Lucius belum pernah merasakan bangun pagi sesempurna ini. Dengan sang istri yang berada dalam pelukannya, dan senyum yang melengkung di wajah Calia. Tangannya bergerak perlahan, menyentuh ujung bibir Calia, memastikan senyum benar-benar nyata. Dan ya, senyum itu nyata. Saat ujung jemarinya bergerak menyentuh wajah Calia, tubuh wanita itu menggeliat pelan, semakin menenggelamkan tubuh ke dalam dekapannya.Sepanjang pernikahan mereka, ia tak pernah melihat senyum di wajah Calia selain hanya senyum simpul ketika membalas semua kebaikan yang telah diberikannya untuk wanita itu. Ia tak sebodoh itu untuk tak memahami senyum sebagai ucapan terima kasih tersebut. Tak pernah lebih.Selama ini ia terlalu dibutakan terhadap perasaan cintanya pada wanita itu. Tanpa benar-benar menyelami perasaan wanita itu yang sesungguhnya. Bahwa ternyata ada nama lain yang sudah mendekam di hati wanita itu. Adiknya sendiri.Matanya terpejam, mendaratkan satu kecupan di bibir Calia. Lembut dan hangat. Seperti tu
"Sejak tadi kau diam?" gumam Lucius saat keduanya berbalik setelah melambaikan tangan pada Zsazsa dan Zaiden yang sudah menghilang dari balik pintu kelas. Lengan pria itu merangkul pinggang sang istri dan keduanya berjalan ke arah tempat parkir. Mendapatkan beberapa perhatian dari para ibu yang juga baru mengantar anak mereka.Calia menggeleng menjawab pertanyaan Lucius sekaligus merasa tak nyaman dengan tatapan penasaran orang-orang. Bisa merasakan bisik-bisik di belakangnya ketika langkah mereka sudah melewati kerumunan tersebut.Lucius pun merasakan gestur ketidaknyamanan sang istri dan menunduk untuk mendaratkan satu kecupan di kening Calia sambil berucap lirih, "Kau harus terbiasa mendapatkan perhatian ini. Tegakkan wajahmu."Calia menarik napas dan mengembuskannya singkat. Lalu mengangguk. Ya, ia istri sah Lucius Cayson. Apa pun pemberitaan tentang Lucius dan Divya di luar sama tidak harus menguasainya. "Ada sesuatu yang lain mengganggumu," ucap Lucius lagi saat keduanya duduk
Lucius tersentak, hingga kedua tangannya di lengan Calia terjatuh dan tubuhnya bergerak mundur. Membeku untuk waktu yang cukup lama dan menatap sang istri dengan kesangsian yang cukup jelas.Calia menelan ludahnya. “Tidak apa jika kau tidak mempercayaiku, Lucius.”Suara Calia terdengar lirih. Tatapan Lucius masih begitu intens. Mencoba mencari ketidak jujuran di raut wanita itu, yang lebih sulit ditemukannya dari yang ia pikir atau memang tak ada di sana. Ataukah Calia memang mengatakan kebenaran menyakitkan ini.Ia tahu ketidak sukaan sang mama pada Calia, bahkan sebelum mereka menikah. Mamanya menentang keras pernikahannya, tetapi tentu saja tak berkutik saat ia mengungkit ambisi sang mama yang terus memenuhi jalannya sejak papanya meninggal saat ia masih remaja. Seluruh hidupnya berubah total, berusaha sangat keras demi memenuhi keinginan sang mama untuk menjadi penerus sang papa.Namun, ia tak pernah menyangka sang mama akan melakukan hal seburuk itu hanya karena begitu membenci C
Sejak Calia datang kembali ke hidupnya dan mengetahui jatuh bulanannya pada wanita itu yang tak pernah sampai, ia memang berniat menyelidiki kejadian malam itu di hotel yang berapa kali pun ia memikirkannya, ada kejanggalan yang tak diterimanya. Pun dengan perselingkuhan yang benar-benar terjadi dan diakui oleh Calia.“Tuan Khu sudah menunggu di dalam,” ucap salah satu sekretarisnya memberitahu. Lucius mengangguk singkat, memberi perintah untuk mengosongkan jadwal satu jam ke depan sebelum melangkah masuk ke ruangannya dan melihat Alan Khu yang beranjak berdiri menyambutnya. Lucius menutup pintu di belakangnya dan gegas mengambil tempat di kepala sofa. Meletakkan kantong plastik hitam yang berisi gelas kotor yang ditumpahkan Calia di meja makan ke hadapan pria itu. “Aku ingin kau membawa ini ke laboratorium dan menyelidiki apa yang mungkin ada di sana.”Kening Alan Khu berkerut tipis, mengambil kantong tersebut dan mengintip isinya kemudian mengangguk singkat.“Jadi apa yang tiba-tib
“Kupikir kau membutuhkannya, jadi aku meminta temanku melakukan pengetesan lagi. Tapi … hasilnya tetap sama.”Lucius masih mendengarkan. Mengangguk singkat dan mengakhiri panggilan tersebut. Tepat ketika suara derap langkah kaki dari dalam rumah mulai terdengar.“Papa?!” Suara panggilan dari dalam rumah segera mengalihkan Lucius yang membeku di teras rumah. Raut datar Lucius gegas berubah hangat. Kepenatannya segera raib begitu melihat ketiga kembar dan istrinya yang menghampirinya. Zsazsa berlari lebih kencang, menggandeng Zaiden, sementara Calia mendorong kursi roda Zayn. Kedua lengannya segera membuka dan membawa Zsazsa ke dalam gendongannya. Mengusap rambut di kepala Zaiden dan Zayn bergantian lalu tersenyum membalas sang istri yang mengambil tas di tangannya.“Mereka baru saja bermain di halaman belakang ketika mendengar suara mobilmu datang,” ucap Calia saat Lucius menundukkan wajah untuk mendaratkan satu kecupan di bibir.Yang membuat Zsazsa memberengut kesal dan mencium pipi s
Lucius mendengus dengan wajah Calia yang mendadak memucat. Ia mendecakkan lidahnya dengan salah satu alis yang terangkat. “Ck, kau tidak minta maaf?”Kening Calia berkerut tak mengerti.“Kau pikir aku tidak tersinggung dengan pertanyaanmu?”Kerutan di kening Calia semakin menukik tajam, semakin tak memahami pertanyaan tersebut. “Aku tahu bagaimana rasanya dikhianati, Calia. Bagaimana mungkin aku melakukan itu pada orang yang kucintai. Aku tak akan merendahkan diriku sendiri melakukan itu, bahkan jika itu untuk membalas sakit hatiku padamu. Pun kau yang sama sekali tak menginginkan pernikahan ini dengan hatimu.”Seketika Calia membeku, kata-kata Lucius tepat menusuk di dadanya. “Kau berhak melakukannya.” Calia memaksa kata itu keluar dari bibirnya. Merasa egois dan ia sangat menyadari itu. Lihatlah betapa tidak tahu malunya dirimu, Calia, batinnya mengejek dirinya sendiri.Lucius mendengus mengejek. “Katakan itu pada dirimu sendiri. Wajahmu pucat sekali.”Calia mengerjap kebingungan,
Divya mengakhiri panggilan dengan senyum licik yang tersungging di salah satu ujung bibirnya. Semua rencananya sudah bisa dibilang berhasil, hanya perlu menunggu kedatangan Lucius yang akan menjemputnya. Sebelum kemudian ia menyelesaikan setengah rencana tante Vania yang cemerlang ini seorang diri. Ya, hanya dirinya yang bisa menyelesaikan rencana ini.Sejenak ponselnya berkedip dan muncul notifikasi bahwa baterai ponselnya mulai lemah. Hanya tinggal beberapa persen saja. Toh sebentar lagi Lucius akan muncul, jadi ia hanya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Mengangkat pergelangan tangannya dan melirik jam tangan yang melingkar di sana. Jam sudah menunjukkan pukul 21.17, suasana di sekitar sunyi senyap dan hanya ada kegelapan di sekelilingnya.Divya memastikan kunci mobil terpasang dengan tepat. Ada ketakutan yang sempat merayapi hatinya tetapi mengingat apa yang akan dicapai dengan rencana ini, ia segera mengenyahkan ketakutan tersebut.Setelah 8 tahun Lusius tak pernah tergoda oleh t
Calia turun dari mobil, menyodorkan jaket ke arah Divya. Kedua matanya mengamati penampilan Divya yang berantakan dan bau parfum bercampur alkohol yang menusuk hidup. “Sepertinya kau membutuhkannya. Di sini sangat dingin.”Divya membutuhkan usaha yang lebih untuk menguasai ekspresi wajahnya dengan baik tanpa mengundang kecurigaan Lucius yang berdiri di hadapannya. Ia menggeleng dengan raut yang datar. “Kau tak lihat, aku kepanasan? AC mobilku mati.”“Ah, ya.” Pandangan Calia turun ke arah dada Divya. “AC mobil Lucius bekerja dengan baik, kau tidak akan kegerahan di dalam. Jika tidak ingin masuk angin, sepertinya kau harus mengancingkan kemejamu.” “Memangnya kenapa? Lucius sudah terbiasa melihatku seperti ini.” Divya tak bisa menahan kekesalannya.Lucius berdehem pelan. “Jangan membuat kesalah pahaman tak berarti di depan istriku, Divya.”Divya segera menutup mulutnya.“Apa yang dikatakan oleh istriku benar, Divya. Jika tidak ingin jatuh sakit, kau harus memperbaiki penampilanmu. Kau