"Masih mikirin soal lamaranku kemarin?"
Suri tersentak kaget saat mendengar Adnan tahu-tahu bersuara sambil menyentuh sebelah pundaknya. Dengan lemah, wanita itu menggeleng. Lamaran Adnan beberapa hari lalu tidak terlalu ia pikirkan. Toh, pria itu tidak memaksanya menerima dan malah memberinya waktu untuk berpikir dengan bijak. Meski tetap saja, beban memberikan jawaban itu tidak bisa dienyahkan begitu saja dari pikiran, karena Suri tahu ... Adnan pun diam-diam menunggu.
"Dari tadi perasaanku nggak enak mikirin Aru." Suri berujar lemah sambil mengaduk-aduk makan siangnya yang sudah dingin itu.
Adnan kemudian menarik bangku di hadapannya. "Bukannya dia sekolah?" Adnan berujar usai melihat jam di pergelangan tangannya.
Suri mengangguk. Biasanya, Andaru memang sudah pulang sekolah di saat Suri sudah memasuki jam makan siang. Bocah itu kemudian akan ia jemput untuk kemudian ikut ke kantor dan lanjut dititipkan ke daycare. Namun kali ini, sekolah anaknya itu tengah melakukan kegiatan keluar. Kegiatan yang sebetulnya sudah biasa dilakukan, tetapi kali ini, tanpa bisa dimengerti ... Suri terus-terusan was-was memikirkan putranya.
"Apa aku jemput aja, ya?" usul Suri menatap Adnan, meminta opini pria itu. Wanita itu sudah tahu, respons apa yang akan diberikan Adnan. Andaru yang sudah mulai beranjak mandiri itu tidak begitu suka saat Suri terlalu mengekangnya ini dan itu. Hal itu pula yang dipahami Adnan selama hadir membersamai Aru.
"Aru akan baik-baik aja, Ri." Adnan menyesap minuman dinginnya, memberi jeda. "Biarkan dia bersosialisasi. Kalau terjadi sesuatu, dia pasti akan cerita. Atau gurunya pasti akan menghubungi kamu."
Perkataan Adnan memang benar. Sebab, sampai detik tiba waktunya Suri menjemput Andaru sore hari, tidak ada satu hal aneh pun yang dilaporkan padanya. Belum lagi, Andaru yang terus berceloteh senang karena kunjungan sekolahnya hari itu.
Firasat buruk Suri perlahan menghilang. Namun, saat malam tiba, ada yang aneh dari bocah itu. Ia terus mondar-mandir mengintip ke arah pintu seolah menunggu seseorang datang.
Tidak biasanya, Andaru memandangi jam berulang kali. "Aru, kenapa mondar-mandir?" tanya Suri dengan kerutan di dahi.
Bocah itu menghentikan gerakannya dan berjalan menghampiri Suri. "Ma, kenapa Papa belum sampai juga?"
"Om Adnan kan di rumahnya, Sayang." Suri yang hanya tahu sebutan Papa diperuntukkan untuk Adnan itu lantas menjawab dengan lugas.
Namun, gelengan yang dilakukan Andaru membuat kening Suri mengerut dalam.
"Bukan, Ma. Papanya Aru." Bocah itu berujar dengan begitu antusias. "Aru tadi ketemu Papa di toko kue!" lanjutnya begitu jelas.
Jantung Suri sesaat seperti berhenti berdetak. Tubuhnya memaku, karena sekelibat, pikirannya menebak sosok pria yang Andaru sebut papa itu. Selama enam tahun, Suri--dibantu Adnan--berhasil bersembunyi dari kejaran pria yang masih mencarinya itu. Namun, saat mendengar potongan cerita dari Andaru, Suri jadi membatin sendiri. 'Apakah pria itu sudah menemukan mereka?'
Namun, tidak ingin bereaksi berlebihan di depan anaknya, Suri memilih untuk melupakan pikiran buruknya itu. Ia memilih untuk mengorek kembali cerita dari Andaru guna memastikan dugaan itu.
"Mama nggak ngerti kamu ngomong apa, Nak."
Bocah itu kemudian malah menarik-narik ujung baju tidur Suri. "Ayo telepon Papa, Ma!"
Suri masih mencoba menenangkan anaknya. Ia berjongkok guna menyetarakan posisi mereka. "Papa siapa?"
"Papanya Aru! Aru pernah liat foto Mama bareng Papa sayang-sayangan."
Keantusiasan yang dipancarkan Andaru perlahan membuat tubuh Suri menjadi limbung. Foto yang dimaksud anaknya, kemungkinan foto yang memang masih ia simpan meski di dalam kotak tersembunyi. Namun, hal yang jauh lebih penting daripada itu adalah ... Andaru telah bertemu pria itu.
'Pria itu ada di sini?' tanya Suri dalam kekalutan hatinya.
Malam itu, Suri berusaha alot membujuk Andaru untuk tidur. Bocah itu begitu keras untuk menunggu kepulangan papanya. Setelah satu jam lamanya menjawab aman pada tiap pertanyaan Andaru, Suri pun bernapas lega saat Andaru akhirnya mengalah meski dengan wajah lesu.
Ketika Andaru telah masuk ke kamarnya, Suri menghubungi guru sekolah Andaru. Meski malam telah larut, keterangan dari guru tersebut membawa Suri pada sebuah kedai roti di seberang sekolah anaknya di keesokan harinya. Sementara Suri masih mencari tahu kebenaran sosok yang ditemui anaknya kemarin, ia pun tidak mengizinkan Andaru masuk sekolah hari ini. Ia begitu takut kalau kejadian kemarin terulang kembali.
CCTV yang ada di kedai roti itu menjadi sasaran Suri. Meski sempat tidak diizinkan oleh pemilik kedai, Suri terus memelas dengan dalih kekhawatirannya sebagai seorang ibu. Dan ketika pemilik tersebut mengizinkan Suri untuk mengakses rekaman CCTV kemarin, tubuhnya terpaku. Tulang-tulang yang menopang kakinya seolah melunak saat melihat dengan jelas figur pria yang berinteraksi dengan Andaru.
"Ya Tuhan, mengapa jadi begini?"
"Kamu yakin nggak mau ke dokter, Ri? Kamu pucat banget, lho. Aku khawatir kamu tiba-tiba pingsan," ujar Adnan saat pintu lift sepenuhnya menutup dan bergerak turun, memerangkap dirinya bersama Suri di dalamnya. Pria berpenampilan rapi dan necis itu meneliti wajah Suri dengan ekspresi khawatir. "Aku nggak sakit," tukas Suri seraya menepis dengan halus tangan Adnan yang terangkat untuk menyentuh keningnya. Terkadang, Adnan bisa sangat berlebihan saat berurusan dengan kesehatan dirinya. "Tapi kita perlu bicara, Adnan. Ini penting," desak wanita itu seraya menahan luapan emosi yang mengentak-entak dada. Kesabaran yang ditahan-tahannya sejak pagi tadi sudah berada diambang batas. Suri tidak bisa menunggu lebih lama lagi hingga jam pulang kerja nanti untuk bicara dengan Adnan perihal temuannya pagi tadi. "Ada apa, Ri? Kamu baik-baik saja, kan?" Wanita berambut panjang yang dikuncir kuda itu membuang napas untuk menetralkan ekspresi di wajah yang sudah tak karuan sebelum mengatakan, "A
"Andaru anak gue." Tak hanya Pram yang terkejut mendengar pernyataan Adnan yang baru saja muncul dari lift, Suri juga menunjukkan reaksi yang sama. Namun, keterkejutan Suri tak berlangsung lama karena melihat senyum menenangkan yang disuguhkan Adnan untuknya. Hanya sekilas, hingga Suri nyaris mengira dirinya salah lihat. Detik selanjutnya, Suri segera sadar kalau Adnan sedang mencoba menyelamatkan dirinya dari Pram. "Anak lo... sama Suri?" Setelah bisa menguasai diri, Pram mengalihkan pandangannya kepada Andaru yang sedang melonjak-lonjak senang karena kedatangan Adnan—dengan mudah melupakan keberadaannya. Lalu tatapan tajamnya berpindah kepada Suri. "Ri... apa itu benar?" Tenggorokan Suri terasa perih karena ditodong pertanyaan itu. Ia mengalami dilema yang datang di saat yang tidak tepat. Dan sekali lagi, Adnan dengan tanggap menarik dirinya dari krisis. Pria itu mengambil alih dengan menjawab, "Ya. Andaru adalah buah cinta kami berdua." 'Buah cin...ta?' Astaga! Jantung Suri
"Kalau kamu kehabisan stok wanita untuk diajak bermain-main, aku bisa mengenalkan beberapa untukmu, Adnan." Melisa melipat tangan di dada dan mengangkat dagu sedikit lebih tinggi. Pose yang seharusnya biasa saja itu menjadi tampak berbeda. Tak hanya menampilkan keanggunan yang paripurna, Melisa seolah ingin menunjukkan bahwa wanita itulah yang berkuasa di sana, saat tatapannya bertemu dengan mata Suri. Ujung bibir Melisa tertarik ke atas saat matanya mulai menilai penampilan Suri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan jijik dan remeh di wajah ayunya terlampau jelas. "Tipe wanita seperti apa yang kamu sukai—" "Hai, Mel. Aku dengar dari Pram kalau kamu sempat dirawat di rumah sakit. Senang melihatmu sudah sehat kembali." Adnan menyela dengan tenang. Namun, Suri bisa merasakan sekelebat emosi dalam suara pria itu yang bergetar. "Maaf, aku nggak sempat ke Jakarta untuk menjenguk kamu. Banyak urusan penting di sini yang nggak bisa kutinggalkan." Suri terpaku. Apakah selama ini st
Pertanyaan yang diucapkan Adnan dengan ekspresi tak terbaca itu membuat Suri terpaku. Suri seharusnya sudah tidak kaget lagi karena pria itu selalu memberikan kejutan-kejutan di luar ekspektasinya. Namun, yang terakhir ini... benar-benar sudah di luar logika! "Aku bercanda, Ri." Bisikan pria itu sontak mengembalikan fokus Suri pada wajah Adnan yang dekat sekali dengan wajahnya. Suri membelalak dan memundurkan kepala. Namun, itu tidak berguna. Posisinya saat ini tidak menguntungkan karena ia duduk di kursi, diperangkap Adnan dengan tubuhnya yang menggoda. "A-apa yang kamu lakukan?" Suara yang keluar dari mulut Suri terdengar seperti tikus yang terjepit pintu. Sudut bibir Adnan terangkat naik. Pria itu semakin mendekatkan wajah dan berbisik di telinga kiri Suri. "Menciummu?" Suri membuang muka ke arah yang berlawanan dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kedua tangannya mencengkeram meja di belakangnya kuat-kuat. Sebuah keajaiban Suri tidak langsung ambruk karena kedekatannya dengan
Dada Suri terasa sesak. Ia harus berpegangan pada ujung meja untuk menahan tubuhnya yang oleng sesaat karena tidak siap mendengar pernyataan gila yang diucapkan Adnan. "Aku... aku benar-benar nggak ngerti apa yang sedang kamu bicarakan, Nan." Getar dalam suaranya menunjukkan emosi campur aduk yang telah ditekan kuat-kuat, tetapi tak lagi bisa wanita itu sembunyikan. Hanya dalam kurun waktu dua hari, ia dibuat olahraga jantung berkali-kali. Patut diacungi jempol karena Suri masih belum tumbang juga akibat terlalu banyak menerima kejutan. Kemunculan Pram dan pertemuannya dengan Andaru mungkin memang sudah takdir yang tak bisa dihindari lagi. Namun, tentang apa yang dilakukan Adnan... itu sangat di luar dugaan. Pria itu benar-benar tega karena menambah satu beban pikiran baru di kepala Suri tanpa membiarkannya istirahat sejenak saja. Sulit menolerir tindakan gila Adnan. Memanipulasi data diri tak hanya miliknya sendiri, tetapi juga milik Suri dan Andaru yang terdaftar di Dukcapil. Bag
"Aru benar-benar nggak papa diantar Miss Dina dan Om Wirya ke sekolah?" Suri tak bisa berhenti bergerak gusar di tempat duduknya sejak Dina—pengasuh baru yang akan menjaga Andaru—datang sepuluh menit lalu bersama asisten pribadi Adnan yang berpenampilan serba hitam. Bocah laki-laki yang sedang melahap sarapannya dengan tumis brokoli dan sosis itu mengangguk-angguk. "Mama sama Papa Adnan sibuk kerja buat beli mainan yang banyak buat Aru, kan?" Dengan adanya situasi yang memaksa Suri untuk fokus pada masalahnya dengan mantan suaminya, ia tidak punya pilihan selain menyetujui usul Adnan menyewa pengasuh untuk Andaru. Dina adalah yang terbaik di antara enam kandidat yang dipilih oleh Wirya—atas persetujuan Adnan. Selama bertahun-tahun bekerja untuk Adnan, tidak pernah sekalipun Suri mendengar pria itu mengeluh atau menegur Wirya atas hasil pekerjaannya. Itu artinya, Wirya selalu mengerjakan tugasnya dengan baik. Seharusnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Namun, sebagai seorang
Menginjakkan kaki di rumah sakit membuat Suri pusing dan mendadak mual karena terlalu cemas. Sementara itu, kepercayaan diri Adnan yang begitu yakin rencananya berjalan dengan lancar sama sekali tidak membantu Suri untuk bisa tenang. "Harusnya aku nggak makan dulu tadi. Aku rasanya mau muntah," panik Suri mencengkeram tas jinjing di tangan kanannya. Kakinya terasa lemas untuk diajak melangkah, seolah-olah bisa membuatnya jatuh kapan saja. "Kalau kamu nggak makan, kamu udah ambruk dari tadi, Ri." Dan Adnan masih bisa-bisanya bercanda dalam situasi serius seperti sekarang ini. "Seharusnya aku nggak mengizinkanmu merealisasikan rencana gilamu, Nan!" Adnan hanya tertawa dan terus melangkah dengan tenang. Sementara Suri sudah nyaris pingsan karena tekanan emosi yang membuncah di dadanya. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian. Suri bisa terkena serangan jantung sebelum sempat melihat hasil tes DNA yang dilakukan Adnan, Pram, dan Andaru beberapa ha
"Suri, kamu nggak apa-apa?" tanya Adnan sembari sesekali memperhatikan Suri yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Sejak meninggalkan rumah sakit lima belas menit yang lalu, wanita yang tidak mau melepas pandangan dari luar jendela itu lebih banyak diam. "Kalau kamu butuh waktu, kamu nggak perlu ikut aku meeting sekarang. Aku bisa sendiri saja. Aku akan minta Wirya menyusul." Menoleh ke arah Adnan, Suri menampilkan senyum yang agak dipaksakan. "Nggak apa-apa, Nan. Meeting ini penting buat perusahaan. Aku nggak akan melewatkannya." "Tapi, Ri—" "Adnan, tolong!" Suri menyentuh lengan pria yang sedang mengemudi itu dengan lembut. "Jangan sedikit-sedikit menyuruhku untuk bolos kerja cuma karena ada masalah atau karena kamu merasa aku nggak cukup kuat untuk menghadapi masalah." Ada tatap penuh sesal saat Adnan membalas, "Seharusnya kamu nggak perlu ikut ke rumah sakit tadi. Jadi, kamu nggak perlu menghadapi kemarahan Pram. Aku yang ceroboh karena membawamu serta." Suri menggeleng.