Share

BAB 3. Firasat

"Masih mikirin soal lamaranku kemarin?"

Suri tersentak kaget saat mendengar Adnan tahu-tahu bersuara sambil menyentuh sebelah pundaknya. Dengan lemah, wanita itu menggeleng. Lamaran Adnan beberapa hari lalu tidak terlalu ia pikirkan. Toh, pria itu tidak memaksanya menerima dan malah memberinya waktu untuk berpikir dengan bijak. Meski tetap saja, beban memberikan jawaban itu tidak bisa dienyahkan begitu saja dari pikiran, karena Suri tahu ... Adnan pun diam-diam menunggu.

"Dari tadi perasaanku nggak enak mikirin Aru." Suri berujar lemah sambil mengaduk-aduk makan siangnya yang sudah dingin itu.

Adnan kemudian menarik bangku di hadapannya. "Bukannya dia sekolah?" Adnan berujar usai melihat jam di pergelangan tangannya.

Suri mengangguk. Biasanya, Andaru memang sudah pulang sekolah di saat Suri sudah memasuki jam makan siang. Bocah itu kemudian akan ia jemput untuk kemudian ikut ke kantor dan lanjut dititipkan ke daycare. Namun kali ini, sekolah anaknya itu tengah melakukan kegiatan keluar. Kegiatan yang sebetulnya sudah biasa dilakukan, tetapi kali ini, tanpa bisa dimengerti ... Suri terus-terusan was-was memikirkan putranya.

"Apa aku jemput aja, ya?" usul Suri menatap Adnan, meminta opini pria itu. Wanita itu sudah tahu, respons apa yang akan diberikan Adnan. Andaru yang sudah mulai beranjak mandiri itu tidak begitu suka saat Suri terlalu mengekangnya ini dan itu. Hal itu pula yang dipahami Adnan selama hadir membersamai Aru.

"Aru akan baik-baik aja, Ri." Adnan menyesap minuman dinginnya, memberi jeda. "Biarkan dia bersosialisasi. Kalau terjadi sesuatu, dia pasti akan cerita. Atau gurunya pasti akan menghubungi kamu."

Perkataan Adnan memang benar. Sebab, sampai detik tiba waktunya Suri menjemput Andaru sore hari, tidak ada satu hal aneh pun yang dilaporkan padanya. Belum lagi, Andaru yang terus berceloteh senang karena kunjungan sekolahnya hari itu.

Firasat buruk Suri perlahan menghilang. Namun, saat malam tiba, ada yang aneh dari bocah itu. Ia terus mondar-mandir mengintip ke arah pintu seolah menunggu seseorang datang.

Tidak biasanya, Andaru memandangi jam berulang kali. "Aru, kenapa mondar-mandir?" tanya Suri dengan kerutan di dahi.

Bocah itu menghentikan gerakannya dan berjalan menghampiri Suri. "Ma, kenapa Papa belum sampai juga?"

"Om Adnan kan di rumahnya, Sayang." Suri yang hanya tahu sebutan Papa diperuntukkan untuk Adnan itu lantas menjawab dengan lugas.

Namun, gelengan yang dilakukan Andaru membuat kening Suri mengerut dalam.

"Bukan, Ma. Papanya Aru." Bocah itu berujar dengan begitu antusias. "Aru tadi ketemu Papa di toko kue!" lanjutnya begitu jelas.

Jantung Suri sesaat seperti berhenti berdetak. Tubuhnya memaku, karena sekelibat, pikirannya menebak sosok pria yang Andaru sebut papa itu. Selama enam tahun, Suri--dibantu Adnan--berhasil bersembunyi dari kejaran pria yang masih mencarinya itu. Namun, saat mendengar potongan cerita dari Andaru, Suri jadi membatin sendiri. 'Apakah pria itu sudah menemukan mereka?'

Namun, tidak ingin bereaksi berlebihan di depan anaknya, Suri memilih untuk melupakan pikiran buruknya itu. Ia memilih untuk mengorek kembali cerita dari Andaru guna memastikan dugaan itu.

"Mama nggak ngerti kamu ngomong apa, Nak."

Bocah itu kemudian malah menarik-narik ujung baju tidur Suri. "Ayo telepon Papa, Ma!"

Suri masih mencoba menenangkan anaknya. Ia berjongkok guna menyetarakan posisi mereka. "Papa siapa?"

"Papanya Aru! Aru pernah liat foto Mama bareng Papa sayang-sayangan."

Keantusiasan yang dipancarkan Andaru perlahan membuat tubuh Suri menjadi limbung. Foto yang dimaksud anaknya, kemungkinan foto yang memang masih ia simpan meski di dalam kotak tersembunyi. Namun, hal yang jauh lebih penting daripada itu adalah ... Andaru telah bertemu pria itu.

'Pria itu ada di sini?' tanya Suri dalam kekalutan hatinya.

Malam itu, Suri berusaha alot membujuk Andaru untuk tidur. Bocah itu begitu keras untuk menunggu kepulangan papanya. Setelah satu jam lamanya menjawab aman pada tiap pertanyaan Andaru, Suri pun bernapas lega saat Andaru akhirnya mengalah meski dengan wajah lesu.

Ketika Andaru telah masuk ke kamarnya, Suri menghubungi guru sekolah Andaru. Meski malam telah larut, keterangan dari guru tersebut membawa Suri pada sebuah kedai roti di seberang sekolah anaknya di keesokan harinya. Sementara Suri masih mencari tahu kebenaran sosok yang ditemui anaknya kemarin, ia pun tidak mengizinkan Andaru masuk sekolah hari ini. Ia begitu takut kalau kejadian kemarin terulang kembali.

CCTV yang ada di kedai roti itu menjadi sasaran Suri. Meski sempat tidak diizinkan oleh pemilik kedai, Suri terus memelas dengan dalih kekhawatirannya sebagai seorang ibu. Dan ketika pemilik tersebut mengizinkan Suri untuk mengakses rekaman CCTV kemarin, tubuhnya terpaku. Tulang-tulang yang menopang kakinya seolah melunak saat melihat dengan jelas figur pria yang berinteraksi dengan Andaru.

"Ya Tuhan, mengapa jadi begini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status