminta izin pada suaminya itu yang sudah rapi. Bilangnya mau mengunjungi kantor perusahaan di Kota ini.“Kau punya teman di sini?” Hilbram mengernyitkan keningnya. Ayesha bilang hanya pernah sekali dua kali ke kota ini, teman-temannya juga tidak banyak.“Nanti aku ceritakan, sepertinya Mas Bram terburu-buru.”“Aku tidak terburu-buru. Hanya kalau bisa menyelesaikan urusanku lebih cepat, nanti sore bisa mengajak istriku jalan-jalan.” Hilbram mencubit lembut pipi Ayesha yang kemerahan itu.“Hmm, baiklah kalau begitu. Aku juga akan segera menyelesaikan urusanku.” Ayesha memberikan senyum manisnya.Hilbram mencium bibir Ayesha dengan mesra sebelum berangkat. Diantar sang istri sampai depan, membuatnya sudah tidak sabar untuk kembali dari urusannya. Bahkan ini belum juga berangkat.“Apa Nyonya juga ingin keluar sekarang?” tanya Zain menghampiri sang nyonya.“Baik, Zain. Aku juga tidak ingin berlama-lama.” Ayesha ingat nanti sore Hil