Sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan Aileen dan dan Aira. Wajah Bagas muncul dari balik kaca bangku penumpang yang perlahan turun."Masuk."Aileen bertukar pandangan dengan Aira sebelum mengangguk kecil dan membuka pintu dan melompat masuk ke dalam mobil. Aileen memberi ruang bagi Aira untuk masuk lebih dulu dan duduk diantara ia dan Bagas.Manik mata Aileen membulat begitu mendapati ada sosok berambut panjang lain yang duduk di bangku depan, tepatnya disamping Gio yang bertugas mengemudikan mobil."Hai, Aileen," sapa Gio.Aileen tersenyum sambil mengangguk kecil. "Hai, Gio," balasnya sambil mencuri pandang pada Soraya yang tampak enggan untuk menyapanya. "Hai, Soraya." Wanita yang di sapa hanya mendengus kecil tanpa niat untuk menanggapi. Aileen mengendikkan bahunya cuek lalu menyandarkan punggungnya, mencari posisi nyaman."Kenapa berkeluyuran kesana-kemari. Kamu baru saja sembuh dari demam tinggi," omel Bagas."Aku tidak keluyuran, hanya kembali bekerja," sanggah Aileen.Ba
"Apa?" Aileen melepaskan pegangannya di lengan Bagas untuk meraih tangan Denis. "Apa yang terjadi padanya?""Aileen, hati-hati dengan kaki mu," ujar Bagas mengingatkan. "Lebih baik kita mencari tempat untuk duduk dulu agar kaki mu bisa beristirahat."Denis mengangguk setuju. "Benar, Kak. Kita masuk ke rumah dulu ya." Ia segera membantu Aileen menyeret kakinya selangkah demi selangkah."Ah!"Aileen menjerit panik ketika tubuhnya terangkat ke udara. Ia segera mengalungkan tangannya ke leher Bagas dan pasrah saat pria itu mengendongnya masuk ke area pekarangan rumah."Kalau terus dibiarkan, kamu akan membuatnya semakin parah," kata Bagas.Aileen mengerjabkan matanya bingung sembari terus mengingatkan hatinya untuk tenang dan berhenti gelisah.Ia yakin, apapun yang dilakukan Bagas saat ini semata-mata hanyalah pencitraan di depan orang lain. Tidak mungkin Bagas tiba-tiba berubah menjadi baik bahkan perhatian padanya."Apa kamu punya air hangat?" tanya Bagas begitu mendudukkan Aileen di so
"Aileen, di depan ada apotik. Kita mampir sebentar untuk beli—"Bagas memalingkan wajahnya karena tak juga mendengar respon dari orang yang duduk disampingnya. "Aileen," panggilnya lagi. "Hhh … kamu selalu bisa tidur dimanapun," desahnya sambil meraih jas dari bangku belakang dan meletakkannya di atas tubuh yang terlelap pulas.Bagas mengelus puncak kepala itu lembut. Usapan jemarinya turun pada pipi yang tetap hangat meski suhu AC di dalam mobil di set up cukup rendah. "Entah mengapa, belakangan ini aku selalu khawatir setiap kali melihat wajah pucat mu," gumam Bagas. "Jadi, kumohon. Jangan sakit ataupun terluka."Tangan Bagas melepas seatbelt yang mengurung tubuhnya lalu mencondongkan wajahnya, menempelkan bibirnya di kening Aileen. Cukup lama untuk menyesap kehangatan yang hanya bisa ia dapatkan saat berada disamping wanita keras kepala ini."Istirahatlah. Aku segera kembali," ucapnya sebelum turun dari mobil dan menutup pintu perlahan.Di dalam mobil, perlahan Aileen membuka mat
"Bagas …"Bagas terbelalak kaget saat kedua lengan Aileen memeluk lehernya. Sentuhan itu terasa familiar, setiap gerakan seolah telah lama ia rindukan."Kamu?" Bagas menarik diri—melepaskan tautan lengan itu dari tubuhnya seraya menangkup kedua belah pipi yang merah dan hangat. Rahangnya mengetat dengan tatapan yang terarah. "Aileen?" Ucap Bagas ragu. Ia berusaha menepis kerinduan dan harapan yang bergejolak dalam hatinya.Pemilik wajah itu terdiam dengan tatapan bergetar. "I-iya …" Suara yang keluar dari balik bibir tipis itu terdengar bergetar."Tapi …" Setiap kata yang akan keluar dari bibir Bagas tertahan oleh ego. Ia dapat merasakan kehadiran Aira dalam diri Aileen, namun ia tak bisa menepis sosok Aileen dari pandangannya."Bagas, a-aku …" Jemari Aileen terkepal, Aira merematnya erat. Bimbang diantara pilihan yang sulit. Apakah ia harus jujur atau terus berlakon sebagai Aileen."Kenapa? Kepala mu pusing lagi? Atau kakimu nyeri?" Buru Bagas khawatir.Aira menggelengkan kepala de
"Gila si Vincent! Dia kira kita ini kancil apa! Disuruh kesana-kemari, bawa ini-itu. Di kiranya hantu nggak perlu istirahat.""Kalo nggak cakep udah ku selepet pake kolor ijo," cerocos Rachel yang muncul dari balik tembok dengan wajah jutek dan mulut yang tak berhenti mengerutu."Huahhh … capek." Rachel melempar tubuhnya ke atas ranjang. Tak lama ia terdiam lalu melirik bingung, karena tak mendapat respon yang berarti dari orang yang duduk di sisi yang berbeda."Tumben banget si Aileen nggak ngomel," ungkapnya sambil mengerling pada Mardiana yang baru saja menembus tembok dan duduk di sofa panjang. "Apa dia sakit lagi?"Mardiana menatap cemas dan segera beralih untuk mendekati Aileen yang masih menekuk wajahnya menatap ubin marmer berwarna gelap."Aileen, kamu baik-baik saja?" Mardiana menepuk perlahan pundak wanita muda itu."Eh …" Aileen mengerjab mata beberapa kali sebelum akhinya mengembangkan senyum manis di bibirnya. "Bu Mar, udah pulang?"Mardiana dan Rachel kompak mengerutkan
'Sejak kapan kamu suka makan bakso … Aira.'Aira susah payah menelan potongan bakso melewati tenggorokannya. Dalam benaknya kembali terngiang kalimat yang dilontarkan Bagas dengan raut wajah datar dan dingin, kalimat yang mampu membuat tubuhnya seketika membeku.Beruntung, saat itu Daren kembali muncul dan buru-buru menyeret tangan Aileen untuk segera pergi.Dan kini, ketiganya duduk dalam satu meja dimana tubuh Aileen dan Daren bersisian sedangkan Bagas duduk di hadapan mereka dengan tangan terlipat di depan dada. Pria itu sama sekali tak menyentuh mangkuknya. Matanya hanya lurus pada Aileen, seolah menuntut penjelasan."Bukankah aku sudah bilang, kamu pasti tak akan bisa makan disini," kata Daren.Sindiran bernada ringan itu berhasil memecah kesunyian yang kian terasa mencekam."Makan'lah. Rasanya enak kok," tutur Aira. Ia ingin sedikit menurunkan kerasnya intensitas tegang diantara mereka.Bagas melengos pelan lalu menurunkan tangannya dan bergerak canggung. Ia menatap boja pejal y
"Bagas, sejak kapan kamu tahu kalau aku bukan'lah Aileen?"Aira merebahkan kepala di pundak Bagas. Keduanya duduk bersisian di bangku taman belakang, menatap bintang sambil menikmati seduhan teh hangat—seperti yang dulu selalu mereka lakukan saat menghabiskan waktu bersama."Ku rasa dari awal," balas Bagas tenang, ia meletakkan cangkirnya kembali ke meja dan beralih pada wajah yang menatapnya dengan sorot mata lembut."Bagaimana kamu bisa tahu? Aku berusaha keras menjadi seperti Aileen?" Aira berdecak sebal. Ia ingat jelas betapa susah payahnya ia saat meniru sosok Aileen yang setiap harinya bicara dengan nada ketus.Bagas terkekeh geli. "Aileen tidak melihatku dengan tatapan lembut seperti ini," ucapnya seraya mengusapkan ibu jari di sudut mata Aileen. "Dia selalu melengos dan mengerutkan kening setiap kali berhadapan dengan ku." Bagas menurunkan tangannya seraya mengulum senyum."Ah, benar juga. Aku lupa kalau Aileen selalu kembali dengan wajah kesal dan mengumpat kasar setelah bert
Aileen bergelung dalam tidurnya. Ia mengeram pelan saat sengatan tajam terasa menusuk, menembus otaknya. Perlahan ia membuka mata, mengerjab beberapa kali saat mendapati suasana yang berbeda. Ini seringkali terjadi, namun ia tetap saja belum terbiasa bila tiba-tiba terbangun di tempat yang lain. Aileen memijat pelipisnya dan menyusuri pemandangan yang mampu dijangkau oleh matanya.'Ini kamar Bagas?' seru hatinya panik. Aileen berpaling saat mendengar suara dengkuran halus disertai terpaan hangat yang membelai wajahnya. Matanya melebar saat bertatapan langsung dengan wajah tampan yang masih tertidur pulas. Aileen mengalihkan pandangannya, lurus menatap langit-langit kamar sembari menebak-nebak apa yang telah terjadi selama dia tiada.Ia menahan napas saat rangkulan di pinggangnya mengetat dan menarik tubuhnya agar lebih dekat dengan pemilik tangan. 'Apa yang harus ku lakukan sekarang?' Teriaknya dalam hati. "Aku harus segera keluar dari sini," gumamnya.Perlahan Aileen mengangkat ta