Calia pikir Caleb tak akan datang malam itu karena sejak kemarin malam tak menghubunginya sama sekali, tetapi rupanya sang kakak malah datang lebih awal. Masih mengenakan pakaian kerja dengan satu kantong yang berisi pakaian ganti dan satu kantung berisi makanan. Yang kemudian disodorkan kepadanya.Kening Calia berkerut tipis. Menatap wajah sang kakak yang kemudian membuang wajah. Ada penyesalan yang kental di kedua mata Caleb sebelum pria itu benar-benar berpaling. “Apa itu?” tanyanya kemudian.“Kau belum makan, kan?” Caleb meletakkan kantong tersebut di meja karena Calia tak juga mengulurkan tangan untuk mengambil. Meletakkan kantong pakaian gantinya di sofa pendek dan duduk di samping Calia. “Cumi asam manis. Kesukaanmu. Dan dari resto langganan kita.”Calia pun mengulurkan tangan, membuka kantong tersebut dan aroma familiar yang lezat segera menyergap hidungnya. Jadi ini alasan Caleb pulang lebih awal. Untuk mengantre makanan favoritnya. “Sebagai permintaan maaf?” tanyanya sembari
Lukas dan Rhea baru saja keluar dari kamar tidur Cailey ketika melihat Lucius dan Calia yang baru muncul dari arah tangga. Langkah keduanya terhenti melihat Lucius yang setengah menyeret pinggul Calia, menuju ke kamar utama. Pria itu tampak terburu, dan keduanya sempat melihat Lucius yang menangkap tengkuk Calia untuk menyentuhkan bibir di atas bibir Calia sebelum pintu kamar benar-benar tertutup. Tak perlu kecerdasan tinggi untuk menebak apa yang terjadi selanjutnya di balik pintu itu.Ujung mata Rhea melirik ke samping, bisa merasakan ketegangan dari tubuh sang suami. Pandangannya turun ke bawah, melihat kedua tangan Lukas yang mengepal dengan buku jari yang memutih. Ia menggigit bibir bagian dalamnya, berusaha meredam hatinya yang patah."Kau baik-baik saja?" Rhea berhasil mengeluarkan suaranya setenang mungkin. Tangannya menyentuh lengan Lukas dan memasang senyum selembut mungkin.Lukas mengerjap, menggeleng sekali dan berkata, "Aku akan keluar.""Ke mana?""Kembalilah ke kamar,"
Tubuh Calia didorong ke tengah tempat tidur, bersamaan pakaiannya yang mulai dilucuti oleh Lucius. Pria itu sudah melepaskan sebagai pakaian ketika menindih setengah tubuhnya. Kembali menangkap bibirnya dalam lumatan yang panjang. Saat ia nyaris kehilangan napas, pria itu akan melepaskan pagutannya, dengan ciuman yang mulai merambati rahang dan lehernya. Dengan tak sabaran melepaskan sisa pakaian yang masih menempel di tubuhnya.Erangan pelan lolos bersamaan dengan napasnya yang terengah. Setiap sentuhan bibir, telapak tangan, dan tubuh mereka yang saling bergesekan membuatnya seperti diserang dari segala arah. Jatuh tenggelam dalam gairah yang dipimpin oleh Lucius. Ya, ia selalu kehilangan arah setiap kali pria itu menyentuhnya. Menguasai dirinya hingga di titik yang membuatnya tak bisa mengenali dirinya sendiri sebaik pria itu mengenali tubuhnya. Dan yang lebih buruk, ia membiarkan Lucius mengambil alih semuanya dengan penuh kerelaan dan kepasrahan.Suara desahan yang panas saling b
Lucius belum pernah merasakan bangun pagi sesempurna ini. Dengan sang istri yang berada dalam pelukannya, dan senyum yang melengkung di wajah Calia. Tangannya bergerak perlahan, menyentuh ujung bibir Calia, memastikan senyum benar-benar nyata. Dan ya, senyum itu nyata. Saat ujung jemarinya bergerak menyentuh wajah Calia, tubuh wanita itu menggeliat pelan, semakin menenggelamkan tubuh ke dalam dekapannya.Sepanjang pernikahan mereka, ia tak pernah melihat senyum di wajah Calia selain hanya senyum simpul ketika membalas semua kebaikan yang telah diberikannya untuk wanita itu. Ia tak sebodoh itu untuk tak memahami senyum sebagai ucapan terima kasih tersebut. Tak pernah lebih.Selama ini ia terlalu dibutakan terhadap perasaan cintanya pada wanita itu. Tanpa benar-benar menyelami perasaan wanita itu yang sesungguhnya. Bahwa ternyata ada nama lain yang sudah mendekam di hati wanita itu. Adiknya sendiri.Matanya terpejam, mendaratkan satu kecupan di bibir Calia. Lembut dan hangat. Seperti tu
"Sejak tadi kau diam?" gumam Lucius saat keduanya berbalik setelah melambaikan tangan pada Zsazsa dan Zaiden yang sudah menghilang dari balik pintu kelas. Lengan pria itu merangkul pinggang sang istri dan keduanya berjalan ke arah tempat parkir. Mendapatkan beberapa perhatian dari para ibu yang juga baru mengantar anak mereka.Calia menggeleng menjawab pertanyaan Lucius sekaligus merasa tak nyaman dengan tatapan penasaran orang-orang. Bisa merasakan bisik-bisik di belakangnya ketika langkah mereka sudah melewati kerumunan tersebut.Lucius pun merasakan gestur ketidaknyamanan sang istri dan menunduk untuk mendaratkan satu kecupan di kening Calia sambil berucap lirih, "Kau harus terbiasa mendapatkan perhatian ini. Tegakkan wajahmu."Calia menarik napas dan mengembuskannya singkat. Lalu mengangguk. Ya, ia istri sah Lucius Cayson. Apa pun pemberitaan tentang Lucius dan Divya di luar sama tidak harus menguasainya. "Ada sesuatu yang lain mengganggumu," ucap Lucius lagi saat keduanya duduk
Lucius tersentak, hingga kedua tangannya di lengan Calia terjatuh dan tubuhnya bergerak mundur. Membeku untuk waktu yang cukup lama dan menatap sang istri dengan kesangsian yang cukup jelas.Calia menelan ludahnya. “Tidak apa jika kau tidak mempercayaiku, Lucius.”Suara Calia terdengar lirih. Tatapan Lucius masih begitu intens. Mencoba mencari ketidak jujuran di raut wanita itu, yang lebih sulit ditemukannya dari yang ia pikir atau memang tak ada di sana. Ataukah Calia memang mengatakan kebenaran menyakitkan ini.Ia tahu ketidak sukaan sang mama pada Calia, bahkan sebelum mereka menikah. Mamanya menentang keras pernikahannya, tetapi tentu saja tak berkutik saat ia mengungkit ambisi sang mama yang terus memenuhi jalannya sejak papanya meninggal saat ia masih remaja. Seluruh hidupnya berubah total, berusaha sangat keras demi memenuhi keinginan sang mama untuk menjadi penerus sang papa.Namun, ia tak pernah menyangka sang mama akan melakukan hal seburuk itu hanya karena begitu membenci C
Sejak Calia datang kembali ke hidupnya dan mengetahui jatuh bulanannya pada wanita itu yang tak pernah sampai, ia memang berniat menyelidiki kejadian malam itu di hotel yang berapa kali pun ia memikirkannya, ada kejanggalan yang tak diterimanya. Pun dengan perselingkuhan yang benar-benar terjadi dan diakui oleh Calia.“Tuan Khu sudah menunggu di dalam,” ucap salah satu sekretarisnya memberitahu. Lucius mengangguk singkat, memberi perintah untuk mengosongkan jadwal satu jam ke depan sebelum melangkah masuk ke ruangannya dan melihat Alan Khu yang beranjak berdiri menyambutnya. Lucius menutup pintu di belakangnya dan gegas mengambil tempat di kepala sofa. Meletakkan kantong plastik hitam yang berisi gelas kotor yang ditumpahkan Calia di meja makan ke hadapan pria itu. “Aku ingin kau membawa ini ke laboratorium dan menyelidiki apa yang mungkin ada di sana.”Kening Alan Khu berkerut tipis, mengambil kantong tersebut dan mengintip isinya kemudian mengangguk singkat.“Jadi apa yang tiba-tib
“Kupikir kau membutuhkannya, jadi aku meminta temanku melakukan pengetesan lagi. Tapi … hasilnya tetap sama.”Lucius masih mendengarkan. Mengangguk singkat dan mengakhiri panggilan tersebut. Tepat ketika suara derap langkah kaki dari dalam rumah mulai terdengar.“Papa?!” Suara panggilan dari dalam rumah segera mengalihkan Lucius yang membeku di teras rumah. Raut datar Lucius gegas berubah hangat. Kepenatannya segera raib begitu melihat ketiga kembar dan istrinya yang menghampirinya. Zsazsa berlari lebih kencang, menggandeng Zaiden, sementara Calia mendorong kursi roda Zayn. Kedua lengannya segera membuka dan membawa Zsazsa ke dalam gendongannya. Mengusap rambut di kepala Zaiden dan Zayn bergantian lalu tersenyum membalas sang istri yang mengambil tas di tangannya.“Mereka baru saja bermain di halaman belakang ketika mendengar suara mobilmu datang,” ucap Calia saat Lucius menundukkan wajah untuk mendaratkan satu kecupan di bibir.Yang membuat Zsazsa memberengut kesal dan mencium pipi s