Share

BENCI DAN PENYESALAN

Puluhan pasang mata tertuju pada kedua dosen itu. Bisikan demi bisikan terus mengalir seiring dengan datang dan perginya Ray dan Rahel dari tempat tersebut. Kedua dosen yang dirumorkan sedang berkencan itu pergi setelah menghabiskan minuman mereka tanpa menghiraukan tatapan penuh arti yang dilayangkan oleh para mahasiswa pada mereka.

Tidak lama setelah itu, Ana dan teman-temannya juga tampak bergegas meninggalkan kantin. Selanjutnya, mereka naik ke lantai 3 untuk kembali mengikuti pembelajaran yang dibawakan oleh Pak Syamsuddin, atau yang sering disapa dengan Pak Syam.

Tidak terasa, kelas tersebut akhirnya selesai dan dilanjutkan oleh mata kuliah lain yang dibawakan oleh dosen lain yang usianya sudah cukup tua. Mungkin, tidak lama lagi beliau akan segera pensiun. Lagi-lagi, para mahasiswa dengan tertib menyelesaikan perkuliahan tersebut hingga tibalah saatnya mereka pulang ke rumah masing-masing.          

Para mahasiswa dari berbagai kelas tampak meninggalkan ruangan mereka, tapi tidak dengan kelas Ekonomi 2. Ana dan para mahasiswi lainnya masih stay di bangku mereka mendengarkan pernyataan Tasya.

“Gimana guys, kalian setuju kalau kita buat suprise untuk Dosen Ray dan Miss Rahel. Mereka pasti akan senang. Nantinya, kita juga bisa langsung mengucapkan selamat kepada mereka. Kalian setuju?” Tasya yang duduk di kursi dosen membiarkan pandangannya menatap satu persatu teman sekelasnya itu.

“Gue setuju!”

Seluruh pasang mata langsung menatap Dinda yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Gadis berkuncir satu itu datang entah dari mana setelah tadi pergi meninggalkan kelas dengan buru-buru. Tanpa menghiraukan teman-temannya, Dinda kemudian masuk dan duduk di antara Ana dan Ratna yang tampak ogah-ogahan mendengarkan Tasya.

“Yang lain gimana? Setuju?” tanya Tasya, kembali.

“SETUJU!” jawab para mahasiswi, kompak, tapi tidak dengan Ana dan Ratna yang hanya diam membisu.

“An, kalo lo gak suka, kita boleh pulang kok. Surprise ini untuk yang mau-mau aja,” bisik Ratna di telinga Ana agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka, termasuk Dinda.

“Gapapa, Na. Kayaknya asik juga kalau gue ikutan ngasih kejutan untuk suami gue dan selingkuhannya itu,” sahut Ana, berbisik pula.

Ada rasa yang menggebu-gebu dibenaknya, tapi Ana tidak tahu apa itu, Yang pasti, rasa itu benar-benar membuatnya harus berpura-pura baik-baik saja.

“Okey, karena semua setuju, maka gue dan Amel yang akan handle semua persiapannya. Kalian cukup transfer dana untuk biaya apa saja yang mau dibeli besok. Untuk nominalnya sendiri, gue gak matokin berapa. Seikhlas kalian aja, Kalau uangnya kurang, gue yang akan nambahin. Kalau lebih, gue usahain itu gak terjadi, Uangnya akan gue gunain seluruhnya. Mengenai nomor rekening atau E-wallet gue, nanti gue kirim ke grup. Nanti Amel yang buat grupnya,” papar Tasya, tanpa celah sedikitpun.

Gadis bertubuh langsing itu seakan telah mempersiapkan matang-matang rencananya sebelum duduk di depan dan mengutarakan hal tersebut kepada teman-temannya.

Setelah semuanya deal dan pembahasan selesai, para mahasiswi itu bergegas meninggalkan kelas, tidak terkecuali Ana, Dinda dan Ratna yang kini berjalan berdampingan di lorong fakultas yang sepi.

Kurang lebih delapan puluh persen mahasiswa telah pergi meninggalkan gedung tersebut. Menyisakan beberapa mahasiswa semester akhir yang tampak masih menunggu dosen pembimbing skripsi mereka. Melihat hal itu, Ana dan kedua temannya merasa sedikit iba dan was-was akan nasib mereka ke depannya seperti apa. Sudah pasti mereka juga akan sampai ke tahap itu.

“Semoga aja kita bisa wisuda sama-sama dengan tepat waktu ya, guys,” timpal Ratna, begitu mereka melewati beberapa mahasiswa yang duduk menunggu di depan ruangan dosen.

“Muda-mudahan kita dapat pembimbing yang baik juga.’’ Ana menambahi.

“Itu yang paling gue takutin. Gue akan berdoa dari sekarang supaya dapat dosen yang baik dan gak suka mempersulit orang lain. Jangan sampai gue dapat pembimbing killer yang suka nyusahin mahasiswa.” Dinda ikut menimpali percakapan kedua temannya.

Kini, ketiga sejoli itu telah keluar dari gedung fakultas dan mulai menyusuri jalan khusus yang akan menghantarkan mereka ke gerbang utama setelah melewati beberapa gedung fakultas di kampus itu.

Dinda yang berjalan paling depan di antara kedua temannya tiba-tiba menajamkan penglihatannya kala melihat sosok dosen terpopuler di kampus mereka itu. Gadis itu langsung memperlambat langkahnya seraya berujar,

“Guys, guys, Dosen Ray. Di sana ada Dosen Ray dan Miss Rahel. Mereka mau kemana ya itu?” Dinda menoleh kepada Ana dan Ratna sesaat, lalu kembali melihat ke arah Ray dan Rahel yang baru saja memasuki sebuah mobil.

Ana mendengus sinis, tahu betul siapa pemilik mobil itu. Siapa lagi kalau bukan Ray, suami dadakan yang paling ia benci, yang kini sedang bermain api di belakangnya.

Ratna melirik Ana yang berjalan di sampingnya tanpa berani mengatakan apapun yang dapat memicu kecurigaan Dinda.

“Jangan aneh-aneh. Mungkin mereka lagi ada kerjaan sesama dosen.” Alhasil, gadis itu hanya bisa berujar demikian untuk mengobati sakit hati Ana.

“Enak banget ya kerja bareng ayang. Bisa sama-sama terus. Gue jadi pengen deh punya pasangan kayak Dosen Ray. Baik, pintar, tampan dan sepertinya juga penyayang,” timpal Dinda seraya menerawang jauh.

“Emangnya lo udah ikhlas Dosen Ray menikah dengan perempuan lain?” tanya Ratna seraya menyeimbangkan langkahnya dengan Ana yang berjalan sedikit lambat dari sebelumnya, sementara Dinda berjalan satu langkah di depan mereka.

“Ya gak lah. Mana mungkin gue ikhlas. Berjuang juga belum, masa udah disuruh ikhlas aja. Gue pantang menyerah sebelum berjuang.”

“Semangat, Din. Semoga lo dapat jodoh sesuai dengan harapan lo, sekalipun orang itu bukan Dosen Ray,” jawab Ratna.

Dinda mengaminkan kata-kata temannya itu dalam hati, Sejenak, pikirannya tertuju kepada sosok pria yang beberapa minggu lalu ia temui. Tanpa sadar, senyum simpul terbit menghiasi bibir ranum gadis itu. Sedikit aneh memang, karena sejak masuk kuliah, hati dan pikiran Dinda hanya tertuju oleh Ray.

Ana bungkam. Tidak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya hingga ia berpisah dengan Dinda dan Ratna di halte kampus dan tiba di rumah. Gadis dengan tinggi semampai itu menghela napas panjang begitu melihat kesunyianlah yang menyambut kepulangannya.

“Mana mungkin dia ada di sini. Sudah jelas dia sedang berkencan dengan dosen ganjen itu,” sarkas Ana, kecewa.

Dengan raut yang tidak santai, Ana kemudian naik ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Gadis itu segera menghambur ke tempat tidur setelah mengganti pakaiannya lebih dulu.

Deringan ponsel mengalihkan perhatian Ana yang sedang menatap kosong langit-langit kamarnya. Gadis itu lantas segera mengulurkan tangannya meraih ponsel yang ada di atas nakas samping tempat tidur.

Ana, maaf, saya akan pulang terlambat. Kamu delivery saja ya untuk makan malam nanti. Sepertinya, saya tidak akan sempat memasak untukmu. Kamu mungkin akan kelaparan jika menunggu saya pulang.

Amarah semakin menguasai Ana setelah membaca pesan tersebut. Untuk kesekian kalinya, Ray pulang terlambat dan membiarkannya makan sendirian.

Okey, kali ini Ana tidak akan ambil pusing. Jika beberapa hari ini ia bisa bersabar, maka tidak kali ini. Ana akan melakukan apapun yang ia mau tanpa memikirkan konsekuensinya.

Mengabaikan pesan Ray, Ana kembali menyimpan ponselnya dan mencoba menenangkan diri. Dari tempat tidur, ia melihat langit sore yang tampak indah memancarkan jingganya. Keindahan itu malah membuat Ana terkekeh sinis.

“Akhirnya, kamu sendiri yang membawa orang ketiga masuk ke dalam hubungan kita. Padahal sebelumnya, aku khawatir, aku lah yang akan menjadi penyebab hancurnya pernikahan sialan ini, karena perasaanku pada Nicho yang belum hilang sepenuhnya. Ternyata kata-katamu lebih mengerikan, Ray. Kamu tidak layak untukku yang selalu memang prinsip kesetiaan. Lihat aja, akan kuperlihatkan gimana caranya bermain api yang baik,” ujar Ana, tegas dan penuh amarah.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status