Setelah berhasil memasangkan dasi dengan berbagai dram yang Bara buat, Indah langsung menyiapkan sarapan untuk mereka. Hanya roti panggang dengan selai srikaya kesukaan Bara juga dengan segelas susu, karena Indah tidak sempat membuat hal yang lain. Itu terjadi karena Bara yang sejak tadi terus saja mengodanya. "Ini, Mas." Indah menyerahkan dua lembar roti tawar yang sudah diolesi selai srikaya kepada Bara. Dengan senang hati pria itu menerimanya. "Makasih, Indah." Indah mengangguk seraya tersenyum tipis. "Sama-sama, Mas." "Kamu makan yang banyak," ujar Bara sebelum ia melahap rotinya. "Iya, Mas." Keduanya khusyuk sarapan, meski kadang kala Bara terus saja mengoda. Membuat Indah yang ingin menahan tawa malah jadi tersendak. Buru-buru Bara mengambil air putih untuk Indah lalu menyerahkannya. "Makanya kalau makan pelan-pelan, Indah." Bara bersikap seperti tidak bersalah setelah Indah selesai minum. Jelas saja Indah kesal dengan sikap Bara barusan. Perempuan itu mendengus kesal. "I
Tiba di kantor, Bara dan Indah menjadi pusat perhatian. Hal itu jelas karena mereka adalah pasangan pengantin baru yang sudah selesai berbulan madu. Sekarang waktunya Bara dan Indah kembali berkutat dengan pekerjaan. Banyak ucapan selamat yang mereka dapatkan. Meski masih saja ada segelintir ucapan nyelekit yang membuat kuping Indah panas. "Kamu jangan dengerin, yang penting kita bahagia." Bara yang tahu perasaan Indah pun berbisik ketika mereka sedang berada di dalam lift. Indah tersenyum simpul lalu mengangguk patuh. "Iya, Mas." Benar apa yang dikatakan Bara. Mereka lebih harus fokus pada kebagian. Biarkan orang-orang mengatakan apa pun selama tidak merugikan. "Selamat pagi, Tuan, Nona." Zulfi menyambut kedatangan Indah dan Bara. "Hemm, pagi. Zulfi, apa semua berjalan dengan lancar ketika aku cuti?" Bara langsung menanyakan masalah pekerjaan. Ada rasa khawatir terjadi kerugian seperti saat Bara koma dulu. Iya, meski hanya ditinggal satu minggu, tetapi Bara merasa patut waspada
Bara menatap Indah satu alis yang terangkat karena Indah tidak juga duduk di pahanya. "Indah, kenapa diam saja?" "Emm ... Pak, saya duduk di sofa saja." Dengan cepat Bara menggeleng--tidak setuju dengan Indah. "Aku ingin kamu duduk di sini, Indah.""Tapi ... ini di kantor, Pak." Indah berusaha untuk bersikap layaknya seorang bawahan terhadap atasan."Justru itu, kamu harus nurutin kemauanku. Sebagai bawahan kamu enggak bisa nolak perintah atasan." Terang saja ucapan Bara membuat Indah melebarkan mata. Bara memang benar, tetapi ia merasa perintah Bara terlalu berlebihan. Duduk di pangkuan Bara? Mana bisa! "Indah, ini perintah. Kamu enggak bisa menolaknya," ujar Bara kala melihat respon dari Indah. "Tapi, Pak--" Ucapan Indah terpotong begitu saja karena dengan cepat Bara berdiri lalu berjalan dan menarik lengan Indah. Indah yang tidak siap terhuyung. Saat itulah Bara duduk kembali di kursi kebesarannya lalu dengan satu gerakan Indah sudah duduk di pangkuannya. "Mas!" pekik Indah
Bara terkekeh kecil melihat ekspresi wajah Indah yang kesal karena perbuatannya. Sementara Indah semakin mencebik karena Bara malah menertawakannya. "Mas, enggak ada yang lucu!" "Masa sih? Kok aku ngerasa kamu lucu ya?" balas Bara semakin membuat Indah kesal bukan main. "Mas! Ini lagi serius kerja, jangan ganggu dulu bisa 'kan?" "Enggak bisa, kamu terlalu menggoda buat aku anggurin gitu aja." Bara mengerlingkan matanya dengan nakal. "Ck! Kalau kayak gitu terus aku keluar aja deh, mending kerja di mejaku." Indah berniat turun dari pangkuan Bara, tetapi dengan cepat pria itu menahan tubuhnya. "Kok gitu? Kamu lupa kalau ini perintah?" "Aku enggak lupa, cuman kesel aja. Mas ganggu terus, gimana mau selesai kerjaannya. Nanti kalau lembur enggak aku temenin!" Terang saja ancaman Indah membuat Bara kalang kabut. Pria itu dengan segera menggeleng. Tidak mengizinkan itu terjadi. "Enggak bisa gitu dong, Indah.""Abisnya Mas enggak bisa diajak serius." Dalam waktu sekejap mata, raut waj
Bara menatap Indah dengan tatapan yang tidak dapat perempuan itu artikan. "Indah, kenapa diam?"Pertanyaan Bara semakin membuat Indah yang sedang bingung kalang kabut. Pria itu menanyakan alasan kenapa dirinya menerima Bara sebagai suaminya. "Indah."Lagi-lagi Bara menegur membuat Indah terdesak. "Sebenarnya aku enggak suka saat Mas bilang kalau aku nerima Mas karena terpaksa."Satu alis Bara terangkat. "Maksudnya, kamu nerima aku apa adanya, hemm?" "Enggak bisa dibilang gitu juga sih, Mas."Terang saja ucapan Indah semakin membuat Bara bingung. Jadi apa alasannya? Apa karena dirinya yang memaksa membuat Indah akhirnya mau menerima? Pertanyaan itu berputar-putar dalam benak Bara. Membuat Bara semakin penasaran dengan alasan sebenarnya. "Jadi tepatnya dibilang apa, hemm?" "Emm ... awalnya enggak mau, tapi lama-lama setelah melakukan salat malam aku jadi yakin kalau Mas yang udah Allah siapkan buat aku." Hati Bara langsung meleleh. Ia senang dan lega dengan jawaban Indah. Senyum men
Bara diam, membuat Indah mendesah lirih karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban. Ada rasa kecewa dalam hati, tetapi Indah tidak mampu mendesak jika Bara diam saja. Karena pelukan Bara yang longgar membuat Indah bisa dengan leluasa turun dari pangkuan Bara. "Sepertinya enggak ada lagi yang perlu dibahas, Mas. Aku izin ke meja kerjaku lagi." Untuk masalah data yang tidak sesuai harusnya dikerjakan oleh Bara. Tadi ia hanya membantu Bara menyamakannya. Indah sendiri tidak terlalu mengerti, terlebih ia baru di posisinya sekarang. Karena tidak ada balasan dari Bara, Indah memilih beranjak. Namun, baru saja berbalik tiba-tiba lengannya dicekal oleh Bara. Sehingga langkahnya terhenti dan tubuh Indah secara otomatis berbalik karena tarikan yang dilalukan Bara. "Mas--" Indah yang akan protes mengurungkan niatnya ketika Bara tiba-tiba saja memeluk pinggangnya. Membuat tubuhnya tertarik dan kepala Bara berakhir di perutnya. "Aku takut, Indah. Untuk alasannya aku juga enggak tau kenapa
[Mas, aku mau makan siang sama Rosi, ya?]Sebuah pesan masuk dari nomor Indah. Bara yang membacanya itu segera menggeser ikon hijau untuk menghubungi istrinya. Menunggu beberapa saat, akhirnya panggilan itu tersambung juga. "Assalamu'alaikum, Mas," salam Indah dari seberang sana. "Wa'alaikumussalam," balas Bara dengan sedikit kaku. Pria itu belum terbiasa dengan hal itu. Hanya saja, Indah selalu cerewet untuk membalas salamnya. Membuat Bara mencoba membiasakan diri. "Emm ... Mas, apa udah baca pesan dari aku?" tanya Indah hati-hati."Udah." "Terus gimana, diizinin enggak?""Enggak." Sontak terdengar dengusan lirih dari seberang sana. Bara yang mendengar itu terkikik kecil. "Kenapa mau makan sama temen kamu?" "Ya ... udah lama aja enggak ngobrol. Mumpung Mas lagi ada di luar." Memang tadi Bara memberitahu Indah ada pertemuan dengan seorang kenalannya. Namun, yang membuat Indah merasa heran karena Bara tidak memintanya ikut. Biasanya jika Bara ada pertemuan di luar, ia akan sela
"Kenapa, Indah?" tanya Rosi saat melihat raut wajah Indah yang tidak seperti biasa.Perempuan itu menggeleng sambil tersenyum tipis. "Enggak ada apa-apa, mending makan aja." Rosi mengangguk mengetujui. "Emm ... tumben Pak Bara enggak kurung kamu, biasanya selalu enggak boleh kalau kamu pergi jauh darinya." Indah memelankan kunyahannya lalu menegakkan kepala. Ada rasa getir karena jika dipikir-pikir memang biasanya begitu. Bara selalu memintanya berada di samping dirinya, tetapi kali ini Bara malah sengaja tidak mengajaknya saat akan bertemu dengan seseorang. Ada apa sebenarnya? Apa perasaan Bara mulai berubah seiring dengan ingatannya yang mungkin akan pulih? Memikirkan hal itu langsung membuat bulu-bulu halus Indah berdiri, rasanya tidak siap jika itu terjadi karena dirinya mulai jatuh cinta kepada pria yang sudah ia tolong.Iya, lambat laun perasaan Indah berkembang dengan baik kepada Bara. Terlebih setelah pernikahan terjadi, sikap Bara yang perhatian membuat Indah merasa nyaman