Share

Bab 5 - Aku Tidak Menggodamu

CTARR!!!

Petir itu benar-benar terdengar dengan cukup keras. Kilatan putih itu seperti flash kamera raksasa yang menyilaukan hingga membuat Bela berteriak ketakutan.

"AAA!!"

Ia yakin petir itu menyambar setidaknya pohon atau batu atau bumi, pasti salah satu dari mereka. Ia juga terkejut karena Nial keluar dari pintu kamar mandi dan berlari padanya lalu memeluknya yang masih duduk di atas tempat tidur.

"M-Mas Nial!"

Bela memanggil Nial sekali lagi dan secepat mungkin Nial melepaskan tangannya yang merengkuh Bela. 

"Kenapa teriak?" tanyanya ketus. Bela mengangkat wajahnya untuk melihat Nial yang semakin tinggi saat berdiri di hadapannya. 

"A-ada petir." Bela menjawab dengan ragu-ragu. 

Ia melihat wajah kesal Nial yang lalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Ia kembali masuk ke dalam kamar mandi dan Bela dapat mendengar suara air yang jatuh dari shower.

Nial mengusap wajahnya dengan kasar saat mengingat bagaimana ia berlari secepat Usain Bolt dan memeluk Bela yang berteriak ketakutan karena mendengar petir yang menggila di luar.

"Nial bodoh! Dia bukan Catherine!" umpatnya untuk diri sendiri. Tapi sungguh! Bela memberikan rasa manis pada saat malam pertama. Mengingat wajah tidak berdayanya membuat gairah Nial kembali bangun.

"Sial! Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan anak itu?"

Nial memejamkan matanya dan kembali berdiri di bawah shower. Ia harus melunturkan semua hasrat itu di sini karena jika tidak ia pasti akan menerkam Bela saat keluar dari kanar mandi.

Sebenarnya Bela merasa untuk ukuran waktu mandi seorang lelaki, Nial cukup lama ada di dalam sana. Tapi baru saja ia berpikir demikian, Nial keluar pada akhirnya. Dan ia masuk ke dalam ruang ganti.

Bela turun dari tempat tidur dan juga akan mandi. Ia dengan ragu memasuki ruang ganti untuk mengambil pakaian. Saat ia mengintip ke dalam, ternyata Nial sudah selesai berpakaian dan berbaring di sofa besar di dalam sana dengan tangan yang sibuk dengan ponselnya.

"Mas Nial kenapa tidur di sini?"

Pertanyaan itu membuat Nial mengalihkan padangannya dari layar ponsel pada Bela yang berdiri tak jauh darinya.

Saat itu, Bela menyumpahi dirinya sendiri yang telah salah karena dengan bodohnya berani bertanya pada Nial. Karena dengan hanya dilihat dari sorot matanya saja lelaki itu tidak suka Bela merambah kepentingan pribadinya.

"Kenapa? Kamu mau aku tidur di ranjang?"

Bau ruangan ini sepenuhnya diisi dengan aroma sabun mandi yang begitu harum yang memanjakan indra penciumannya. Bela tahu ini datang dari tubuh dan rambut Nial yang sehabis mandi. 

Tapi ini bukan saatnya untuk terpana dengan Nial karena mata lelaki itu memandangnya dengan memicing. Menunggu jawaban Bela.

"Tidak! Terserah kamu!"

Bela menjawab dengan cepat dan ia membuka lemari untuk mengambil baju apapapun dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi sebelum Nial menginterogasinya dengan pertanyaan lain.

Ia buru-buru mandi untuk menghilangkan penat dan membasuh luka yang terasa perih baik di tangan dan kakinya.

"Kenapa perih seperti ini? Aku 'kan hanya jatuh biasa."

Ia lalu mengambil baju yang tadi dibawanya dan bersiap untuk memakainya. Namun ia terperangah karena baju yang diambilnya mengindikasikan sebuah situasi yang gawat.

Baju itu memang berbentuk seperti dress, tapi pada bagian pinggangnya didesain seperti kekurangan bahan. Dress tanpa lengan, dengan kerah leher yang rendah yang apabila dipakaianya pasti Nial mengatakan ia sedang menggodanya.

Ini lebih seperti pakaian yang digunakan istri untuk menggoda suaminya.

Dalam keadaan krisis ini, pintu digedor dari luar bersama suara Nial yang memanggilnya.

"Bela! Ada telepon dari ayahmu!"

Gawat! Bela memandang ke segala arah. Mencari bath robe tapi tidak ada. Dress yang sebelumnya ia pakai sudah basah terkena air dan ia lempar ke dalam keranjang pakaian kotor.

Matanya menggelepar dalam kecemasan. Ia harus segera keluar karena Nial terdengar tidak sabar saat ia tak kunjung memberikan jawaban.

"Bela!!"

Suara Nial mulai meninggi saat ia masih mengetuk pintu kamar mandi dengan semakin keras.

'Masa bodoh,' pikir Bela dalam hati dan dia memakai dress penuh dosa ini. 

Ia membuka pintu dan hanya memunculkan kepalanya saja saat melihat wajah dingin Nial dan garis dagunya yang menegang karena kesal.

"Kamu tidak mendengarku?" tanyanya ketus sama seperti biasa.

"M-maaf!

"Cepat keluar dan jawab telepon ayahmu!"

Nial membuka pintu lebar-lebar dan hal itu membuat Bela dengan cepat menyilangkan kedua tangannya di depan tubuhnya.

Mata Nial menatap semuanya, pemandangan indah itu, lekuknya yang sempurna dan wajah ayu Bela yang memang harus diakuinya. Ia menelan salivanya dengan pelan tapi gairahnya yang baru saja padam kembali berkobar.

"Kamu menggodaku dengan pakaian itu?"

Bela sudah menduga akan seperti ini pikiran Nial. Siapapun pasti berpikir demikian jika melihat situasi tidak menguntungkan ini.

"T-tidak! Maaf! Aku buru-buru mengambil pakaian dan tidak melihatnya."

Degub jantung Nial membuncah, ia kalah.

Bela merasakan tangan Nial menariknya keluar dari kamar mandi. Ia membuat Bela melepas tangannya yang menyilang dan membuatnya tersudut di dinding. Nial meraih pinggangnya dan mendaratkan bibirnya pada bibir Bela.

Bela mencoba menahan agar Nial tidak melakukan ini, tapi tubuh mungilnya habis ditelan bahu lebar dan tangan besar Nial yang memeluknya.

Bela tidak bisa bergerak dan tidak bisa melakukan apapun karena ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan di saat seperti ini. Tapi ia melihat mata terpejam Nial dan ia melakukan hal yang sama.

Tapi masih ada sebagian akal sehatnya yang bekerja yang menolak semua perlakuan Nial padanya.

"Mas Nial, berhenti!"

Napas Bela memburu, tapi Nial tidak mengindahkannya.

"Siapa suruh kamu menggodaku? Kamu sengaja melakukannya, 'kan?"

"Tidak!"

"Bohong! Kamu ingin aku memberimu kenikmatan? Mengaku saja! Aku akan memberikannya untukmu!"

"Tidak, Nial!"

"Nial? Apa aku adikmu sampai kamu hanya memanggilku dengan nama saja ?"

Nial mengangkatnya hanya dengan sekali gerakan dan membuat mereka jatuh di atas ranjang.

Suara dering ponsel kembali terdengar dan saat Bela melihat ke samping itu adalah ponselnya dan ada panggilan dari ayahnya.

"Mas, bapakku telepon!"

"Aku tidak peduli!"

Bela meraba-raba ponselnya. Takut itu situasi yang darurat mengingat ibunya masih ada di rumah sakit dan belum sadar pasca operasi sampai saat ini. Tapi ponselnya berhenti berdering tepat saat Bela meraihnya.

"Mas Nial!"

Bela terkejut karena Nial justru semakin liar. Yang mana hal ini membuatnya ketakutan karena ia tidak ingin berakhir seperti semalam. Ia khawatir pada ibunya, pada panggilan telepon ayahnya yang tak kunjung ia angkat.

Ia mendorong Nial dengan marah, dengan air mata yang menetes di kedua sudut matanya.

"Jangan, Mas Nial, kumohon mengertilah!"

Bela terisak.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Christy Lino
Akh si Nial udh mulai ada rasa sama Bela tpi sok soan jaim tahan2 hasrat laki2nx finally gk nahan juga kan hemmpppp
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status