"Anak kamu mana, Hani?" tanya Hadi ketika mereka semua sudah ada di meja makan. Sudah terlambat untuk jam makan malam, karena sudah pukul delaoan lebih tiga puluh menit, tetapi karena semua penghuni rumah lapar, jadi acara makan malam pun tetap berlangsung. Apalagi tamu yang datang juga belum makan. "Anak Hani gak diajak, Bang, lagi kurang enak badan." Hani terpaksa berbohong. "Oh, sakit apa?" tanya Hadi. "Demam, kayaknya mau tumbuh gigi," jawab Hani bingung. "Loh, kamu punya bayi lagi, Han? Udah nikah?" Hani menelan ludah, lalu menggeleng dengan cepat. Pertanyaan bingung dari kakak iparnya membuat Hani menyesali diri. Ia tak pernah tahu banyak tentang bayi, oleh karena itu, asal sebut alasan saja. "Radang, ya, Teh, radang. Jadi biar di kontrakan dulu.""Sama siapa?" Jadi benar-benar ingin tahu tentang kehidupan adiknya selama ini. Nasi di tangan sampai kering karena mereka terus berbincang hingga jam sepuluh malam. Hani menguap beberapa kali karena sudah amat mengantuk, tetapi
"Menurut Abah, anaknya siapa yang bisa kita jadikan mantu?" tanya Bu Umi pada suaminya, saat mereka sudah berada di dalam kamar. Abah haji baru saja selesai mandi dan tengah memakai baju. Ia akan mengisi pengajian satu jam lagi di masjid yang letaknya cukup jauh dari pesantrennya. "Siapa ya, Mi? Abah juga bingung, belum ada kandidat. Belum pernah tanya-tanya juga sama teman kajian, atau ustadz lain, karena Abah kirain, Syamil gak mau dijodohkan dan juga gak mau buru-buru nikah." Abah Haji duduk di pinggir tempat tidur sambil memasang kancing baju koko. "Berarti sekarang mulai di tanya-tanya, Bah. Oh, iya, ada tabungan kita buat pesta Syamil nanti?" Abah Haji tersenyum, lalu mengangguk sambil tersenyum. "Syamil katanya punya uang, Mi, kita hanya menambahkan." "Alhamdulillah, tapi tetap saja kita harus sediakan uang, Bah. Syamil juga perlu uang buat bekal dia nanti pergi ke Kairo." Abah Haji mengangguk setuju dengan pendapat istrinya. Suami istri itu terus berdiskusi tentang permin
"Ya ampun, Zahra, apa kabar?" Hani terkejut, karena begitu tiba di rumah kontrakan, ada Zahra di sana sambil berbincang dengan Mbak Nunuk. Sama-sama penghuni lama seperti dirinya. "Kamu dari mana, Han? Untung aku belum pulang." Zahra memeluk Hani, lalu cipika-cipiki. Hani pun menyalami Mbak Nunuk yang tersenyum dengan kepulangannya. "Ke rumah kakaknya. Jadikan, Han?" Mbak Nunuk memang mengetahui ke mana ia pamit pergi kemarin, karena setelah Zahra pindah, hanya Mbak Nunuk penghuni lama yang sangat dekat dengannya. "Jadi, Mbak." Hani tersenyum senang. "Ya ampun, kamu sudah bertemu kakak kamu? Alhamdulillah, Hani." Zahra tersenyum begitu lebar. Setelah sekian tahun ia membujuk Hani agar mau menemui keluarganya, akhirnya Hani mau juga. Tidak apa terlambat, asalkan ia tetap bertemu dan bersilaturahim dengan keluarga. "Ya sudah, kalian lanjut ngobrol ya. Mbak mau siap-siap berangkat ke pabrik. " Nunuk bangun dari duduknya. "Iya, Mbak, makasih udah temani saya." Zahra tersenyum sangat
Tiga hari berlalu, setiap malam, di waktu sepertiga malam, pemuda itu meminta petunjuk pada Sang Maha Pencipta, Sang Maha Pembolak-balik Hati untuk memberikan sebuah nama yang akan menjadi tulang rusuknya. Syamil sengaja berpuasa untuk membulatka tekadnya berumah tangga. Kekhawatiran perihal satu nama yang sampai saat ini membuatnya penasaran, terpaksa ia tepis. Pemuda itu meminta, jika memang bukan jodohnya, maka jauhkan dan jangan biarkan mereka bertemu. Satu nama itu adalah Hani. Ia tidak boleh mencondongkan nafsu dalam memilih jodoh, apalagi wanita itu tidak ada di depannya. Bismillah, satu nama itu sudah ia tentukan. Selesai salat dhuha, Syamil keluar dari kamarnya. Suara tawa dan canda terdengar dari halaman belakang. Siapa lagi kalau bukan tetehnya dan juga Mbak Nela yang sangat besti. Sungguh aneh, anak istri pertama, begitu akur dengan istri kedua ayahnya. Sampai saat ini, otak cerdas Syamil tidak dapat memikirkan bagaimana bisa seorang lelaki melakukan poligami? "Kenapa,
"Loh, kenapa udah pulang? Belanjaannya mana?" tanya Mbak Nunuk saat melihat Hani baru saja masuk ke dalam rumah dengan ekspresi letih. Wanita berusia tiga puluh dua tahun itu memperhatikan Hani dari atas sampai bawah. Hani memilih langsung duduk di kursi ruang tamu sambil mengatur napas yang masih sedikit sesak. "Mbak, saya gak jadi belanja. S-saya bertemu Grace," jawab Hani dengan suara putus-putus. Nunuk bergegas ke dapur, lalu kembali lagi ke ruang tamu sambil membawa segelas air putih. "Tenang, ini minum dulu!" Hani menerima gelas itu dan langsung meneguk airnya hingga tandas. "Grace istri pertama dosen kamu?" tanya Nunuk meyakinkan. Hani mengangguk. "Kenapa kabur? Harusnya kamu cuek saja dan kalau bisa, kamu tantang. Kamu yang dulu polos, sudah tidak ada lagi. Sekarang kamu wanita kuat yang bisa mengeluarkan pendapat kamu. Kalau kamu lari, maka Grace akan semakin curiga ada sesuatu yang kamu sembunyikan." Hani menatap kakak kos yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri. Hany
"Masih kecil udah mau poligami, gak akan mungkin. Abang lihat sendirikan, betapa Syamil awalnya sangat menolak abah yang mau poligami sama Nela. Kalau menurut saya, sudah jalannya memang Syamil tidak berjodoh dengan Hani. Terlalu banyak PR. Abang sendiri bilang begitu kan?" Didin tidak menyahuti ucapan istrinya. Pria dewasa itu hanya mengangguk membenarkan ucapan Laila. Temboknya sangat tinggi, terutama Hani yang janda. Meskipun gadis itu masih muda, beda dua tahun saja dari Syamil. Hari ini, hari sabtu, Syamil beserta keluarga inti, dan juga pejabat lingkungan setempat, berangkat dengan mobil, menuju kediaman calon istri Syamil. Ada banyak barang yang dibawa oleh Bu Umi sebagai oleh-oleh untuk calon mantu. Profil di kertas biodata itu sudah dibaca oleh Bu Umi dan beliau sangat senang, karena cocok dengan kriteria beliau. Syamil harus mendapatkan istri yang bisa diajak berjuang bersama, bukan yang sudah mapan dengan harta melimpah. Putranya sendiri nanti yang kesusahan. "Jadi, kalau
Merasa hatinya terus tidak tenang, maka Hani memutuskan untuk berkunjung ke rumah Hadi. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada kakak, ponakan, ataupun kakak iparnya. Ia baru saja mendapatkan sebuah keluarga utuh seperti kebanyakan orang di luar sana, sehingga ia tidak mau sampai ada hal buruk terjadi pada keluarganya. Ratih tengah memasak kolak pisang, saat ia mendengar suara pagar dibuka. Lekas wanita itu mematikan kompor, lalu berjalan ke depan untuk melihat siapa tamunya. "Assalamu'alaikum, Teh. ""Wa'alaykumussalam, Hani. Ya Allah, Teteh kirain siapa. Ayo, sini masuk! Teteh baru aja bikin kolak pisang, sebentar lagi matang. Ayo, duduk dulu!" Ratih begitu senang dengan kedatangan iparnya. Hani tidak langsung duduk, melainkan berjalan ke dapur menghampiri Ratih. "Teteh sehat kan?" tanya Hani tiba-tiba. Ratih yang tengah mengaduk kembali pancinya, nenoleh ke belakang sebentar, sambil mengangguk. "Teteh sehat, Hani. Pokoknya kalau masih tanggal satu sampai tanggal lima belas
Hani pulang ke kontrakan dengan hati senang dan juga tenang. Apalagi di tangannya membawa rantang berisi kue dan juga kolak pisang. Ratih juga membawakan beras dua kilo setengah untuk adik iparnya itu. Hani sampai meneteskan air mata karena terharu memiliki kakak ipar yang sangat baik, peduli, dan juga tidak pelit padanya. Padahal, ia sendiri belum pernah membawakan makanan mewah, hanya buah dan kue yang pernah ia bawakan untuk ipar dan keponakannya. Semua makanan ia salin ke dalam wadah. Hani bahkan menikmati sekali lagi kolak pisang buatan kakak iparnya karena rasanya memang sangatlah enak. Kontrakan sepi, ia pun libur berjualan hari ini. Tenaganya masih ingin ia salurkan. Maka, ia memutuskan untuk pergi mengunjungi pesantren tempat ia menitipkan Syam. Ia mandi dan berganti pakaian. Gamis hitam, dengan niqob dengan warna yang sama, sengaja ia pakai agar tidak ada yang mengenalinya. Gamis hitam, lengkap dengan cadar itu adalah pemberian Zahra, sebelum ia pindah kembali ke rumah ora