Share

RASA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

Langit sudah gelap dan Ana mulai merasa keroncongan menahan lapar. Tapi gadis itu tidak ambil pusing, karena Nicho akan segera datang mengantarkan makanan untuknya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada gadis itu, karena satu jam yang lalu Nicho menghubunginya dan menanyakan apakah Ana ingin makan sesuatu atau tidak, karena ia sedang luar membeli makanan untuk kedua orangtuanya.

            Alhasil, Ana memberitahu makanan apa yang sedang ingin ia makan tanpa rasa sungkan. Lebih tepatnya, ia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi.

            “Kalau kamu bisa, kenapa aku nggak,” imbuhnya, pada Ray yang entah sedang dimana.

            Tidak lama kemudian, bell di rumah mewah itu terdengar hingga ke ruang tamu, sehingga Ana lekas-lekas beranjak dari sofa dan menyambut kedatangan Nicho dengan senyum mengembang. Ternyata, Nicho sangat pandai dalam mencari alamat rumahnya yang sekarang.

            Pintu terbuka. Sepasang mantan kekasih itu refleks saling melempar senyum terbaik mereka.

            “Hai, kamu udah lama nunggu?” tanya Nicho, lembut.

            Pria jangkung berjaket merah itu tampak begitu tampan. Ditambah dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan karena diterpa angin saat dalam perjalanan membutnya semakin terlihat keren.

            “Gak kok. Gak lama juga. Ayo masuk dulu, Nich.”

            “Lain kali aja, An. Gue lagi buru-buru. Nih, nasi soto medan pesenan lo.” Nicho menyerahkan kresek makanan di tangannya kepada Ana, yang langsung diterima gadis itu dengan senang hati.

            “Makasih ya, Nich. Gue jadi ngerepotin lo.”

            “No problem. Kan gue yang nawarin. Gue juga suka kalo lo mau ngerepotin gue kayak dulu lagi,” timpal pria itu, jujur.

            “Bisa aja lo. Mana ada mantan kayak gitu.” Ana terkekeh.

            “Ada, An. Kita contohnya.” Nicho ikut tertawa.

Malam ini, Ana tampak begitu welcome dan ramah, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang terkesan jutek saat bicara dengan Nicho. Untungnya, Nicho tidak mempermasalahkan sikap Ana yang seperti itu. Nicho benar-benar pria tulus yang tidak menyimpan dendam, terutama kepada Ana.

            “Gue pergi ya, An. Sampai ketemu hari senin.” Nicho kemudian pamit undur diri setelah berbicang singkat dengan Ana.

            “Yups. Lo hati-hati ya. Kabari gue kalau udah sampai rumah.”

            “Aman, Bu bos.” Nicho mengacungkan jempolnya.

            Senyum pria itu tampak begitu lepas hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. Nicho kemudian naik ke motornya dan melambaikan tangan sebelum pergi meninggalkan pekarangan rumah mewah tersebut dengan hati yang berbunga-bunga.

            Begitupun dengan Ana. Senyum tulus yang dulu sering terukir di wajah gadis itu dan sempat hilang beberapa waktu belakang ini kembali hadir menghiasi wajahnya. Ana sadar perasaannya pada Nicho belum hilang sepernuhnya. Lebih tepatnya, tidak hilang sedikitpun sekalipun mereka sudah berpisah dan ia sudah menikah dengan pria lain.

Hanya saja waktu itu, ia sangat kecewa sehingga nekat mengakhiri hubungan mereka secara sepihak. Anehnya lagi, hal itu malah seperti scenario yang disusun rapi karena setelah itu ia menikah dengan Ray.

Ana belum juga masusk ke dalam rumah, masih asik memandangi jalanan yang sepi dan mulai dibasahi oleh rintik-rintik hujan yang nyaris tidak terlihat oleh kegelapan malam. Sedetik kemudian, tatapan Ana tertuju kepada sebuah mobil yang parkir tidak jauh dari gerbang rumahnya. Melihat ciri-ciri mobil itu, Ana seketika mengernyit keheranan.

“Ngapain Ray parkir di sana?” gumamnya tanpa mengalihkan pandangan dari mobil hitam tersebut.

Benar! Mobil hitam itu adalah milik Ray dan pemiliknya sedang menatap lekat sosok Ana dari balik kemudi. Ana salah kalau berpikir Ray baru tiba di tempat itu, karena faktanya pria itu sudah ada di sana saat Nicho tiba di rumah mereka dan Ana menyambut kedatangan mantannya itu.

Tatapan Ray yang setajam elang siap menghunus siapa saja yang melihatnya. Syukurnya, Ana tidak sedang berada di depan pria itu sehingga ia tidak perlu takut melihat Ray yang tampak begitu mengerikan,

Jari-jari Ray yang sebelumnya mencengkram stir mobil dengan kencang, perlahan rileks bersamaan dengan hembusan napas keluar daari mulutnya. Sesaat kemudian, Ray kembali menyalakan mobil dan menginjak pedal gas di bawah sana. Mobil itu melaju sangat pelan menuju rumah bercat putih.

Setelah memarkirkan mobinya dengan benar, Ray kemudian turun dan bergegas menuju pintu utama, tempat di mana Ana masih berdiri memperhatikannya.

Tatapan elang yang tadi sempat terpancar di mata Ray telah hilang sepenuhnya. Kini, pria itu tersenyum kecil kepada Ana. Sesaat, ia melirik kantong plastik hitam yang ada di tangan gadis itu.

“Kamu yang nyuruh mantanmu itu datang kemari?” Tanya Ray to the point, begitu ia berdiri di hadapan Ana.

“Iya. Dia bawain makanan untuk gue.”

            “Gue?” Ray mengernyit. Tidak biasanya Ana memakai panggilan itu saat berbicara dengannya.

            Ana memutar bola matanya jengah. Ray pasti kembali menyalahkannya karena perubahan kata yang ia ucapkan.

            “Nicho bawain makanan ini karena dia kebetulan lagi di luar dan aku belum makan malam,” jelas Ana, memperbaiki kata-katanya.

            “Kamu gak masalah kalau dia atau kamu tinggal di sini?”

            “Gak. Tadi, dia juga sempat nanya kenapa dan dengan siapa aku tinggal di sini.”

            “Terus kamu jawab apa?” tanya Ray, spontan.          

“Aku bilang, aku mau mandiri dan aku tinggal sendirian di rumah ini.”

            Ray mengangguk-angguk kecil mendengar pernyataan tersebut. Ia kemudian mengajak Ana untuk masuk dan mereka berjalan beriringan menuju meja makan. Sebelumnya, Ray juga menyempatkan diri untuk membuka jas dan menyimpan tasnya di atas sofa yang ada di ruang tamu.

            “Makanlah. Saya temani.” Ray menyodorkan sebuah piring dan mangkuk kepada Ana yang baru saja duduk di salah satu kursi.

            Piring dan mangkuk keramik yang diserahkan oleh Ray sama seperti benda-benda lainnya yang ada di dapur itu, sangat mewah dan unik.

            “Makasih.” Ana menjawab singkat, lalu mulai menyantap nasi soto pemberian Nicho tanpa menghiraukan Ray yang sedang melihat ke arahnya.

            Ana makan dengan cukup tenang, tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya yang merah alami. Tapi, siapa yang tahu kalau saat ini gadis itu sedang mendumel dalam hati mengutuk sikap Ray yang tampak biasa saja tanpa rasa bersalah sedikitpun. Satu lagi, pria itu juga tampak tidak cemburu karena kehadiran Nicho beberapa saat yang lalu.

             Baguslah kalau Ray tidak mempermasalah apapun yang gue lakuin. Artinya, gue udah bebas dan gak perlu patuh sama omongan dia lagi, batin Ana, menepis kekecewaan di hatinya karena ketidakpedulian Ray atas apa yang ia lakukan.

            Tapi, kenapa dia juga gak jelasin apapun ke gue? Emangnya dia pikir gue gak masalah kalau dia pergi dengan Miss Rahel? Nyebelin banget sih, gerutunya.

            Ana menyantap makanannya dengan ogah-ogahan. Sesekali, ia diam-diam melirik Ray yang tampak fokus memainkan ponsel.

            Emangnya benda pipih itu lebih menarik dari gue? Ana kembali menggerutu seraya memutar bola matanya jengah.

            Padahal, gadis itu saja yang tidak kalau saat ini Ray sedang merekam dirinya yang sedang makan dengan ekspresi yang berubah-ubah.

            Ray yang melihat hal itu menarik tipis kedua ujung bibirnya. Sangat tipis, hingga tidak terlihat oleh Ana yang sedang melihat ke arahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status