Share

Secangkir Racun

~Happy Reading All~

***

Wanita paruh baya yang tersenyum di ambang pintu itu membuat Mona seketika merasa malas dan risih berurusan dengannya. 

"Kenapa kamu diam saja dan tak menyambut kedatanganku, Mona? Kita sudah lama tak berjumpa, loh!" sapanya basa-basi. Senyumnya mengembang sempurna saat mendekati Mona di atas bed rumah sakit yang didominasi warna putih tersebut. 

"Aku ingin tidur, tolong jangan menggangguku!" sahut Mona dengan ketus. 

"Mana mungkin aku ingin mengganggumu? Aku datang karena ingin berkunjung karena kita sudah lama sekali tak berbincang santai," kilahnya memberi alasan yang sekiranya masuk akal. Ia berusaha mengajak berdamai dengan Mona. 

Mona tersenyum sinis dan berkata, "Wah, artis besar sepertimu masih punya waktu untuk menemuiku, baik sekali, ya! Ck! Ck!" sindir Mona. 

"Mona! Bisakah kita kembali seperti dulu? Bukankah kita bersahabat baik? Kenapa kamu tega sekali mendiamkanku setelah sekian lama. Masalah yang telah lalu, biarlah berlalu. 

Mari kita buka lembaran baru dengan hidup yang lebih baik. Bagaimana?" tawarnya begitu santai dan lembut. Tampak sekali wanita ini memaksakan menyunggingkan senyum di kedua sudut bibirnya pada Mona yang terbaring lemah di atas ranjang terlapisi seprei putih. 

"Apa aku tak salah dengar? Oh iya, terima kasih sudah menengok aku di sini…" ucap Mona tampak jengah. 

"Ini ada sedikit buah-buahan kesukaanmu. Pisang ambon yang sangat manis. Kamu pasti akan menyukainya," ucap Debora, artis senior yang telah lama berkecimpung dengan dunia peran itu pada Mona, sahabatnya dulu. Entahlah kalau sekarang? 

Sekeranjang buah-buahan itu Debora letakkan di atas nakas samping tempat tidur Mona. Ia berharap usahanya itu membuahkan hasil. 

Mona memalingkan muka, ia sudah tak tahan lagi berdekatan dengan Debora. Masalah di masa lalu tampaknya masih menjadi alasan Mona berbuat demikian pada wanita yang datang mengunjunginya tersebut. 

"Permisi, Nyonya!" sela Yadi yang telah berada di ambang pintu memecah kesunyian di antara dua wanita di dalam ruangan itu. 

Yadi tampak bingung kala mendapat sorotan tajam dari sang tamu yang tampak tak suka dengan kehadirannya.

Mona mengalihkan pandangan ke arah sopir pribadinya yang telah mengabdi pada keluarganya selama lebih dari dua puluh tahun tersebut. 

"Yadi! Masuklah!" titah Mona yang menyurutkan niat Debora untuk berbaikan dengannya. 

Yadi mengangguk patuh dan tak menggubris tatapan tajam dari salah satu artis kenamaan yang ada di samping sang majikan. Ia lebih memilih menuruti perintah Mona dan menunjukkan loyalitasnya. Tak peduli apa yang dipikirkan tamu angkuh dan terlihat sombong itu. 

"Yadi, tolong bilang sama tamu saya ini kalau saya mau istirahat! Saya masih harus bedrest begitu kata dokter, semoga tamu saya bisa mengerti!" ucapnya yang menganggap Debora tak ada di sana. 

Rahang Debora mengetat menahan kekesalan dalam diri. Ia merasa terhina. Tanpa pikir panjang, Debora mengayunkan kaki ke luar. Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh ke belakang dan berkata, "Aku akan tetap kekeuh untuk perdamaian kita! Lebih baik sekarang kamu beristirahat. Maaf telah mengganggu waktumu!" 

Setelah mengucapkan hal itu, dengan berat hati Debora pergi dari sana, meninggalkan dua manusia berlawanan jenis di dalam ruangan berpenyejuk di dalam salah satu rumah sakit terbaik tersebut. 

***

"Sayang, akhirnya kamu datang! Aku tuh masih kangen banget sama kamu," ucap Aleta dengan manjanya. Ia menggelayuti lengan kekar Askara yang selalu rutin menjaga kebugaran tubuhnya dengan berolahraga. 

Tampak bersandar di bahu Askara yang membuatnya nyaman, Aleta berkeluh kesah. 

"Sayang, kok kamu diam aja, sih? Habis pulang dari rumah sakit nemuin Tante Mona kok mukanya ditekuk gitu? Ada apa sebenarnya? Tante baik-baik aja, 'kan?" berondong pertanyaan keluar dari bibir Aleta yang saat ini terpoles lipstick berwarna peach. 

Askara menjatuhkan pantatnya tepat di sofa empuk yang ada di ruang tamu, tentu saja ada Aleta di sampingnya. Perempuan itu belum juga melepaskan lingkaran tangannya di lengan kekar miliknya. 

Pria itu tampaknya belum ingin menjawab sejumlah pertanyaan yang berjejal terlontar di bibir tipis kekasihnya tersebut. Ia mulai memikirkan ucapan sang ibu hingga ia tak sadar bahwa kekasihnya menatapnya penuh selidik. 

"Sayang? Sepertinya kamu haus deh, nggak konsen gitu diajak ngomong. Sebentar, ya!" ucap Aleta seraya beranjak dari sofa dan melepaskan lengan sang kekasih yang sesaat membuatnya nyaman tak mau pisah. 

Arsaka mengangguk pelan dengan senyum tipis terulas dari kedua sudut bibir merah kecokelatan miliknya. Lagi-lagi bayangan perempuan yang ia temui di rumah sakit kembali terlintas. 

"Astaga! Ada apa dengan pikiranku saat ini? Dia masih kecil, Saka! Kenapa Mama bela-belain ngambek sama aku hanya gara-gara bocah ingusan kayak dia?" gerutu Arsaka sambil menepuk paha. Tangannya refleks mengepal kesal. 

Sementara itu di dapur minimalis milik Aleta. Perempuan itu hendak mencampurkan sesuatu ke dalam minuman yang telah ia buat. Namun, sejenak perasaan bersalah membayangi pikirannya. Ia menggeleng samar. 

"Nggak! Ini nggak benar! Kalau aku ngelakuin ini yang ada Saka malah anggap aku cewek murahan karena jebak dia. Aku harus gimana? Ini semua aku lakuin supaya kamu bisa jadi milikku, Saka," gumam Aleta yang tampak meragu hendak melanjutkan rencananya atau mengurungkan. 

Teringat ucapan sang ibu padanya bahwa cara ini satu-satunya demi mendapatkan Arsaka seutuhnya. Cara ampuh yang diyakini sang ibu kini benar-benar ia praktekkan. 

Aleta membubuhkan serbuk berwarna putih ke dalam secangkir teh hangat. Serbuk tersebut memiliki kandungan untuk melemahkan pikiran, merangsang hasrat seseorang, dan membuat orang tersebut lupa barang sejenak apa yang mereka lakukan nantinya. 

"Aku terpaksa melakukan ini, Saka. Sungguh aku melakukan ini demi kita. Demi penyatuan cinta kita. Ibumu tidak akan mengganggu hubungan kita berdua. Mulai malam ini kamu akan menjadi milikku seutuhnya…" yakin Aleta sembari tersenyum licik. 

Sebagai seorang artis pemeran protagonis di layar kaca, hal semacam berakting atau bersandiwara di depan kamera sudah biasa ia lakukan. Kali ini ia harus bersandiwara di depan Arsaka. Berpura-pura manis dan memasang wajah polos tanpa dosa. 

Demi semua harapan dan angan mempersatukan cinta keduanya di hadapan Tuhan serta mendapat restu Mona Rosalie, ia rela menjebak sang kekasih. Bukankah ini bisa dibilang cinta yang penuh ambisi? Tidak mungkin bukan jika ini adalah cinta tulus dan sejati? 

Dua cangkir teh hangat telah berada di sebuah nampan kayu kecil dalam genggamannya. Ia tersenyum puas karena trik ini pasti akan berhasil. 

Pasti! 

Ia yakin Arsaka pasti akan segera menandaskan cairan bening ini ke dalam tenggorokannya. 

Tak mau buang waktu, ia mempercepat langkahnya menuju ruang tamu di mana Arsaka berada. 

"Maaf ya, Sayang. Lama, ya?" ucap Aleta basa-basi. 

Arsaka menggeleng tanpa sebuah jawaban yang keluar dari bibirnya. Aleta menatap heran, lalu bersikap biasa-biasa saja. 

"Diminum dulu, Sayang! Kamu pasti haus, 'kan?" titah Aleta sembari menyodorkan secangkir teh hangat ke tangan sang kekasih. 

"Makasih, ya…" ucap Arsaka sembari tersenyum simpul. 

Satu

Dua 

Tiga

' Ayo, buruan diminum, Sayang!' pekik Aleta dalam hati penuh kegirangan. 

Sebentar lagi… 

***

To be continue.. 

Hai kakak bagi yang suka dengan cerita ini jangan lupa masukkan ke dalam rak, ya! Mohon dukungannya… Terima kasih semuanya… semoga suka dan terhibur dengan cerita recehku… 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status