"Kamu yakin nggak mau ke dokter, Ri? Kamu pucat banget, lho. Aku khawatir kamu tiba-tiba pingsan," ujar Adnan saat pintu lift sepenuhnya menutup dan bergerak turun, memerangkap dirinya bersama Suri di dalamnya.
Pria berpenampilan rapi dan necis itu meneliti wajah Suri dengan ekspresi khawatir.
"Aku nggak sakit," tukas Suri seraya menepis dengan halus tangan Adnan yang terangkat untuk menyentuh keningnya.
Terkadang, Adnan bisa sangat berlebihan saat berurusan dengan kesehatan dirinya.
"Tapi kita perlu bicara, Adnan. Ini penting," desak wanita itu seraya menahan luapan emosi yang mengentak-entak dada.
Kesabaran yang ditahan-tahannya sejak pagi tadi sudah berada diambang batas. Suri tidak bisa menunggu lebih lama lagi hingga jam pulang kerja nanti untuk bicara dengan Adnan perihal temuannya pagi tadi.
"Ada apa, Ri? Kamu baik-baik saja, kan?"
Wanita berambut panjang yang dikuncir kuda itu membuang napas untuk menetralkan ekspresi di wajah yang sudah tak karuan sebelum mengatakan, "Aku nggak akan marah kalau kamu mau menjawab pertanyaanku dengan jujur. Kamu... tahu kalau Mas Pram ada di kota ini?"
Adnan tidak langsung menjawab. Detik selanjutnya, ia memutar badan sepenuhnya untuk menghadap Suri. Tatapan intens dan ekspresi di wajah tampannya tak terbaca. Menambah ketegangan di dalam lift yang hanya diisi oleh mereka berdua.
"Adnan--"
"Kamu bertemu dengan Pram? Kapan?"
Suri tertegun.
Walau tidak mendapatkan jawaban secara langsung, pertanyaan balasan itu membuat Suri semakin yakin bahwa mantan suami yang sudah ia hindari selama enam tahun terakhir itu benar-benar ada di kota yang sama. Di dekatnya.
"Apa yang sedang pria itu lakukan di sini, Nan? Kenapa kamu nggak bilang?" Suri menahan suaranya agar tidak meninggi.
Kenyataan bahwa Adnan telah mengetahui kedatangan Pram di kota itu, tetapi tidak mengatakan apa-apa kepada Suri-lah yang membuat hati wanita itu disusupi setitik rasa kecewa.
Sudah bertahun-tahun berlalu, pembicaraan yang membawa nama mantan suami Suri itu masih amat sangat sensitif. Itulah sebabnya mereka nyaris tidak pernah menyinggung nama itu dalam percakapan sehari-hari. Namun, dalam keadaan seperti ini, bukankah Suri juga berhak tahu?
"Adnan, bukan kamu yang kasih tahu Mas Pram kalau aku--"
"Aku juga baru aja dikabari kalau Pram ada di Surabaya sejak kemarin. Ada pekerjaan yang harus dia selesaikan di kantor cabang."
Adnan merangkum pundak Suri. Memberikan remasan ringan dan tatapan hangat dalam upaya menenangkan wanita di hadapannya. Lalu ia berbisik, "Dia hanya beberapa hari di sini. Semua akan baik-baik saja," yang sayangnya gagal meredam gemuruh riuh di dada wanita itu.
Suri tampak linglung.
Biasanya, setiap kata yang keluar dari mulut Adnan selalu mampu membuat wanita itu--dan Andaru--akan aman. Namun, kali ini Suri tidak yakin.
"Suri, kamu harus tenang. Kita bisa hadapi Pram bersama--"
Pintu lift yang terbuka saat tiba di lobi memutus ucapan Adnan dan memaksa pria itu untuk melepaskan tangannya dari pundak Suri.
"Kamu mau ke mana, Ri?" Adnan menahan tangan Suri yang berjalan ke arah berlawanan dari yang mereka tuju. "Kita udah ditunggu supir di depan--"
"Wow. Sungguh, pemandangan yang sangat menarik!"
Dalam waktu yang nyaris bersamaan, Adnan dan Suri menoleh ke arah sumber suara yang menginterupsi.
Detik selanjutnya, Suri terpegun nyaris kehilangan keseimbangan.
"Mas... Pram?"
Tubuhnya seperti dipaksa untuk tetap berdiri tegak di antara runtuhnya pijakan di kaki saat melihat sosok nyata mantan suaminya berjalan dengan langkah pasti ke arahnya.
Jika tatapan bisa membunuh, Suri yakin dirinya sudah terkapar tak bernyawa karena tatapan tajam yang dilontarkan pria itu.
Suri menguatkan hati dan bersiap untuk melawan jika Pram mengonfrontasi, tetapi Adnan langsung maju membentengi tubuhnya. Tak mengizinkan Pram maju lebih dekat.
"Lo nggak merasa punya penjelasan ke gue atas situasi sialan ini, Adnan Danuarta?" Kemarahan tersirat dalam geraman suara Pram.
"Gue nggak punya kewajiban ngasih penjelasan apa pun." Adnan membalas dengan ketenangan yang membuat Suri melotot kesal.
'Pria itu hanya menambah masalah saja!'
Seperti yang sudah Suri duga, tatapan Pram menggelap karena kemarahan yang menggelegak.
"Berengsek lo, Nan! Selama ini lo berlagak bego tiap kali gue bahas soal Suri. Tapi ternyata lo diam-diam malah nyembunyiin istri--"
"Mantan istri," koreksi Adnan. Pria itu dengan mudah melepaskan cengkeraman Pram di kerah kemejanya. "Jaga sikap lo, Pramudya. Ini tempat umum," peringatnya pelan, namun tajam.
"Sialan!" Pram mundur selangkah karena dorongan kuat Adnan di pundaknya. Pria itu mengatupkan rahang dan mengepalkan tangan kuat-kuat. "Lo nggak bisa merebut Suri dari gue, Nan. Dia istri gue!"
Adnan terkekeh. "Gue nggak merebut Suri dari siapa pun." Pria itu mencondongkan tubuh ke depan, ia memelankan suara saat berbisik di telinga Pram. "Lo lupa, ya? Gue pernah bilang sama lo untuk menjaga apa yang berharga dalam hidup lo, tapi lo malah menyia-nyiakannya."
"Bajingan!" desis Pram garang.
Kepala Suri semakin pening menyaksikan dua pria dewasa yang sedang bersitegang itu. Ia berniat melerai sebelum mereka menciptakan keributan yang hanya mempermalukan diri mereka sendiri, tetapi ia teringat Andaru. Tidak ada yang lebih penting selain memastikan Andaru aman.
Tanpa berkata apa-apa lagi, wanita itu pun bergegas pergi sebelum ada yang menyadari.
***
Suri melewatkan waktu makan siangnya karena keasyikan bermain dengan anaknya di daycare. Wanita itu juga terpaksa izin tidak kembali ke kantor dan meminta Adnan untuk meng-handle pekerjaannya sendiri.
Pukul lima sore, Suri bersama Andaru keluar dari tempat penitipan anak yang sudah mulai sepi. Satu jam sebelumnya Adnan mengabari kalau pekerjaannya sebentar lagi selesai dan menawarkan diri untuk mengantar Suri dan Andaru pulang.
Andaru begitu semangat karena akan bertemu dengan om kesayangannya. Sementara pikiran Suri terbagi-bagi memikirkan bagaimana sikap yang paling benar untuk menghadapi Pram--jika mereka bertemu lagi nanti.
"Papa!"
Suri tersentak karena teriakan Andaru dan juga usaha anaknya itu untuk melepaskan genggaman tangan mereka yang terkait.
Sial sekali! Semesta rupanya sedang tak ingin berpihak padanya.
Tubuh Suri menegang saat menyadari Pram berdiri mematung pada jarak tiga meter di hadapannya. Tanpa sadar ia mencengkeram tangan mungil Andaru agar tidak berlari menyongsong Pram yang dipanggilnya Papa dengan heboh.
"Kamu... anak yang kemarin..."
Pram menatap Suri dan Andaru bolak-balik. Tampak sangat kebingungan. "Kenapa dia bersama kamu, Ri? Dia... siapa?"
Kabur.
Hanya itu yang terlintas di kepala Suri sebelum Pram menyadari adanya ikatan antara pria itu dengan Andaru yang sekarang merengek karena tidak diizinkan menyambut papanya. Namun, kakinya tidak bisa digerakkan. Membuka mulut pun rasanya berat sekali.
"Suri," Pram nyaris tidak bisa mengeluarkan suara karena terlalu syok. "Andaru... anak kita?"
"Sayangnya bukan," tukas suara lain yang menginterupsi saat Suri sudah nyaris pingsan karena ketakutan. "Andaru anak gue."
Duh... bisa perang saudara ini. Takudddd🥲🥲🥲
"Andaru anak gue." Tak hanya Pram yang terkejut mendengar pernyataan Adnan yang baru saja muncul dari lift, Suri juga menunjukkan reaksi yang sama. Namun, keterkejutan Suri tak berlangsung lama karena melihat senyum menenangkan yang disuguhkan Adnan untuknya. Hanya sekilas, hingga Suri nyaris mengira dirinya salah lihat. Detik selanjutnya, Suri segera sadar kalau Adnan sedang mencoba menyelamatkan dirinya dari Pram. "Anak lo... sama Suri?" Setelah bisa menguasai diri, Pram mengalihkan pandangannya kepada Andaru yang sedang melonjak-lonjak senang karena kedatangan Adnan—dengan mudah melupakan keberadaannya. Lalu tatapan tajamnya berpindah kepada Suri. "Ri... apa itu benar?" Tenggorokan Suri terasa perih karena ditodong pertanyaan itu. Ia mengalami dilema yang datang di saat yang tidak tepat. Dan sekali lagi, Adnan dengan tanggap menarik dirinya dari krisis. Pria itu mengambil alih dengan menjawab, "Ya. Andaru adalah buah cinta kami berdua." 'Buah cin...ta?' Astaga! Jantung Suri
"Kalau kamu kehabisan stok wanita untuk diajak bermain-main, aku bisa mengenalkan beberapa untukmu, Adnan." Melisa melipat tangan di dada dan mengangkat dagu sedikit lebih tinggi. Pose yang seharusnya biasa saja itu menjadi tampak berbeda. Tak hanya menampilkan keanggunan yang paripurna, Melisa seolah ingin menunjukkan bahwa wanita itulah yang berkuasa di sana, saat tatapannya bertemu dengan mata Suri. Ujung bibir Melisa tertarik ke atas saat matanya mulai menilai penampilan Suri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan jijik dan remeh di wajah ayunya terlampau jelas. "Tipe wanita seperti apa yang kamu sukai—" "Hai, Mel. Aku dengar dari Pram kalau kamu sempat dirawat di rumah sakit. Senang melihatmu sudah sehat kembali." Adnan menyela dengan tenang. Namun, Suri bisa merasakan sekelebat emosi dalam suara pria itu yang bergetar. "Maaf, aku nggak sempat ke Jakarta untuk menjenguk kamu. Banyak urusan penting di sini yang nggak bisa kutinggalkan." Suri terpaku. Apakah selama ini st
Pertanyaan yang diucapkan Adnan dengan ekspresi tak terbaca itu membuat Suri terpaku. Suri seharusnya sudah tidak kaget lagi karena pria itu selalu memberikan kejutan-kejutan di luar ekspektasinya. Namun, yang terakhir ini... benar-benar sudah di luar logika! "Aku bercanda, Ri." Bisikan pria itu sontak mengembalikan fokus Suri pada wajah Adnan yang dekat sekali dengan wajahnya. Suri membelalak dan memundurkan kepala. Namun, itu tidak berguna. Posisinya saat ini tidak menguntungkan karena ia duduk di kursi, diperangkap Adnan dengan tubuhnya yang menggoda. "A-apa yang kamu lakukan?" Suara yang keluar dari mulut Suri terdengar seperti tikus yang terjepit pintu. Sudut bibir Adnan terangkat naik. Pria itu semakin mendekatkan wajah dan berbisik di telinga kiri Suri. "Menciummu?" Suri membuang muka ke arah yang berlawanan dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kedua tangannya mencengkeram meja di belakangnya kuat-kuat. Sebuah keajaiban Suri tidak langsung ambruk karena kedekatannya dengan
Dada Suri terasa sesak. Ia harus berpegangan pada ujung meja untuk menahan tubuhnya yang oleng sesaat karena tidak siap mendengar pernyataan gila yang diucapkan Adnan. "Aku... aku benar-benar nggak ngerti apa yang sedang kamu bicarakan, Nan." Getar dalam suaranya menunjukkan emosi campur aduk yang telah ditekan kuat-kuat, tetapi tak lagi bisa wanita itu sembunyikan. Hanya dalam kurun waktu dua hari, ia dibuat olahraga jantung berkali-kali. Patut diacungi jempol karena Suri masih belum tumbang juga akibat terlalu banyak menerima kejutan. Kemunculan Pram dan pertemuannya dengan Andaru mungkin memang sudah takdir yang tak bisa dihindari lagi. Namun, tentang apa yang dilakukan Adnan... itu sangat di luar dugaan. Pria itu benar-benar tega karena menambah satu beban pikiran baru di kepala Suri tanpa membiarkannya istirahat sejenak saja. Sulit menolerir tindakan gila Adnan. Memanipulasi data diri tak hanya miliknya sendiri, tetapi juga milik Suri dan Andaru yang terdaftar di Dukcapil. Bag
"Aru benar-benar nggak papa diantar Miss Dina dan Om Wirya ke sekolah?" Suri tak bisa berhenti bergerak gusar di tempat duduknya sejak Dina—pengasuh baru yang akan menjaga Andaru—datang sepuluh menit lalu bersama asisten pribadi Adnan yang berpenampilan serba hitam. Bocah laki-laki yang sedang melahap sarapannya dengan tumis brokoli dan sosis itu mengangguk-angguk. "Mama sama Papa Adnan sibuk kerja buat beli mainan yang banyak buat Aru, kan?" Dengan adanya situasi yang memaksa Suri untuk fokus pada masalahnya dengan mantan suaminya, ia tidak punya pilihan selain menyetujui usul Adnan menyewa pengasuh untuk Andaru. Dina adalah yang terbaik di antara enam kandidat yang dipilih oleh Wirya—atas persetujuan Adnan. Selama bertahun-tahun bekerja untuk Adnan, tidak pernah sekalipun Suri mendengar pria itu mengeluh atau menegur Wirya atas hasil pekerjaannya. Itu artinya, Wirya selalu mengerjakan tugasnya dengan baik. Seharusnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Namun, sebagai seorang
Menginjakkan kaki di rumah sakit membuat Suri pusing dan mendadak mual karena terlalu cemas. Sementara itu, kepercayaan diri Adnan yang begitu yakin rencananya berjalan dengan lancar sama sekali tidak membantu Suri untuk bisa tenang. "Harusnya aku nggak makan dulu tadi. Aku rasanya mau muntah," panik Suri mencengkeram tas jinjing di tangan kanannya. Kakinya terasa lemas untuk diajak melangkah, seolah-olah bisa membuatnya jatuh kapan saja. "Kalau kamu nggak makan, kamu udah ambruk dari tadi, Ri." Dan Adnan masih bisa-bisanya bercanda dalam situasi serius seperti sekarang ini. "Seharusnya aku nggak mengizinkanmu merealisasikan rencana gilamu, Nan!" Adnan hanya tertawa dan terus melangkah dengan tenang. Sementara Suri sudah nyaris pingsan karena tekanan emosi yang membuncah di dadanya. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian. Suri bisa terkena serangan jantung sebelum sempat melihat hasil tes DNA yang dilakukan Adnan, Pram, dan Andaru beberapa ha
"Suri, kamu nggak apa-apa?" tanya Adnan sembari sesekali memperhatikan Suri yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Sejak meninggalkan rumah sakit lima belas menit yang lalu, wanita yang tidak mau melepas pandangan dari luar jendela itu lebih banyak diam. "Kalau kamu butuh waktu, kamu nggak perlu ikut aku meeting sekarang. Aku bisa sendiri saja. Aku akan minta Wirya menyusul." Menoleh ke arah Adnan, Suri menampilkan senyum yang agak dipaksakan. "Nggak apa-apa, Nan. Meeting ini penting buat perusahaan. Aku nggak akan melewatkannya." "Tapi, Ri—" "Adnan, tolong!" Suri menyentuh lengan pria yang sedang mengemudi itu dengan lembut. "Jangan sedikit-sedikit menyuruhku untuk bolos kerja cuma karena ada masalah atau karena kamu merasa aku nggak cukup kuat untuk menghadapi masalah." Ada tatap penuh sesal saat Adnan membalas, "Seharusnya kamu nggak perlu ikut ke rumah sakit tadi. Jadi, kamu nggak perlu menghadapi kemarahan Pram. Aku yang ceroboh karena membawamu serta." Suri menggeleng.
"Makan siangmu ada di meja ya, Nan. Udah disiapin sama Pak Budi," kata Suri saat ia dan Adnan tiba di lantai 9. Wanita itu langsung melipir ke meja kerjanya yang berada di sisi kiri pintu masuk ke ruangan Adnan. Adnan mengernyit bingung karena Suri tidak mengekor masuk ke ruang kerjanya seperti biasa. "Kita nggak makan siang bareng?" Mereka baru saja selesai meeting dengan investor baru yang datang langsung dari Bali. Pertemuannya berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan hingga jam makan siang telah lewat lebih dari satu jam. Namun, raut puas dari kedua belah pihak tadi menunjukkan kalau rapat panjang selama berjam-jam itu menghasilkan sebuah kesepakatan yang menguntungkan untuk masing-masing perusahaan. Suri cukup senang dan lega karena kerja kerasnya bersama orang-orang kantor selama berbulan-bulan, untuk membantu Adnan menyiapkan proposal pembangunan sebuah panti wreda di Surabaya, terbayar dengan tuntas saat tercapai kesepakatan dengan investor dari Bali yang terkenal sulit