Rey menatap tajam Hana dan Tiara, matanya penuh dengan pertanyaan yang memerlukan jawaban. "Sekarang katakan kepadaku, siapa yang menyuruh kalian untuk menyakiti Delisha?" tanya Rey dengan suara tegas, memaksa mereka untuk memberikan jawaban yang jujur.Deg!Detak jantung Hana dan Tiara berpacu begitu sangat cepat, mereka merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa menyembunyikan kebenaran lebih lama lagi. Wajah mereka pucat, dan mata mereka saling bertatapan dalam kepanikan.Akhirnya, dengan suara serak, Hana mengangkat kepalanya dan menjawab, "Tidak ada yang menyuruh kami, Tuan Rey. Kami bertindak atas keputusan kami sendiri, tanpa pengaruh dari pihak manapun."Tiara mengangguk tegas setuju dengan penjelasan Hana. "Kami sungguh-sungguh minta maaf, Tuan Rey. Kami sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan kami."Rey mengamat-amati kedua wanita itu, mencermati ekspresi wajah dan nada suara mereka. Dia bisa merasakan ada hal yang ganjal dari penje
Rey dan Delisha sedang berada di perjalanan untuk menuju Mansion Maduswara, sedari tadi Delisha begitu gugup, jantungnya berdebar begitu cepat di dalam sana, ini kali pertamanya ia akan bertemu dengan mertuanya di Mansion Maduswara, setelah apa yang terjadi sebelumnya. Mobil yang ditumpangi Rey dan Delisha melaju perlahan di sepanjang jalan menuju Mansion Maduswara. Delisha bisa merasakan getaran jantungnya yang cepat, kegugupan melanda dirinya sejak mereka meninggalkan kantor.Sesekali, matanya memandang keluar jendela, mencoba menenangkan diri dengan pemandangan sekitar. Namun pikirannya tetap melayang-layang membayangkan pertemuan mendebarkan dengan mertuanya nanti, yang tak terelakkan setelah apa yang terjadi sebelumnya.Delisha bertanya-tanya dalam hatinya mengapa mertuanya, akhirnya menerima dirinya sebagai menantu di Mansion Maduswara. Apakah hal ini terjadi karena anak yang dikandungnya? Rasa penasaran dan kekhawatiran merayapi pikirannya.Rey melihat ke arah Delisha yang ada
Mata Delisha tak henti memandang jalan. Matanya berbinar-binar. Pikirannya masih bercabang ke mana-mana, ia memikirkan tentang apa keputusan dari mertuanya, Emran, yang akan memberi tahu kepada setiap orang tentang siapa dirinya.Tak terbayangkan baginya bahwa mertuanya, Emran, akan mengubah pendiriannya begitu cepat. Kini, ia dapat bernapas lega karena Emran dan Arumi telah menerimanya sepenuh hati.Delisha begitu bahagia mendengar semua itu, ia tak menyangka bila mertuanya itu akan berubah secepat itu, wanita yang berambut panjang sebahu itu begitu bersyukur, akhirnya, mertuanya, Emran dan Arumi sudah mau menerimanya.Lamunan Delisha terhenti, ketika Rey menyentuh tangannya. Delisha terkesiap seketika. Wanita itu membalas tatapan Rey dengan senyuman yang begitu manis terukir di wajahnya."Kamu kenapa? Dari tadi melamun terus?" tanya Rey seraya menyelipkan anak rambut ke belakang daun telinga Delisha."Aku masih kepikiran tentang perkataan Papa, Rey.""Kamu jangan terlalu banyak berp
"Siapa, Bi?" tanya Jonathan, mengangkat alisnya dengan rasa ingin tahu."Ada den Daffa, Tuan," ujar Asisten tersebut dengan ramah."Selamat sore, Tante, Om," sapa Daffa dengan senyuman hangat yang sudah terukir di wajahnya.Semua orang di ruangan itu memutar kepala mereka ke arah datangnya Daffa, termasuk Rey dan Delisha. Seketika kedua bola mata Rey melebar, ia terperangah melihat sosok lelaki tersebut. Ia benar-benar shock, ketika ia mengetahui siapa yang ada di hadapannya kini.Namun, tidak dengan Bella, wanita itu tersenyum melihat Daffa dan begitu sangat bahagia ketika melihat kekasihnya itu yang datang."Daffa," gumam Bella.Daffa tersenyum, mata dan senyumnya penuh dengan kehangatan ketika melihat ke arah yang lainnya. Namun, ketika ia baru menyadari ada Rey juga di sana, seketika jantungnya berhenti berdetak. Napasnya terasa sesak, dan ia merasa sulit menelan air liurnya. Lelaki itu tak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan Rey di sini.Rey, yang melihat Daffa, merasa amarahn
"Kenapa kamu diam saja?" Bella menarik erat kerah baju Daffa dengan tangan yang sudah bergetar. Matanya memancarkan rasa putus asa. "Ayo katakan! Semua yang dikatakan Rey itu tidak benar, kan? Ayo jawab?!" desak Bella dengan nada yang memaksa, mencoba untuk mendapatkan jawaban dari Daffa yang terdiam. Ia ingin mendengar klarifikasi dari kekasihnya, berharap bahwa semua tuduhan itu hanyalah kesalahpahaman saja.Daffa menundukan pandangannya, tak mampu memandang mata Bella. "Maafkan aku," ucap Daffa dengan suara terdengar serak. Lelaki itu merasa sangat malu dan menyesal. Ia tidak mampu memandang mata Bella, karena ia merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi.Kata-kata itu terlontar dari bibirnya dengan penuh penyesalan yang mendalam atas perbuatannya. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar dan merasa sangat menyesalinya."Kenapa kamu minta maaf?" Bella bertanya dengan suara penuh kecewa, tatapannya memancarkan rasa sakit dan kekecewaan yang mendalam."Semua yang dik
"Ma, Bella menyesal. Andai saja dulu Bella tidak kabur di hari pernikahan Bella dengan Rey, mungkin Bella tidak akan sesakit ini, mungkin juga sekarang Bella sudah bahagia dengan Rey," gumam Bella lirih.Deg!Mendengar kata-kata Bella, Delisha merasa dadanya sesak. Ia tidak mengerti mengapa Bella bisa berpikir seperti itu.Kenapa Bella berkata seperti itu?Senyum tipis melintas di wajah Delisha, meskipun hatinya hancur mendengar perkataan Bella. Ia mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjawab dengan bijak. "Bella, tidak ada salahnya merasa menyesal atau memikirkan bagaimana jika segala hal terjadi dengan cara yang berbeda. Tetapi kamu harus ingat, apa yang terjadi padamu sudah berlalu. Kini, kamu harus fokus pada masa depanmu dan mencari kebahagiaanmu sendiri."Bella mengangkat kepalanya dan bertatap langsung dengan mata Delisha. Air mata mengalir di pipinya, menunjukkan betapa dalam rasa sesalnya. "Delisha, aku benar-benar menyesal. Aku menginginkan kebahagiaan yang seharusnya menj
"Maafkan aku, Rey. Aku hanya takut bila kamu masih mencintai Erlin," gumam Delisha dengan suara lirihnya.Rey melihat lekat ke arah Delisha, lelaki itu berusaha meyakinkan istrinya, bahwa dihatinya kini sudah tidak ada Erlin, hanya ada Delisha seorang. "Apa yang harus aku buktikan agar kamu bisa percaya sama aku, kalau di dalam hatiku cuma ada kamu seorang Delisha?" tanya Rey.Delisha mengangkat lemah pandangannya, melihat pada suaminya, Rey, yang tengah berdiri di depannya. Ia menatap mata Rey dengan cermat, mencari tanda-tanda kejujuran di balik kata-katanya. "Rey, bukan soal bukti fisik, tapi tentang keyakinan dan perasaan," ucapnya pelan. "Aku butuh waktu untuk mempercayaimu sepenuhnya. Tapi, tolong pahami, rasa takutku."Rey merasa getaran emosi dalam suara Delisha, dan dia menyadari bahwa membangun kembali kepercayaan membutuhkan kesabaran dan pengertian. "Aku mengerti, Delisha. Aku akan selalu berusaha membuktikan cintaku padamu dengan tindakan dan kesetiaan," janji Rey, matan
Eugh!"Brengsek!"Erlin memegang surai panjangnya, hawa dingin mengepul di sekitarnya, raut wajahnya mencerminkan amarah yang tak terbendung. Ia menyesali lelaki yang seharusnya menjadi pelindung dan penyayangnya. Namun, justru meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Sekarang, lelaki itu kembali, membawa wanita yang ia katakan sebagai istrinya. Perasaan Erlin tercampak, perasaan kecewa dan terpukul oleh ayahnya yang telah merusak dan mengacaukan hidupnya.Erlin duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong memandang ke dalam jauh. Dia merenungkan segala yang telah terjadi, membiarkan emosi-emosi yang berkecamuk dalam dirinya menemukan jalan keluar."Ayah," gumamnya pelan, suaranya penuh dengan kesedihan dan kekecewaan. "Apa yang kau lakukan padaku? Mengapa kau memilih untuk menghancurkan segalanya?"Dia menatap benda-benda di atas meja dengan tatapan kosong. Setiap sudut apartemen ini, setiap benda, semuanya menyiratkan kenangan yang pernah indah. Namun sekarang, semuanya terasa hambar, d