Share

BAB 4. Ketakutan Suri

"Kamu yakin nggak mau ke dokter, Ri? Kamu pucat banget, lho. Aku khawatir kamu tiba-tiba pingsan," ujar Adnan saat pintu lift sepenuhnya menutup dan bergerak turun, memerangkap dirinya bersama Suri di dalamnya.

Pria berpenampilan rapi dan necis itu meneliti wajah Suri dengan ekspresi khawatir.

"Aku nggak sakit," tukas Suri seraya menepis dengan halus tangan Adnan yang terangkat untuk menyentuh keningnya.

Terkadang, Adnan bisa sangat berlebihan saat berurusan dengan kesehatan dirinya.

"Tapi kita perlu bicara, Adnan. Ini penting," desak wanita itu seraya menahan luapan emosi yang mengentak-entak dada.

Kesabaran yang ditahan-tahannya sejak pagi tadi sudah berada diambang batas. Suri tidak bisa menunggu lebih lama lagi hingga jam pulang kerja nanti untuk bicara dengan Adnan perihal temuannya pagi tadi.

"Ada apa, Ri? Kamu baik-baik saja, kan?"

Wanita berambut panjang yang dikuncir kuda itu membuang napas untuk menetralkan ekspresi di wajah yang sudah tak karuan sebelum mengatakan, "Aku nggak akan marah kalau kamu mau menjawab pertanyaanku dengan jujur. Kamu... tahu kalau Mas Pram ada di kota ini?"

Adnan tidak langsung menjawab. Detik selanjutnya, ia memutar badan sepenuhnya untuk menghadap Suri. Tatapan intens dan ekspresi di wajah tampannya tak terbaca. Menambah ketegangan di dalam lift yang hanya diisi oleh mereka berdua.

"Adnan--"

"Kamu bertemu dengan Pram? Kapan?"

Suri tertegun.

Walau tidak mendapatkan jawaban secara langsung, pertanyaan balasan itu membuat Suri semakin yakin bahwa mantan suami yang sudah ia hindari selama enam tahun terakhir itu benar-benar ada di kota yang sama. Di dekatnya.

"Apa yang sedang pria itu lakukan di sini, Nan? Kenapa kamu nggak bilang?" Suri menahan suaranya agar tidak meninggi.

Kenyataan bahwa Adnan telah mengetahui kedatangan Pram di kota itu, tetapi tidak mengatakan apa-apa kepada Suri-lah yang membuat hati wanita itu disusupi setitik rasa kecewa.

Sudah bertahun-tahun berlalu, pembicaraan yang membawa nama mantan suami Suri itu masih amat sangat sensitif. Itulah sebabnya mereka nyaris tidak pernah menyinggung nama itu dalam percakapan sehari-hari. Namun, dalam keadaan seperti ini, bukankah Suri juga berhak tahu?

"Adnan, bukan kamu yang kasih tahu Mas Pram kalau aku--"

"Aku juga baru aja dikabari kalau Pram ada di Surabaya sejak kemarin. Ada pekerjaan yang harus dia selesaikan di kantor cabang."

Adnan merangkum pundak Suri. Memberikan remasan ringan dan tatapan hangat dalam upaya menenangkan wanita di hadapannya. Lalu ia berbisik, "Dia hanya beberapa hari di sini. Semua akan baik-baik saja," yang sayangnya gagal meredam gemuruh riuh di dada wanita itu.

Suri tampak linglung.

Biasanya, setiap kata yang keluar dari mulut Adnan selalu mampu membuat wanita itu--dan Andaru--akan aman. Namun, kali ini Suri tidak yakin.

"Suri, kamu harus tenang. Kita bisa hadapi Pram bersama--"

Pintu lift yang terbuka saat tiba di lobi memutus ucapan Adnan dan memaksa pria itu untuk melepaskan tangannya dari pundak Suri.

"Kamu mau ke mana, Ri?" Adnan menahan tangan Suri yang berjalan ke arah berlawanan dari yang mereka tuju. "Kita udah ditunggu supir di depan--"

"Wow. Sungguh, pemandangan yang sangat menarik!"

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, Adnan dan Suri menoleh ke arah sumber suara yang menginterupsi.

Detik selanjutnya, Suri terpegun nyaris kehilangan keseimbangan.

"Mas... Pram?"

Tubuhnya seperti dipaksa untuk tetap berdiri tegak di antara runtuhnya pijakan di kaki saat melihat sosok nyata mantan suaminya berjalan dengan langkah pasti ke arahnya.

Jika tatapan bisa membunuh, Suri yakin dirinya sudah terkapar tak bernyawa karena tatapan tajam yang dilontarkan pria itu.

Suri menguatkan hati dan bersiap untuk melawan jika Pram mengonfrontasi, tetapi Adnan langsung maju membentengi tubuhnya. Tak mengizinkan Pram maju lebih dekat.

"Lo nggak merasa punya penjelasan ke gue atas situasi sialan ini, Adnan Danuarta?" Kemarahan tersirat dalam geraman suara Pram.

"Gue nggak punya kewajiban ngasih penjelasan apa pun." Adnan membalas dengan ketenangan yang membuat Suri melotot kesal.

'Pria itu hanya menambah masalah saja!'

Seperti yang sudah Suri duga, tatapan Pram menggelap karena kemarahan yang menggelegak.

"Berengsek lo, Nan! Selama ini lo berlagak bego tiap kali gue bahas soal Suri. Tapi ternyata lo diam-diam malah nyembunyiin istri--"

"Mantan istri," koreksi Adnan. Pria itu dengan mudah melepaskan cengkeraman Pram di kerah kemejanya. "Jaga sikap lo, Pramudya. Ini tempat umum," peringatnya pelan, namun tajam.

"Sialan!" Pram mundur selangkah karena dorongan kuat Adnan di pundaknya. Pria itu mengatupkan rahang dan mengepalkan tangan kuat-kuat. "Lo nggak bisa merebut Suri dari gue, Nan. Dia istri gue!"

Adnan terkekeh. "Gue nggak merebut Suri dari siapa pun." Pria itu mencondongkan tubuh ke depan, ia memelankan suara saat berbisik di telinga Pram. "Lo lupa, ya? Gue pernah bilang sama lo untuk menjaga apa yang berharga dalam hidup lo, tapi lo malah menyia-nyiakannya."

"Bajingan!" desis Pram garang.

Kepala Suri semakin pening menyaksikan dua pria dewasa yang sedang bersitegang itu. Ia berniat melerai sebelum mereka menciptakan keributan yang hanya mempermalukan diri mereka sendiri, tetapi ia teringat Andaru. Tidak ada yang lebih penting selain memastikan Andaru aman.

Tanpa berkata apa-apa lagi, wanita itu pun bergegas pergi sebelum ada yang menyadari.

***

Suri melewatkan waktu makan siangnya karena keasyikan bermain dengan anaknya di daycare. Wanita itu juga terpaksa izin tidak kembali ke kantor dan meminta Adnan untuk meng-handle pekerjaannya sendiri. 

Pukul lima sore, Suri bersama Andaru keluar dari tempat penitipan anak yang sudah mulai sepi. Satu jam sebelumnya Adnan mengabari kalau pekerjaannya sebentar lagi selesai dan menawarkan diri untuk mengantar Suri dan Andaru pulang.

Andaru begitu semangat karena akan bertemu dengan om kesayangannya. Sementara pikiran Suri terbagi-bagi memikirkan bagaimana sikap yang paling benar untuk menghadapi Pram--jika mereka bertemu lagi nanti.

"Papa!"

Suri tersentak karena teriakan Andaru dan juga usaha anaknya itu untuk melepaskan genggaman tangan mereka yang terkait.

Sial sekali! Semesta rupanya sedang tak ingin berpihak padanya.

Tubuh Suri menegang saat menyadari Pram berdiri mematung pada jarak tiga meter di hadapannya. Tanpa sadar ia mencengkeram tangan mungil Andaru agar tidak berlari menyongsong Pram yang dipanggilnya Papa dengan heboh.

"Kamu... anak yang kemarin..."

Pram menatap Suri dan Andaru bolak-balik. Tampak sangat kebingungan. "Kenapa dia bersama kamu, Ri? Dia... siapa?"

Kabur.

Hanya itu yang terlintas di kepala Suri sebelum Pram menyadari adanya ikatan antara pria itu dengan Andaru yang sekarang merengek karena tidak diizinkan menyambut papanya. Namun, kakinya tidak bisa digerakkan. Membuka mulut pun rasanya berat sekali.

"Suri," Pram nyaris tidak bisa mengeluarkan suara karena terlalu syok. "Andaru... anak kita?"

"Sayangnya bukan," tukas suara lain yang menginterupsi saat Suri sudah nyaris pingsan karena ketakutan. "Andaru anak gue."

naftalenee

Duh... bisa perang saudara ini. Takudddd🥲🥲🥲

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status