Share

SUPRISE UNTUK RAY DAN RAHEL

Hari-hari berlalu, sepasang suami istri itu belum juga menampakkan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Ray masih tetap memperlakukan Ana dengan baik, seperti biasanya. Sedangkan Ana masih menyimpan dendam dan amarah yang sebisa mungkin ia sembunyikan dari siapapun sehingga ia terlihat baik-baik saja.

Bahkan sampai detik ini, tidak ada penjelasan yang Ana terima dari Ray mengenai hubungan pria itu dengan Rahel. Ia juga tidak bertanya apapun mengenai hal tersebut. Ana tidak mau ribet. Toh, ia juga tidak memiliki perasaan apapun kepada suaminya itu.

“Kamu gak papa kalau saya tinggal? Gimana kalau nanti Ratna gak jadi datang jemput kamu? Kita ada kelas pagi ini dan kamu gak boleh terlambat.” Ray berujar seraya memakai sepatu hitam kulitnya di teras rumah, sementara Ana berdiri di ambang pintu sambil bersedekap dada.

“Gak papa. Nanti aku bisa naik taksi kalau Ratna gak jadi jemput. Tapi, kayaknya gak mungkin deh, dia kan udah janji,” tukas gadis itu sembari memperhatikan Ray yang tampak begitu rapi dan tampan.

“Gimana kalau kamu pastiin lagi. Kalau memang dia gak bisa jemput kamu, mending kita berangkat bareng.” Kedua belah sepatu telah terpasang sempurna di kaki jenjang Ray.

Pria jangkung itu kemudian mengambil tasnya dari genggaman Ana.

“Udah lah, Ray. Kamu pergi aja. Temanku bukan cuma Ratna. Aku pasti sampai ke kampus tepat waktu,” ujar Ana, penuh penekanan.

“Baiklah. Kalau begitu saya pergi dulu. Sampai ketemu di kampus.”

“Hm.”

Ray perlahan pergi meninggalkan pekarangan rumah bergaya klasik itu mengendari mobil hitamnya yang tampak mengkilat seperti baru.

Sementara itu, Ana bergegas mengambil ponselnya dan menghubungi Nicho.

“Kamu udah dimana? Aku udah nungguin loh.”

“Otw, kamu tunggu bentar ya.”

Sambungan telepon terputus dan Ana kembali menyimpan ponselnya, lalu segera mengambil tas dan beberapa buku berukuran besar dan tebal dari atas meja. Gadis itu sengaja tidak menyimpan buku-buku itu ke dalam tas, karena selain besar, buku-buku itu juga berat dan ia tidak mau menumpahkan semua beban itu pada bahunya.

Beberapa menit menunggu, tanda-tanda kehadiran Nicho mulai muncul. Mobil pria itu mulai terlihat mendekati gerbang utama rumah Ana. Melihat hal itu, Ana lantas bergegas menuju gerbang dan segera masuk ke mobil Nicho begitu mobil tersebut berhenti melaju.

Nicho kembali menginjak pedal gas dan mobil kembali melaju.

“Cantik banget hari ini.”

“Makasih, tapi aku memang selalu cantik,” sahut Ana, narsis.

“Kamu udah sarapan?” tanya pria itu, menatap Ana sekilas.

“Udah dong.” Di tanya seperti itu, Ana jadi teringat dengan Ray yang sengaja ia bohongi.

Ana tidak peduli jika nantinya pria itu akan marah saat tahu ia telah dibohongi. Toh, Ray lah yang lebih dulu bermain api dan merusak hubungan mereka yang sejak awal memang tidak begitu baik. Ana hanya mengikuti permainan Ray dan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Nicho yang sempat renggang. Tidak ada salahnya berhubungan baik dengan mantan, bukan?

Hampir setangah jam perjalanan, mobil sport putih yang dikemudi oleh Nicho perlahan tampak memasuki area kampus. Para mahasiswa tampak berlalu lalang di setiap sudut kampus tersebut karena jam mata kuliah pertama akan segera dimulai, jadi tidak heran kalau para mahasiswa tampak bergegas menuju kelas mereka masing-masing.

Ana dan Nicho kompak menuju kelas mereka yang berada di lantai 3 sambil berbincang-bincang dan sesekali tertawa saat pria itu mengatakan sesuatu yang menggelitik. Nicho tampak begitu keren dalam balutan kaos hitam yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak perpaduan warna hitam dan merah yang kancingnya dibiarkan terbuka dan lengannya yang panjang di tarik hingga siku. Begitupun dengan Ana yang hari ini tampak begitu stylish dan anggun. Gadis itu memadukan celana cutbray dengan atasan putih yang dilapisi dengan kemeja croptop bermotif kota-kota hitam putih.

“An, lo masih ingat gak waktu itu kita pernah hujan-hujanan pulang dari Tangerang dan di tengah jalan kita berhenti karna mau nyelamatin kucing yang hampir ketabrak mobil?”

“Ingat dong. Kita cape-cape nyelametin dan berniat mau bawa kucing itu pulang, eh pemiliknya malah datang dan marah-marah nuduh kita nabrak kucingnya. Sial banget waktu. Gue sampek trauma mau bantuin kucing di jalanan. Takut dibuat malu lagi,” timpal Ana, kembali mengenang masa lalu mereka.

“Kemarin gue ketemu lagi sama ibu-ibu itu. Dia nyapa gue waktu nemenin nyokab ke tanah abang.”

“Seriusan lo?”

“Serius. Ibu itu juga nanyain lo. Katanya, dia mau ngasih kucingnya sama lo kalau kalian ketemu lagi.”

“Beneran?” Ana tampak antusias.

“Benerlah, Masa iya gue bohong.”

Sesaat kemudian, raut wajah Ana kembali biasa saja. Bibir gadis itu tampak manyun karena teringat dengan Ray yang alergi dengan bulu kucing dan ia baru mengetahui hal tersebut dua hari yang lalu saat kucing tetangga masuk ke rumah mereka.

Ray yang saat itu sedang tertidur di sofa ruang keluarga karena kelelahan sehabis olahraga tiba-tiba terbangun dan bersin-bersin karena seekor kucing merangkak naik ke tubuhnya.

Mengingat hal itu sedikit membuat Ana kecewa, karena ia tidak akan pernah bisa memelihara kucing. Padahal sebelum menikah dengan Ray, ia berencana ingin membeli kucing anggora dan memeliharanya.

Entah ini sebuah keberuntungan atau apa, Ana dan Nicho yang baru saja naik ke lantai 3 malah bertemu dengan Ray dan Rahel. Kedua dosen itu sedang berjalan berdampingan dari ujung lorong menuju ke arah mereka. Keempat orang itu saling menatap dari ujung ke ujung dan sama sama hendak memasuki ruangan yang kini berada di tengah lorong itu.

Ana mempercepat langkahnya seraya mengepalkan tangan. Ia juga sengaja mengalihkan pandangannya dari kedua dosen itu seakan tidak mengenal mereka dan langsung masuk ke ruangan bersama dengan Nicho yang berjalan di belakangnya. Ana sebisa mungkin bersikap biasa saja. Sekalipun, ia sudah cukup kesal melihat Ray yang semakin lengket dengan miss Rahel.

Tidak jauh berbeda dengan Ray. Pria itu sempat terkejut melihat Ana dan Nicho kembali bersama. Hanya saja, Ray tidak menunjukkan perubahan apapun. Pria itu cukup ahli dalam mengontrol dirinya.

Ray dan Rahel tiba di depan pintu ruangan jurusan ekonomi itu. Keduanya tampak kebingungan melihat pintu di depan mereka tertutup rapat dan tidak bisa dibuka.

“Ray, kenapa mahasiswamu menyuruhku ikut denganmu ke kelas ini? Terus, kenapa mereka mengunci pintu? Apa kita tidak diizinkan masuk?” tanya Rahel beruntun dan tampak kebingungan.

“Saya juga kurang tau, Ra. Mereka sulit ditebak.” Ray menjawab seraya menekan-nekan handle pintu agar segera terbuka.

“Kita coba dulu. Mungkin kuncinya macet,” lanjut pria itu.

 Para mahasiswa laki-laki yang ada di ruangan itu tampak ogah-ogahan mengikuti rencana Tasya dan para mahasiswi lainnya. Mereka hanya diam memperhatikan saat Tasya dan Amel berdiri di balik pintu yang tertutup itu. Tidak lama kemudian, kedua gadis itu memutar sesuatu berukuran kecil yang menempel di daun pintu dan detik selanjutnya pintu tersebut terbuka lebar.

“SUPRISE!” seru para mahasiswi seraya menembakkan party popper ke arah Ray dan Rahel.

Ruangan itu nyaris dipenuhi oleh pernak-pernik party popper yang berserakan di lantai. Sedangkan Ray dan Rahel tampak kebingungan melihat apa yang sedang terjadi di depan mereka.

“Dosen Ray, Miss Rahel, silahkan masuk,” ucap Tasya, sopan dan lembut, yang dibalas oleh Rahel dengan anggukan kecil.

Wajah wanita bertubuh kecil dan berkulit putih itu masih tetap cantik sekalipun sedang dipenuhi oleh raut kebingungan.

Ray dan Rahel perlahan masuk ke ruangan tersebut dan duduk di kursi yang tersedia di sana. Mereka semakin dibuat bingung saat satu persatu mahasiswi datang menghampiri mereka dan mengucapkan selamat seraya memberi berbagai hadiah yang membuat meja di depan mereka terisi penuh.

“Dosen Ray, Miss Rahel, selamat atas hubungan kalian. Kami sangat senang melihat kalian seperti ini dan kami sangat mendukung kalau kalian segera menikah.”

Tepat setelah kata-kata itu selesai terucap dari bibir Tasya yang dilapisi lipstick berwarna merah muda, Ray bangkit dari tempatnya dengan ekspresi terkejut.

Detik selanjutnya, tatapan pria itu tertuju kepada Ana yang duduk di pojok belakang, yang ternyata juga sedang menatapanya dengan lekat dan dalam. Tatapan mereka bertemu, saling mengunci satu sama lain dengan ekspresi yang jelas tidak terlihat santai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status