Share

Pikiran Terkontaminasi

~Happy Reading All~

***

Belum sampai bibir gelas itu menyentuh bibir Arsaka, sebuah panggilan yang berasal dari ponsel di saku celana pria tersebut menghentikan niatnya untuk meminum teh buatan sang kekasih. 

Arsaka meletakkan kembali cangkir itu ke atas nampan. Aleta tetap mengulas senyum manis di hadapan Arsaka. Mencoba sabar, kini perempuan itu beralih pada ponselnya sendiri dan menggulir beberapa pesan masuk. Sesekali Aleta melirik dan berniat mencuri dengar apa yang akan dibicarakan Arsaka pada lawan bicaranya. 

"Halo, Pak Yadi! Ada apa?" tanya Arsaka serius. Tampak guratan kencang di keningnya. 

'Den Saka sedang di mana kalau boleh tahu?' tanya balik Yadi. 

"Aku lagi di apartemen Aleta. Kenapa, Pak? Kok kayaknya serius banget?" 

'Begini, Den. Anu, begini, aduh gimana, ya ngomongnya?' 

"Kenapa sih, Pak? Jangan buat aku penasaran kayak gini!" seru Arsaka. 

'Begini, Den, Nyonya Mona minta saya buat hubungi Den Saka untuk segera ke rumah sakit sekarang juga!' 

"Mama udah mau mau ngomong sama Saka? Serius, Pak?" tanya Arsaka tak percaya. Spontan ia berdiri dari sofa, merasakan degub jantung yang berirama merdu. Tampak sekali senyum bahagia di wajahnya yang berbinar-binar. 

Ia melupakan keberadaan sang pemilik apartemen. Arsaka kembali mengingat di mana kini dirinya berada. Apartemen Aleta? 

Senyum bahagia Arsaka tak dapat terbendung lagi. Tak ada kata lain yang dapat menerjemahkan rasa bahagia amat membuncah di hatinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu. 

Kedua telapak tangannya ia letakkan dia atas bahu sang kekasih berusaha meminta pengertian Aleta. "Sayang, maaf aku harus pergi saat ini juga. Mama butuh aku. Aku nggak mau ada apa-apa pada beliau. Kamu bisa mengerti hal itu, 'kan?" 

Aleta hendak mencegah. "Sayang, ta-tapi ini minumannya diminum dulu dong! Nanti kamu haus gimana?" desak Aleta kekeuh pada pendiriannya. Sejenak ia melupakan batas kesabaran yang selama ini ia perlihatkan di depan Arsaka. 

Kepalang basah, ungkapan itu tepat ditujukan padanya. Ia sudah menabur semacam afrodisiak di minuman Arsaka. Masa iya gagal? Ia harus mendapatkan Arsaka bagaimanapun caranya. 

Yang terjadi, maka terjadilah. Mau tak mau ia menanggalkan kesabarannya yang mulai menipis demi memaksa Arsaka meminum teh buatannya. 

"Ayo, diminum dulu dong, Sayang! Masa kamu nggak kasihan sih sama aku, aku udah bikinin kamu minum, loh!" rayu Aleta sebisa mungkin. 

"Aleta!" hardik Arsaka mengejutkan Aleta. Aleta tampak terperangah. Mulutnya menganga kecil dengan telapak tangan yang siap membungkam rasa terkejutnya. 

Tak pernah sekali pun pria yang telah dipacarinya hampir lima tahun lamanya itu membentaknya. Kini, apa yang sudah ia dengar barusan? Arsaka membentaknya? Setelah menaikkan satu nada lebih tinggi pada Aleta, pria itu tak meminta maaf atau menyadari kesalahannya. 

What? Hanya karena mamanya? Selalu saja alasan yang bersangkutan dengan Mona! Mona lagi, Mona lagi! Kapan wanita itu tidak menjadi bayang-bayang hubungan Aleta dan Arsaka? 

Rahang Aleta mengetat. Sumpah demi apa pun ia merasa geram jika mengingat perlakuan Mona padanya. Tak ada kelembutan yang selalu ditampakkan seperti biasanya pada setiap orang jika mereka bertemu, bahkan tak jarang wanita yang telah melahirkan Arsaka tersebut acuh tak acuh pada Aleta. 

Damn! 

Mona? Mengingat nama itu membuat darah Aleta naik. Ia kesal, marah dan kecewa karena kekasihnya selalu memilih Mona daripada dirinya. 

'Awas saja nanti! Kalau sampai putramu sudah menikahiku, kamu akan kutendang dari rumah dan jauh-jauh dari kami! Mengganggu saja!' gerutu Aleta dalam hati. 

Usai melakukan perbincangan lewat benda pipih pintarnya dengan Yadi, maka tak perlu menunda, Arsaka segera beranjak pergi. 

"Sorry, I have to go!" tegas Arsaka, ia membelai pelan pucuk kepala Aleta. "Bye! Kuharap kamu bisa mengerti karena Mama segalanya bagiku," lanjutnya sembari tersenyum lembut. 

Ceklek 

Pintu ke luar pun terbuka. Pria itu tak banyak bicara dan segera meninggalkan kediaman sang kekasih yang tampak meradang begitu cepat. 

"Aaaaaaarrggg!!" jerit Aleta penuh kekesalan. "Mona, kenapa kamu selalu jadi pihak ke tiga hubungan kami? Kenapa kamu nggak mati saja karena kecelakaan itu? Kenapa Tuhan masih mau menyelamatkanmu?" kesal Aleta memukul udara. 

Ia menjambak rambutnya frustasi. Usahanya zonk. Ia tak bisa mendapatkan Arsaka malam ini. Jika ada manusia yang layak dikatakan durhaka maka sebutan itu pantas disematkan pada artis bernama Aleta. 

***

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Arsaka tampak memikirkan sesuatu. Ia refleks mengelus dagu runcingnya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. 

Sesekali dalam jangkauan matanya, ia menangkap sebuah siluet gadis yang diperlakukan buruk olehnya di rumah sakit. Secara bergantian wajah Aleta ikut menyapa di pikirannya. 

"Astaga! Lagi-lagi aku memikirkan bocah menyebalkan itu! Ada apa dengan otakku?" gerutu Arsaka. 

Dalam perjalanan hampir mendekati area rumah sakit, ia seperti melihat sesosok gadis yang baru saja bermain-main dalam pikirannya. Mungkin Tuhan sedang menghukum dirinya karena rasa bersalah. Sekali lagi ia melihat wujud gadis itu dalam bentuk nyata, bukan bayangan yang melintas di pikirannya. Ini nyata! 

"Sepertinya mataku mulai terkontaminasi dengan wajah itu!" keluh Arsaka sambil menggelengkan kepala. 

Pria itu mengucek kelopak matanya. Ia takut ini terjadi karena efek kelelahan. Gadis itu dalam pandangan Arsaka tak sendirian melainkan bersama seorang pria. 

"Ah, aku tak peduli! Mungkin wajah bocah itu begitu pasaran, sekali lagi aku berimajinasi melihat wajahnya,"decak Arsaka sebelum akhirnya ia benar-benar mengenyahkan bayangan Tantri dari pikirannya. 

***

"Makasih ya, udah nganter aku beli makanan kesukaan bibi, Mas Banyu!" ucap Tantri dengan mengulas senyum manis. Barisan gigi putih yang tampak rapi itu membuat Banyu terpesona. 

Senyum yang teduh dari lengkungan kedua sudut bibir Tantri membuat jantung Banyu berdegub tak karuan. Gadis delapan belas tahun yang sebentar lagi bertambah usia itu senang bukan main menenteng bungkusan plastik berisi belut goreng kesukaannya dan sang bibi. 

Di mana saat ini ia ditemani Banyu yang sudah dianggapnya sebagai kakak dan juga sahabatnya. 

"Mas Banyu kenapa nggak pesan sekalian? Tantri 'kan masih ada sedikit uang buat beli seporsi lagi!" tanya gadis yang siang tadi memecah celengannya untuk membayar ganti rugi pada Yadi. 

Banyu menggeleng dan menepis dengan tangannya. "Aku udah makan di rumah! Tenang aja, lagipula kamu juga belum gajian, loh! Pakai acara traktir-traktiran segala," sahut Banyu dengan santainya mengelus pucuk rambut Tantri. 

"Ih, berantakan nanti rambut aku, Mas Banyu!" rajuk Tantri sambil mencebik bibir. Gadis polos yang telah menjadi anak yatim piatu ini tampak menggemaskan di mata Banyu. 

Banyu yang lebih tua empat tahun darinya hanya bisa menanggapi ekspresi Tantri dengan tertawa lepas. 

"Ngomong-ngomong aku penasaran sama kamu, kok habis transfusi darah masih bisa pecicilan kayak gini, sih? Bukannya istirahat di rumah?" tanya Banyu mengalihkan topik. 

"Aku mau nyenengin Bi Yusti, hari ini 'kan aku buat kesalahan nggak main-main, Mas. Pakai acara ngilangin barang belanjaan di jalan lagi terus bawa bapak-bapak yang bikin Bibi emosi. Lah, paket lengkap, kan?" 

"Bikin Bi Yusti emosi? Emang ada apa?" 

"Nggak tahu juga, Mas. Bibi nggak mau bilang. Ah udah deh, kelamaan kita di sini nanti kalau aku minta tambah seporsi lagi gimana dong? Mas Banyu mau beliin? Hehehe," goda Tantri. 

Bukan Banyu namanya jika tidak bisa membuat pipi gadis di sampingnya merah merona. "Apa sih, yang nggak buat kamu?" 

Bugg

Bukan semburat di pipi yang Banyu dapati saat ini, melainkan pukulan di bahu dari Tantri dengan sorot mata tajam. 

"Aw! Sakit, Tantri! Nanti kalau kamu jatuh cinta sama aku gimana?" goda Banyu. 

Degg

Suara jantung siapa itu? 

***

To be continue…. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status