Yusti merasa berdosa jika melakukan hal itu. Bungkusan ini bukan miliknya meski sejuta tanya menyeruak ke dalam pikirannya, ia tetap harus bisa menahan egonya.
"Ya Allah, ampuni aku! Untung nggak jadi dibuka. Kalau jadi, bisa-bisa nanti Tantri marah sama aku karena lancang bukain barang-barang dia! Deuh nih tangan nakal bener, sih!" ucapnya sadar.
Yusti segera membawa bungkusan itu menuju ke kamar. Berharap esok pagi setelah matahari menyambut, ia bisa segera menyerahkan titipan Banyu pada Tantri tanpa kurang sedikit pun.
Membuka pintu dengan buru-buru, ia malah tanpa sengaja berpapasan dengan Tantri yang kini menatapnya penuh tanda tanya di ambang pintu kamarnya.
"Astaghfirullah, Tantri! Ngapain kamu di sana? Untung jantung bibi nggak copot! Astaga!" pekik Yusti sambil mengelus dadanya lalu berusaha menenangkan atmosphere pekat di dalam hatinya yang berkecamuk hebat dan satu tangan lagi membawa bungkusan dari Banyu.
"
'Jangan sedih, aku akan selalu ada di sampingmu, Tantri! Mas harap dengan kudapan manis ini bisa membuat kamu melupakan hal-hal yang membebani pikiranmu! Selamat malam, Tantri…' Sebuah note manis terangkai begitu indah di depan mata. Barisan huruf tertata dengan rapi, terbaca penuh khidmat oleh sepasang mata bulatnya. Tantri tersenyum bak gadis yang tengah kasmaran. Toh, itu memang kenyataannya! "Mas Banyu, kenapa kamu harus sebaik ini, sih?" gumam Tantri. Gadis itu mengeluarkan isi dalam bungkusan berwarna merah muda tersebut dan menatanya berurutan. Coklat berbentuk hati. Lolipop rasa strawberry. Marshmallow berbentuk es krim. Dan, satu lagi yang menggelitik hati Tantri. Di antara sekian kudapan manis di hadapannya saat ini, sebuah kotak beludru berwarna merah dengan kaca transparan sebagai penutupnya menunjukkan sebuah kalung emas yang pernah ia suka beberapa bulan lalu
Tantri mengerjapkan matanya berkali-kali, ia tak menyangka bibinya akan datang ke kamarnya.Gadis itu berpura-pura mengambil kipas tangan dan mengibaskan angin ke wajahnya."Aduh enak banget ini anginnya! Gerah, Bi!" dusta Tantri, mau tak mau alias terpaksa.Yusti menyipitkan mata. Ya, ia akui angin malam ini terasa panas sekali. Pengap. Untung, di kamarnya terdapat sebuah kipas angin duduk hingga membuatnya tak merasa kegerahan.Tantri perlahan-lahan menutup kembali salah satu daun jendela dan menyibak tirai itu agar kembali tertutup.Pandangannya beralih pada ponselnya yang tergeletak di lantai.'Aduh, jangan sampai bibi tahu!' batin Tantri penuh harap."Ini ponsel kamu kenapa di bawah, Tantri? Kamu kalau naruh apa-apa itu yang bener dong! Masa hape ditaruh di bawah? Kalau keinjak gimana?" berondong tanya keluar dari bibir Yusti.Tantri segera mengambil ponselnya dan meletakkan
Broom Broom BroomSuara deru motor di jalanan terdengar mencabik-cabik gendang telinga pasangan bibi dan keponakan di dalam kamar tersebut.Belum sempat Tantri menjawab pertanyaan sang bibi, suara deru motor balap itu kembali mengganggu obrolan mereka.Apa itu motor Banyu?Tantri tanpa sadar melakukan pergerakan aneh di mata Yusti."Kamu kenapa, Tantri? Kok kayak gugup gitu, nggak ada yang lagi kamu tutupi dari bibi, kan?" desak Yusti memastikan.Tantri hendak menyahut, namun suara dari luar semakin mengganggu lagi dan lagi seolah telah terencana dengan baik.Yusti tanpa aba-aba atau pun banyak bicara segera meninggalkan Tantri dan berjalan ke arah pintu masuk rumah.Tantri merasakan detak jantungnya berdegup hebat. Ia takut Banyu yang ada di depan sana tertangkap basah oleh Yusti."Bibi!" panggil Tantri.Yusti menoleh ke belakang tanpa membalikkan badann
Empat tahun lalu…Gedebugg BraggSuara motor terpelanting membentur aspal jalan mengejutkan Tantri usai mendengar kebut-kebutan dari beberapa pemilik motor super ribut yang melintas di depan rumah.Gadis cantik berusia empat belas tahun itu baru saja menyapu halaman dan mengumpulkan daun-daun kering untuk ia masukkan ke dalam wadah. Ia mendengar suara riuh orang-orang yang menyoraki para pemotor ugal-ugalan dan terjatuh. Bukannya menolong, mereka malah mengolok-olok.Merasa kesal karena suara itu, Tantri memberanikan diri mendekati salah satu pemotor yang jatuh. Dengan santainya, ia mengulurkan tangan pada seorang pemuda yang masih sibuk mengatur napas usai motornya mencium aspal."Gimana? Sakit nggak, Mas?" tanya Tantri dengan tangan yang masih terjulur pada sosok pemuda tersebut. Pemuda yang bahkan belum ia tahu namanya.Pemuda itu bangun dari posisinya karena bantuan Tantri. Ia hendak mengucapkan terim
Matahari telah beranjak naik ke peraduan, menyambut datangnya hari baru. Tantri telah bersiap dengan beberapa map berisi curriculum vitae dan tulisan tangannya yang bertujuan melamar pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain. Ia ingin mengadu nasib sekali lagi. Setidaknya ia sudah berusaha dengan terus mencoba peruntungan menjadi lebih baik."Bi, Tantri berangkat dulu, ya!" pamit Tantri seraya memakai flat shoes miliknya.Gadis cantik itu mencomot selembar roti tawar tanpa isi dan meneguk air bening di sampingnya. Merasa kenyang karena perutnya telah terisi, Tantri mengulurkan tangan ke arah sang bibi."Doain Tantri ya, Bi, semoga ada yang mau menerima Tantri kerja!" ucap Tantri meminta doa pada Yusti."Tunggu dulu! Jangan langsung berangkat, makananmu biar turun dulu, biar jadi daging! Badan kamu tuh kurus banget tahu nggak?" nasihat Yusti seraya mengomentari sang keponakan. "Bibi selalu doain yang terbaik buat kamu! Semangat, ya!
Yadi kebingungan saat tubuh Yusti yang tak bisa dikatakan ringan itu jatuh di atas kedua tangannya. Ia tak menyangka gara-gara ucapan Arsaka, wanita itu pingsan.Buru-buru, ia membawa tubuh itu ke dalam rumah dan meletakkannya di atas sofa panjang yang ada di ruang tamu."Ya Allah, berat banget sih kamu, Yusti! Makan apa kamu tiap hari? Bukan makan orang kan, ya? Masyaaallah, ini sih berasa kayak lagi gendong si Mamat!" gerutu Yadi mengomentari berat badan Yusti.Sekedar info, Mamat adalah kambing Jawa milik Yadi yang berat badannya hampir mendekati satu kwintal alias seratus kilogram.Lain Yadi, lain Arsaka. Pria tampan itu justru mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Rumah sederhana yang besarnya masih kalah jauh dengan istana miliknya itu ada di depan matanya. Ia tak menyangka Tantri hidup di tempat seperti ini.Netra hitam pria itu menelusuri setiap sisi dan berakhir pada beberapa gantungan pigura di dinding. Di
Banyu kebingungan di ujung telepon, ia menerka-nerka apa yang terjadi pada Tantri saat ini.Panggilannya dimatikan secara tidak sadar oleh Tantri karena ada sesuatu yang jauh lebih penting dari obrolannya bersama Banyu.Kembali ke Tantri..Tantri menarik tubuh seorang anak perempuan berusia sekitar enam tahunan yang berlarian di zebra cross."Awas!!" pekik Tantri yang tanpa takut atau pun ragu memeluk anak itu ke dalam pelukannya hingga mereka terjatuh di trotoar dan selamat dari mobil yang hendak melaju kencang.Dugg"Aaaww!!!" pekik Tantri begitu melihat sikunya mengenai kerasnya trotoar jalan. Namun, ia tak merasakan itu lagi di saat gadis kecil yang ditolong olehnya baik-baik saja.Tiin Tiin TiinSuara klakson mobil berbunyi nyaring mengejutkan Tantri dan si gadis kecil dalam rengkuhan tangannya."Kalau punya adek dijagain yang bener, dong! Untung bisa direm, coba nggak
Tantri menggeser tubuhnya agak jauh dari kedua orang yang belum dikenalnya tersebut agar leluasa berbicara pada seseorang di ujung telepon.Banyu.Astaga! Tantri lupa bahwa tadi ia sedang berbincang dengan pemuda tampan itu."Ya, halo, ada apa, Mas Banyu?" tanya Tantri penasaran. Gadis cantik itu melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya di mana di sana jarum jam berhenti di angka delapan.Kenapa Banyu masih bisa menghubunginya? Apa dia tidak bekerja?Sejuta tanya menyelinap satu per satu di dalam pikirannya."Tantri, kamu baik-baik aja, kan? Kenapa firasatku mengatakan ada apa-apa sama kamu hari ini! Kamu jangan pernah sekali-kali menutupi sesuatu dari aku, ya! Karena apa? Karena aku mengawasimu! I'm watching you! Hehehe," ungkap Banyu diakhiri kekehan menyebalkan di telinga Tantri.Mau tak mau senyuman tipis terulas di wajah cantik gadis tersebut."Mas kok bisa telep