"Ummi, Ummi!" Laila berseru dengan panik. Ia setengah berlari ke kamar ummi-nya untuk memberitahukan bahwa jam mendapat telepon dari wanita yang mengaku ibu kandung Syam. Syamil pun terkejut melihat kepanikan Laila. Ia setengah berlari menyusul tetehnya ke kamar ummi-nya.Syam yang sejak tadi bergelayut pada Syamil, memilih tidak ikut berlari bersama Syamil, karena ia sibuk dengan kertas label kosong yang ia tempelkan di tangan, kaki, dan juga wajahnya. "Ada apa, Laila? Kamu ngagetin Ummi aja," tanya Bu Umi yang tengah mengaji. Wanita itu langsung menaruh mushaf kecilnya di atas bantal. "Mi, barusan ada wanita yang menelepon. Ia mengatakan bahwa ia adalah ibu dari Syam dan berniat untuk mengambil Syam." Laila begitu panik, hingga ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. "Apa?" Syamil dan Bu Umi memekik bersamaan. "Aduh, Teh, jangan panik gitu. Bisa saja orang yang hendak menipu kita. Orang yang ngaku-ngaku orang tua Syam, padahal bukan." Syamil mencoba menenangkan Laila. Wanita i
Memikirkan perkataan Raka tadi, Hani menjadi tidak bisa tidur. Apa yang dikatakan Raka benar. Ia tidak bisa datang begitu saja, lalu menjemput Syam. Pasti anaknya kaget dan menangis histeris.. Bisa pula Syam menjadi sakit karena tertekan dipisahkan dari orang tuanya. Haruskah ia datang ke sana untuk melakukan pendekatan dengan Syam? Tapi apa yang harus ia lakukan? Tok! Tok! Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Hani. Wanita itu memakai cepat kerudungnya, lalu berjalan tergesa untuk melihat siapa tamunya. Kosan sedang sepi dan ia tidak boleh sembarangan membukakan pintu untuk orang yang tidak ia kenal. Ya ampun, Bu Happy. Batin Hani saat mengenal tamu tersebut adalah sang Pemilik rumah. Lekas Hani membukakan pintu, kemudian tersenyum ramah pada wanita itu. "Ya Allah, Bu Happy, maafin lama ya. Mari, Bu, silakan masuk." Hani menyambut pemilik rumah dengan dengan senyuman ramah. "Yang lain ke mana?" wanita dewasa bernama Happy itu melihat ke sekeliling rumah. Mengecek satu per sat
Hani menceritakan rencananya untuk mencari tempat tinggal di dekat pesantren pada teman kontrakannya, tetapi yang lainnya tidak setuju karena letaknya sangat jauh dari tempat mereka bekerja. Hani tidak punya pilihan lain, selain berpencar sendiri, sedangkan yang lainnya mencari tempat yang lain. Keesokan harinya, Hani kembali mengunjungi daerah pesantren. Ia menaiki ojek dari depan jalan besar itu, sampai ke dalam. Saat melewati pintu gerbang pesantren, Hani mendengar suara ceramah yang cukup nyaring dari pengeras suara. "Kalau anak yang punya pesantenau nikah, pasti pengajian ya tiga hari berturut-turut," komentar tukang ojek pangkalan itu. "Oh, iya, Bang. Mau ada pesta ya?" balas Hani menanggapi "Pestanya gak di sini, Mbak, tapi di tempat perempuan. Di sini mungkin nanti ngunduh mantu," jawab ojek itu dengan semangat. "Ini kita mau ke rumah Pak RT'kan?" tanya pengemudi ojek itu lagi pada Hani. "Iya, Bang, saya mau cari kontrakan dekat pesantren.""Oh, kalau kontrakan mah, ada,
"Apa Mas Raka yakin?""Iya Hani, masa saya bohong? Itu pesantren calon suami Zahra. Nanti, setelah Zahra resmi menikah, mungkin kamu bisa membujuk Zahra untuk merayu keluarga suaminya nanti untuk mengembalikan Syam sama kamu. Tapi, kamu jangan bilang-bilang dulu sama Zahra ya. Dia lagi fokus sama pernikahan minggu depan. Kamu datangkan? Temani saya ya?" "Iya, Mas, saya pasti datang. Bisa disentil Zahra sampe Aceh kalau saya gak datang, he he he... ya ampun, saya senang banget dengar kabar ini, Mas. Allah benar-benar memudahkan urusan saya.""Iya, Hani, memang sudah jalan ceritanya begini. Ya sudah, kamu pasti lagi beres-beres. Saya juga mau pulang. Ini masih di kantor. ""Iya, Mas, terima kasih banyak ya. Hati-hati di jalan. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam."Hani tak sabar menunggu esok. Mumpung langit masih cukup terang, meskipun satu jam lagi masuk waktu magrib. Hani membereskan semua barang yang bisa ia bereskan. Rasa khawatir akan Syam yang susah ia bawa dalam pelukannya ke
Demi untuk memastikan bahwa pandangannya tidak salah, Didin sengaja berbelok ke kanan begitu keluar gerbang. Ia menekan gas pelan untuk memastikan wajah wanita yang ia tebak adalah Hani. Bukan hanya mirip, tetapi wanita itu adalah Hani. Wanita itu benar-benar menutup auratnya seperti yang pernah Syamil katakan. Wajahnya juga nampak beda, lebih manis dan teduh. Jika hanya melihat sekilas, pastilah orang tidak akan mengenalnya sebagai Hani yang dulu. Tunggu! Haruskah ia memberitahu Syamil? Bagaimana kalau tiba-tiba Syamil membatalkan pernikahannya gara-gara bertemu Hani? Bisa diboikot oleh ibu dan ayah mertua jika dia berani nekat memberitahu Syamil. Namun, apakah Hani tahu bahwa ia tinggal di depan rumah Syamil? Mereka bertetangga kembali setelah sekian tahun berpisah. Aduh, kasih tahu gak ya? Didin dilema. Satu sisi ia kasihan dengan Syamil, tetapi satu sisi lagi, ia bisa mempertaruhkan urusan orang hanya jika sampai Syamil membatalkan pernikahannya dengan Zahra. Begitu menemui lah
Uhuk! Uhuk! "Maaf, Pak, sepertinya... uhuk! Bapak salah orang." Hani pura-pura batuk. Ia tidak begitu pasti dengan ingatannya tentang wajah pria paruh baya di dekatnya ini. "Ah, iya, mungkin saya salah. Soalnya yang mirip kamu dari pakaian saja sudah beda. Selamat bergabung di RT lima ya. Sesama warga harus saling tolong-menolong. Mari, saya permisi." Abah Haji pun pergi dari rumah Pak RT. Sepeninggal beliau, Hani merasa tidak karuan pada hatinya. Jika Syamil yang disebutkan adalah Syamil yang sama dengan yang ia kenal di Bandung, maka Syamil akan menikah dan sialnya, ia malah bertetangga lagi dengan Syamil. Berarti putranya.... "Mbak, silakan saya mau lihat KTP-nya!" Tegur Pak RT membutarkan lamunan Hani. "Ah, i-iya, Pak." Dengan tangan gemetar, Hani mengeluarkan foto kopi KTP berikut KTP asli dari dalam dompet. Ia mengulurkannya pada Pak RT. "Mbak baik-baik saja?" tanya pria dewasa itu bingung melihat Hani yang gemetaran. "I-iya, Pak, saya baik-baik saja. Mungkin ini karena ba
Saya senang kalau kalian makin penasaran :)Selamat membaca "Bang, sejak awal Abah nikah sama Teh Nela saja saya udah gak setuju'kan? Tapi apalah saya yang hanya anak kecil, gak ngerti urusan orang dewasa. Lagian saat itu, saya masih dibikin rempong sama emak-emak kurang kasih sayang, ha ha ha ...." Syamil terbahak. Jika mengingat saat ia masih bersama Hani, rasanya sangat lucu dan satu-satunya wanita yang pernah menciumnya adalah Hani. Dicium pipinya saja, ia sampai sakit thypes, bagaimana kalau cium yang lain?Astaghfirulloh, Sya!"Duh, kalau lagi inget Hani, ampe lupa ada orang tua tampan di depan mata," sindir Didin sambil mencebik."Ngapah harus pakai kata tampan lagi setelah kata tua? Apa gak cukup dibilang tampan sama Teh Laila? Butuh pengakuan dari yang lain juga?" Syamil begitu puas setelH meledek Didin. Keduanya tertawa hingga suara tawanya terdengar sampai ke luar. "Berarti kamu gak mau poligami?" tanya Didin lagi."Ya ampun, yang ini aja belom dimulai, udah nanya poligam
"Eh, udah balik lagi aja. Emangnya gak jadi olah raga? Sayan kirain bakalan nyampe Gelora Bung Karno, " tanya Ibnu di depan pagar pesantren sambil tertawa geli. "Dih, emangnya kita atlet?" Laila mencebik. Ibnu kembali tertawa setelah mendengar komentar Laila yang masih terus menarik suaminya. Pasangan beda usia cukup jauh itu memang sering menjadi pusat perhatian, baik di kalangan tetangga, maupun warga pesantren. Banyak yang mengira, bahwa Laila adalah anak dari Didin, karena tubuhnya yang berubah mungil setelah melahirkan. Wajah Laila yang juga baby face, banyak mengecoh orang yang tidak begitu mengenalnya. "Gak jadi, bahaya kalau olah raga di lingkungan yang banyak jandanya," jawab Laila yang sudah menarik suaminya untuk segera masuk. Didin hanya bisa pasrah, ternyata seperti ini istrinya kalau lagi cemburu. "Banyak janda? Sebelah mana, Mbak? Kasih tahu dong! Woy, Mbak!" Teriak Ibnu penasaran. Ia menutup pagar dengan cepat, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menerka-nerka