Share

Pembalasan Dimulai

 “Tuan Joe Clayton dan Nyonya Zoey Verlon, saat ini kalian sudah resmi dan terdaftar sebagai pasangan suami istri. Sesuai permintaan anda, sertifikat pernikahan akan diserahkan pada Nyonya Clayton secara langsung."

Bersamaan dengan penyerahan dokumen pernikahan, terdengar tepuk tangan bahkan ucapan selamat kepada kedua pasangan baru dari petugas kantor sipil, Alex, dokter serta beberapa perawat yang ada di sana.

Berbeda dari sikap Zoey yang terlihat belum bisa mempercayai keadaan kalau dirinya sudah menikah saat ini, Joe malah lebih tenang.

Pria tampan nan kaya raya itu berdiri untuk berjabat tangan pada petugas catatan sipil. Joe juga terlihat berbincang dengan dokter dan perawat yang menangani Zoey, sebelum menoleh dan berbisik pada Alex.

“Lex, antarkan mereka ke depan. Pastikan tidak ada informasi yang bocor tentang hari ini dan berikan mereka tanda mata sepantasnya.”

Alex mengangguk, “Baik. Aku mengerti,” jawab si cekatan itu dan bergegas membawa para tamu pernikahan kecil bosnya keluar ruangan.

Keadaan kembali hening saat hanya tersisa sepasang pengantin baru di sana. Zoey tidak berani mengangkat wajahnya pada Joe dan hanya memfokuskan pandangan pada sertifikat pernikahan di tangannya.

Joe kini duduk di sebelah ranjang pasien Zoey, “Aku sudah bicara dengan dokter. Mungkin dalam dua tiga hari kau bisa pulang.” sambungnya berucap tenang.

“Pulang? Aku bahkan tidak memiliki--” saat ini Zoey benar-benar tidak tahu harus pulang kemana.

"Rumahku," Joe berjalan mendekat ke arah Zoey, "Kita pulang, ke rumahku." jawabnya tegas dengan sorot mata yang menatap Zoey dingin.

Zoey terdiam tanpa bantahan. Tapi diamnya tergugah, begitu juga Joe ketika ponsel Zoey berdering.

‘My Love James’ adalah nama si pemanggilnya saat ini.

“Angkatlah." Joe berucap lagi. Tapi kali ini tidak ada senyuman santai yang tertoreh di wajah tampannya. Aura dingin masih mendominasi ruangan rawat itu saat ini.

Zoey segera mengangguk patuh sebelum menyambungkan panggilan, “Ada apa?” sapanya dingin. Kesakitan atas pengkhianatan masih segar ia rasakan.

‘Sayang, kau di mana? Kenapa kau belum menyambut kepulanganku?’ nada kesal dari James terdengar keras seakan ingin membuat tuli telinga Zoey.

“Aku ada urusan di luar kota, jadi maaf karena tidak bisa menyambutmu.”

‘Oh, begitu. Ya sudah kalau begitu. Untungnya Zilan sudah di sini menemaniku. Kita harus memberinya hadiah besar saat pernikahan nanti. Dia sungguh adik ipar yang sangat baik.’

Intonasi James bahkan seketika berubah saat membahas Zilan. Tentu saja itu membuat Zoey semakin terbakar dendam.

“Hmm, ya. Dia memang sangat baik padamu, tapi sering kali keterlaluan pada kakaknya sendiri.” Zoey menyindir. Bibirnya yang tersenyum miring bahkan jelas terlihat oleh Joe di depannya.

‘Hei, jangan begitu. Pertengkaran sudah biasa terjadi pada kakak beradik. Tapi yakinlah sebentar lagi dia akan membantumu dengan sangat baik mengolah perusahaan keluarga Verlon. Aku yang akan mengajarkannya cara berbisnis hingga kau tidak akan kesulitan mengurusku dan anak-anak kita nanti. Zoey akan melakukannya dengan baik.’

Kalimat menyindir Zoey bahkan tidak ditanggapi James. Si mantan brengsek itu malah terus membesarkan dan memuji Zilan dengan begitu tinggi, dan itu membuat Zoey muak.

“Aku harus menutup panggilan. Aku sangat sibuk di sini. Kalau urusanku selesai di sini, mari kita bicara lagi nanti. Sampai jumpa.” tanpa ingin mengulur waktu untuk mendengarkan omong kosong James lagi, Zoey mematikan sambungan dan menggenggam ponselnya dengan kuat. Seakan ponselnya itu adalah kepala James yang harus ia hancurkan.

Joe lebih mendekat dan menyentuh tangan Zoey untuk mengambil ponsel tadi, “Jangan lampiaskan kemarahanmu pada benda yang tidak bersalah. Lakukan dan balas pada mereka yang menyakitimu. Seperti kemauanmu, aku tidak akan ikut campur, tapi aku akan ada jika kau memerlukan dukungan.”

Ucapan tenang dengan senyuman berarti Joe terdengar sebagai dukungan. Air mata dendam mengalir setelah merasa yakin kalau dendam itu harus terbayarkan.

“Terima kasih, Tuan Joe. Aku tidak akan mengecewakanmu karena menikah denganku.” ucap Zoey yakin. Kini, jelas sudah kalau ia tidak akan menyesali keputusannya.

***

Dua hari Zoey lalui di rumah sakit. Selama itu juga Joe rutin mengunjungi Zoey saat pagi dan menemani malam berlalu bersama istrinya. Keduanya mulai mencairkan kecanggungan, khususnya Zoey.

Jika sebelumnya ia merasa kalau Joe adalah pria dingin menakutkan yang selalu memasang tembok es tinggi pada lawan bicaranya, itu benar. Tapi Zoey menemukan ketenangan dan perhatian dalam setiap pembicaraan mereka. Joe memberi perhatian pada wanita yang baru ia nikahi dengan caranya sendiri, dan itu membuat Zoey merasa nyaman tanpa tersudutkan.

“Tuan Joe, bagaimana hari ini? Apa aku sudah bisa keluar dari sini? Kukira kepalaku sudah tidak terlalu sakit.” Zoey bertanya.

“Bukannya kita sudah sepakat menghilangkan sapaan formal saat kita berdua saja?” Joe terdengar menolak, tapi kalimatnya begitu tenang.

“Ah, maafkan aku. Aku masih belum terbiasa.” Zoey menutup mulutnya dan segera mengoreksi, “Apa aku sudah bisa keluar dari tempat menyedihkan ini, Joe? Terlalu lama ada di sini membuatku sesak.”

“Hanya tinggal melihat hasil darah tadi malam. Dokter bilang akan memulangkanmu saat semuanya sudah baik. Tahanlah sebentar lagi.” Joe menjawab dengan senyum yang mulai ia sunggingkan tipis pada istrinya. Seketika perasaan hangat Zoey rasakan.

Momen saling menatap sambil bertukar senyuman keduanya harus berakhir saat panggilan dari orang yang ingin dikuburnya ke tanah malah membuyarkan semuanya. James kembali menelepon Zoey.

‘Sebenarnya kau ada di mana, ha?! Apa kau benar-benar tidak peduli pada kekasihmu sama sekali? Aku jauh-jauh datang dari London untuk menemuimu, tapi kau malah mengabaikanku dengan urusan kantormu!’

Zoey menjauhkan speaker ponselnya saat teriakkan James begitu nyaring membentaknya.

“Aku dalam perjalanan pulang, tapi sepertinya aku tidak bisa menemuimu hari ini. Aku akan langsung ke kantor. Bukannya ada Zilan yang bisa menemanimu saat aku tidak ada?” Zoey menjawab berani.

Zoey yang dulu begitu lugu dan diperbudak cinta. Cintanya pada James mengalahkan kasih sayangnya pada orang tua. Entah apa yang James berikan padanya hingga Zoey begitu bodoh dan takut sekali membuat James kesal. Tapi semuanya berubah. Zoey tidak bodoh lagi hingga untuk menjawab James dengan dingin pun ia tidak ragu lagi.

James terdiam sejenak mendengarkan keanehan ucapan Zoey, tapi dengan cepat ia hilangkan saat ingat pada Zilan.

‘Dan ya. Kebetulan sekali kau menyebut adikmu. Zilan sedang kesulitan hari ini. Cepatlah kembali dan bantu dia. Hari ini ada penilaian anak magang di kantormu. Dia harus melakukan presentasi rancangan baru, tapi sepertinya hari ini ia tidak enak badan. Kau kakaknya jadi kau harus membantunya.’

“Dia tidak akan menjadi apapun kalau sedikit-sedikit kubantu. Aku dan dia memang memiliki nama Verlon. Sebagai pewaris perusahaan orang tua kami, aku juga masih harus bekerja sebagai CEO di sana. Kau tahu sendiri bagaimana sibuknya seorang CEO perusahaan, kan? Dia juga harus melakukan yang kulakukan dengan profesional, jangan manja. Katakan itu padanya.”

Di seberang sana terkejut mendengar jawaban lantang Zoey. Ternyata tidak hanya James saja yang mendengar, tapi Zilan juga, karena mereka masih dalam selimut yang sama yang menutupi tubuh polos mereka. Alasan Zilan tidak enak badan memang benar, tapi itu bukan karena sakit, melainkan terlalu over bermain gila bersama kekasih kakaknya sendiri.

Mendengar jawaban menohok Zoey di seberang panggilan, Zilan seketika merengek tanpa suara pada James. Itu membuat James memosisikan duduknya dengan tegas, lalu menyampirkan anak rambut berwarna peraknya ke belakang. Kalau Zoey sudah berucap tegas seperti itu, dengan terpaksa ia harus mengeluarkan kalimat pamungkasnya.

‘Kenapa kau bersikap seperti ini? Ke mana Zoey-ku yang manis? Kenapa pada adikmu sendiri kau begitu tega? Kalau dengan adikmu saja kau bisa seperti ini, bagaimana nantinya kau akan berada di tengah keluargaku yang notebene asing denganmu?’

‘Atau... kita pikirkan ulang saja rencana pernikahan kita. Aku akan menunggumu kembali tenang dan baik seperti biasanya. Tapi kau tahu, kan, batasan menungguku seperti apa?’

Tanpa menunggu jawaban Zoey, James langsung menutup panggilan. Ia yakin tidak akan menunggu lama untuk mendengar rengekkan penyesalan dan permintaan maaf Zoey padanya. Tapi... apa yang terjadi nanti akan sesuai prediksinya seperti biasa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status