Rahman nampak hadir menjeda pembicaraan mereka dan memberikan sesuatu pada Hilbram. Seperti segan mengatakan di depan Ayesha, dia meminta pendapat.“Tidak apa, Rahman. Katakan saja!” tukas Hilbram.“Saya sudah menyampaikan surat izin atas nama Nyonya ke pihak sekolah. Jadi seharusnya tidak ada masalah saat Nyonya kembali mengajar,” ujar Rahman.Ayesha yang di sana tentu mendengarnya.“Good job! Terima kasih!” Hilbram pada Rahman. Ayesha tampak tidak sabar untuk menanyakan sesuatu. Setelah Rahman berlalu, dia segera melakukannya.“Anda sudah meminta Rahman datang ke sekolah tempat saya mengajar?” tanya-nya terlihat heran.“Ya,” jawab Hilbram singkat.“Tapi bukankah kita baru saja membicarakannya?”“Kenapa memang?”Gadis ini bawel juga. Bukankah lebih sederhana jika dia mengucapkan terima kasih. Mengapa masih harus memikirkan hal tersebut?Ayesha hanya bingung dan terkejut karena pria ini sebenarnya sudah memikirkan tentang masalahnya. Sebelum dirinya menyampaikannya tadi. Itu bahkan
Ponsel berdering saat Hilbram sibuk melaksanakan zoom meeting di ruang kerjanya. Dia tidak bisa segera mengangkatnya karena sedang bicara. Tidak berapa lama, terlihat Rahman datang mencoba meminta waktu Hilbram sejenak.“Ada apa?” tanya Hilbram setelah mengetuk tombol mute di layar laptopnya.“Maaf, Nyonya Hamidah dalam panggilan. Beliau sepertinya mendesak untuk segera disambungkan dengan anda,” tukas Rahman menyodorkan ponselnya.“Bilang aku sedang meeting penting. Nanti aku akan menghubunginya,” ujar Hilbram menolak meski tahu bahwa tantenya itu akan marah besar kalau panggilannya ditolak.“Baik, Tuan!” Rahman terlihat gelisah atas penolakan itu. Setelah ini dia akan bersiap untuk mendapatkan kemarahan Hamidah. Keponakan dan Tante ini kenapa tidak bisa sedikit akur?Balik dari ruang kerja sang tuan, Rahman langsung menyampaikan apa yang diminta Hilbram. Padahal sudah disampaikannya dengan sesopan dan sehormat mungkin, namun Hamida tetap juga memarahinya. Segenap kata-kata pedas ya
Momo mengetuk pintu kamar Ayesha dan segera mendapati sang nyonya sudah tampak rapi pagi ini. “Nyonya, cantik sekali!” Pujinya pada Ayesha.“Jangan berlebihan begitu, Momo. Ini karena set baju dan hijab yang aku pakai saja bagus, bukan karena akunya.” Ayesha yang tidak terbiasa mendapat pujian pun justru merendah. “Ah, Nyonya terlalu merendah. Itu baju kalau saya yang pakai pasti sayanya tetap kelihatan buluk!” Momo menertawai dirinya sendiri.Ketika melihat Ayesha tidak ikut menertawai dirinya, Momo segera sadar dan memperbaiki sikapnya. Tidak seharusnya terlalu akrab dengan sang Nyonya meski dia tahu Ayesha wanita yang baik dan humble. “Kenapa, Momo?” Ayesha heran Momo dengan cepat bersikap seperti biasanya.“Maaf, jika Nyonya tidak suka. Saya seharusnya tidak bersikap demikian.”Ayesha tersenyum dan mendekati wanita itu. “Aku tidak keberatan kok, kalau kita ngobrol biasa seperti teman. Akan sangat menjemukan bukan sepanjang hari harus seformal itu.”Dia akan menghabiskan banya
Hilbram menyukai tempat yang bisa menjaga privasinya. Namun pagi ini dia ingin sarapan di luar rumah dan mencari suasana baru karena sekalian ingin menghabiskan sedikit waktu bersama wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu.Rahman memilihkan sebuah resto dan kafe yang bernuansa alam, di mana viewnya langsung gunung dan air terjun dari kejauhan yang terlihat mempesona. Cocok sekali untuk pasangan pengantin baru yang seharusnya hari-hari ini dihabiskan untuk berbulan madu.Tempat itu sengaja ditutup untuk umum karena hanya akan melayani seorang pegusaha kaya raya yang ingin sekedar sarapan bersama istrinya.Ketika Ayesha sudah duduk di sana bersama Hilbram dengan sajian menu yang beraneka macam, dia sedikit merasa aneh. Kenapa tempat ini sepi sekali?“Apa yang membuatmu resah?” tanya Hilbram menatap sang istri yang pagi ini terlihat cantik sekali. Udara yang sejuk menambah suasana hatinya menjadi damai.“Tempat ini b
Di luar hujan deras dan mereka memutuskan untuk menyewa Vila. Keduanya duduk di pinggir jendela menikmati teh hangat dan camilan yang disuguhkan pengelola vila. Sambil berbincang-bincang kecil menunggu hujan reda. Sebenarnya dalam hati Hilbram berharap hujan akan turun sepanjang hari agar dia bisa menikmati momen berdua yang romantis ini. Meski saat ini hanya bisa mengobrol saja. Menunggu waktu yang tepat untuk melakukan apa yang seharusnya dua insan yang sudah menikah lakukan. Dingin-dingin seperti ini, pemikiran pria yang sudah beristri pastilah ke arah sana. “Kau tinggal bersama siapa saja di rumahmu?” tanya Hilbram. Sebenarnya Hilbram sudah tahu karena meminta Rahman menyelidiki tentang gadis ini. Namun pertanyaan itu harus diutarakannya agar Ayesha menganggap Hilbram peduli untuk bertanya tentang keluarganya. “Aku tinggal sendiri. Ibuku meninggal ketika aku baru lulus SMA. Ayahku sudah lebih dulu meningggal
Mata yang terpejam itu perlahan terbuka dan menatap tubuh yang terkulai lemas di sampingnya.Beberapa saat dia menatap wajah yang terlelap itu dan menyadari bahwa dia sedikit terburu melakukannya.Padahal sebelumnya sudah menyepakati untuk tidak mengusik Ayesha hingga gadis ini benar-benar menerimanya.Ternyata pengendalian dirinya tidak sekuat yang dikiranya selama ini.Sebagai pengusaha muda yang sukses, godaan akan tawaran wanita tentu tidaklah sedikit.Pernah suatu ketika seorang direktur yang bekerjasama dengan perusahaannya, ingin berterima kasih dengan mengirimkan dua wanita pilihan untuk menghiburnya. Wanita dengan kualitas terbaik dan nyaris sempurna secara visual.Tapi Hilbram justru memberikan uang pada dua wanita itu dan memintanya pergi dari kamar hotelnya.Hilbram dididik dengan sangat baik oleh kakeknya, bahwa hal sekecil itu mungkin bisa menjadikan masalah besar jika tidak bisa m
Semalam tidurnya nyenyak sekali hingga baru terbangun ketika ponsel di nakas berdering berkali-kali. Ayesha berjingkat dan segera memeriksa ponselnya. Sudah jam 5 lebih beberapa menit dan dia belum melaksanakan kewajibannya. Beberapa menit lagi mentari sudah menyapu jejak waktu subuh. Ayesha segera bangkit dan berlalu ke kamar mandi. Ponsel berdering sekali lagi. Ayesha yang sudah menyelesaikan sholat bangkit mengambilnya. Melihat nama di layar dia mengernyitkan jidatnya. ‘Suamiku?’ Pasti nomor pria itu. Siapa yang memberi nama seperti itu? Menggelikan sekali. Batin Ayesha sembari mengangkat panggilan. “Assalamu’alaikum?” sapa Ayesha dengan nada ragu. “Waalaikum salam, sudah bangun, Sha?” suara bariton itu terdengar sedikit serak seperti orang mengantuk. Ayesha baru ingat, Qatar dan tempatnya beda 4 jam lebih lambat. Jika sekarang baru pukul 5 pagi, di Qatar pasti masih dini hari. Apa pria ini tida
“Maaf, Bu!” hanya itu ucapan Ayesha.Salahnya dia tidak bertanya dengan alasan apa Rahman mengijinkannya? Jadinya dia hanya bisa meraba-raba dan menunggu apa yang akan disampaikan kepala sekolahnya.“Tadinya aku mau memberimu surat teguran, tapi pihak yayasan menyampaikan memberimu izin selama yang kau butuhkan. Heran saja, bagaimana kau begitu lancang meminta izin dari yayasan sementara tidak memberitahuku!”Maria merasa apa yang dilakukan Ayesha dengan begitu saja meminta izin dari yayasan adalah sebuah penghinaan padanya. Karena yayasan sendiri selama ini tidak pernah ikut campur dalam urusan penegakan kedisiplinan di sekolah.Jika tiba-tiba ada rekomendasi langsung dari yayasan tentang surat izin Ayesha, Maria tentu mencurigai Ayesha sudah bermanipulatif.“Saya harus bagaimana, Bu?”Ayesha tidak paham apa yang harus dilakukannya. Secara administrasi dia sudah meminta izin dan sekolah