“Zareen? Perasaan enggak ada nama lo di list undangan.”Tubuhku langsung kaku, tegang bak batu setelah mendengar ucapan Nadia—mantan sekretaris OSIS—wanita dengan dress biru selutut itu mengernyit. Tatapan tajamnya seolah sedang memperingatiku yang tidak tahu dirinya berada di tengah mereka tanpa undangan.“Atau gue yang salah ingat? Lo pembantu dari salah satu rumah teman SMA kita, ya? Karena hampir semua rumah teman sekelas kita dulu gue ingat, kok. Jadi kecil banget kemungkinan kalo gue salah masuk rumah sampe salah kasih undangan.”Jemariku makin terpilin sebelum kugenggam erat dan berakhir mengumbar senyum kepada lima wanita yang menatapku dengan sorot menilai. Walau entah bagaimana bentuk senyumku kali ini.“Aku ke sini cuman datang nemenin seseorang, kok.” Ck, alasan apa itu, Reen?“Oh, ya? Terus mana seseorang yang kamu maksud itu?” Tatapan sinis Adinda yang dari artikel yang pernah lewat di Intagram perempuan yang kabarnya telah menjadi istri seorang Gubernur itu sedikitnya m
18+“Kamu sepertinya masih bersih. Iyakah?” Derai tawanya membuatku jijik sekaligus membenci diriku sendiri yang hanya pasrah di bawah kukungannya.Sudah coba menghajar wajah kurang ajar itu, tapi kepalan tanganku hanya berhasil meraih udara. Tubuhku menggigil menahan gejolak aneh sekaligus rasa ingin membunuh lelaki di atasku ini.Ya Rabb bila tidak ada yang datang membantu, setidaknya cabut nyawaku sekarang juga. Sungguh tidak rida seujung kuku pun disentuh oleh lelaki bejat ini.Mataku memanas, berusaha memberontak walau berakhir menggeliat. Kucoba berteriak pun percuma karena yang keluar hanya racauan.“Saya mohon ... jangan.” Tatapku memelas mengharap ibanya.Laki-laki berkulit putih itu malah terkekeh pelan. Air mata yang mengenang tumpah ruah merasakan long dress berwarna merah marun perlahan diangkat ke atas. Mataku terpejam rapat. Kupasrahkan semua pada-Mu Yang Maha Mu'min.“Perutmu kok, melendung?” Lelaki itu diam sejenak, tanfan kasarnya menyentuh permukaan perut membuatku
“Dia model di Malik Agensi. Udah dua tahunan kerja.” Pemaparam Zein membuatku termangu. Pantas saja Nadia sampai sekacau itu bahkan sampai mengamuk ke rumah. Perbuatannya malam itu padaku dibalas, Mas Zaid tidak tanggung-tanggung. “Sudah, Mbak enggak perlu pikirin itu orang. Kesalahannya jauh lebih besar dari apa yang dia dapat sekarang. Aku nyaris kehilangan ponakanku karena minuman beralkohol dan dicampur obat perangsang sialan itu! Mbak, juga hampir hancur di tangan seorang pria biadab, jadi buat kali ini, tolong jangan pikirin orang lain dulu. Terlebih itu orang yang udah celakaian, Mbak!” Zein mengatakannya dengan menggebu-gebu. Ada api membara di matanya yang hitam pekat. Namun, tatapan tajam itu berubah lembut kala menatapku dan perut yang tersembunyi di balik gamis dan jilbab. “Oh, ya, Mbak. Soal kejadian waktu itu, aku udah nutupin soal kehamilan, Mbak dari semua orang termasuk, mas Zaid. Untungnya, perut, Mbak enggak kelihatan sama dia waktu itu karena terhalang punggun
Usapan dalam tidur membuatku benar-benar risi sampai akhirnya mengerang jengkel. Saat mata terbuka, rasa kesal yang menumpuk di ubun-ubun justru meluap habis melihat si pelaku.Lelaki dengan kaos hitamnya yang tengah setengah berbaring dengan siku menumpu pada kasur tengah menatap dalam-dalam. Senyumnya tersungging tipis yang langsung menyentakku agar sadar.“Tuan Zaid?” ucapku spontan yang seketika itu juga mendapat sentilan di dahi.Aku meringis, merengut jengkel menatapnya yang sudah beranjak duduk sembari meraih nampan di meja. Baru teringat makanan itu diantarkan Zein tadi ketika aku mual dan memilih pergi ke kamar. Telanjur kehilangan selera makan, aku lebih memilih tidur ketimbang mengisi perut yang keroncongan, tetapi mual hanya melihat hidangan yang mungkin saja sudah dingin.Pikir saja, ini sudah jam berapa dari terakhir Zein mengantarnya. Jam 17.00 WIB.“Saya baru panaskan. Mari, biar saya suapi.”Satu alisku terangkat, tapi tak urung menurut ketika dia menarik lenganku pel
Aku masih terdiam menatap gerimis dari balik jendela ruang tengah. Jemari menyentuh kaca yang terasa dingin. Masih terlalu pagi ketika hujan mulai menderas membuatku membentuk pola-pola abstrak di sana.“Kasihan, kurang kerjaan banget, mbakku!” Suara barinton dari belakang menyentakku berbalik.Melihat Zein dengan almamater kuning tengah berdiri sembari menyomot pisang goreng membuat alisku mengernyit.“Kamu bolos apa gimana?” Anak ini suka sekali muncul di rumah abangnya macam hantu, pulang pun kadang langsung menghilang. Tahu-tahunya kirim pesan sudah sampai di rumah mamanya.Pemuda itu menyugar rambut yang agak basah—mungkin terguyur hujan di luar—setelah memasukkan potongan terakhir pisang goreng.“Dosenku mendadak enggak masuk.”Aku memgekorinya dari belakang ketika pemuda yang ternyata tinggi banget itu—kenapa aku baru sadar Zein setinggi itu coba, sampai aku hanya sampai di bahunya—berjalan menuju dapur.“Kok, bisa?”Zein mengangkat bahunya sembari duduk di meja makan dan kemba
“Coba ke toko yang itu, yuk!” Zein pasrah, ya, emang harus pasrah. Dari tadi lengan bajunya kutarik sana-sini. Mulai dari tokoh sepatu, pakaian, sampai kini jam tangan sudah kami masuki. Namun, belum ada sesuatu yang benar-benar bisa menarik perhatianku. Aku pikir, Pak Zaid terlalu berduit buat beli semua barang-barang itu. Jadi bingung sendiri aku membelikan kado apa kira-kira yang bagus untuknya. “Mbak, sebenernya nyari apaan, sih?!” Suara ketus dari pemuda si sebelahku kubalas delikan balik. “Diem aja kenapa, sih?! Kok, bawal banget!” semprotku jengkel juga lama-lama. “Ya, aku capek loh, Mbak doseret-seret dari tadi!” keluhnya yang tiba-tiba bikin telinga panas. “Oh, jadi enggak ikhlas bantuin mbak? Ya, udah gih, pulang aja. Mbak bisa naik taksi kok, pulangnya!” suruhku sambil lalu memasuki tokoh tas. Barangkali bisa menemukan sesuatu buat, Pak Zaid. Tas pria atau dompet, mungkin? “Kalo emang enggak niat, ngapain sih, pake nawarin diri segala.” Aku masih mendumel kecil ketika
Aku dibuat tersentak ketika tiba-tiba Eyang menarik lengan dan menyeretku ke pintu utama. Jantung bertalu memeluk perut dengan satu tanganku merasakan amarah Eyang yang tidak main-main. Wanita itu serius mengusir. Eyang menghempaskan genggamannya hingga aku terhuyung nyaris menabrak kusen pintu. Sebelum apa yang ada di kepalaku itu terjadi, sebuah tangan lebih dulu menarik lengan hingga aku berakhir di dada seseorang. “Mas,” bisikku ketika mendongak, wajah tegas Pak Zaid yang terlihat. Dada lelaki itu terdengar sama bergemuruhnya denganku. Jantung yang bertalu beserta dada yang naik turun menandakan pria itu sedang dikuasai amarah. “Zareen, ART Zaid, Eyang, Ma! Zaid yang gaji dia, jadi aku yang putuskan harus memecat atau mempekerjakannya!” Masih dengan lengan digenggam, Pak Zaid menarikku pelan ke balik punggungnya. Seolah menandakan dia sedang pasang badan. Untuk adegan satu ini, bisakah aku bahagia sejenak? Di balik punggung itu, aku tersenyum tipis menatap bahu lebarnya. “E
“Itu makanannya udah ditata di meja belum? Minuman yang di sudut sana, kok, masih sedikit, enggak imbang sama meja yang sana?”Bu Mareta dengan kuku diberi kutek warna ungu mulai lagi menunjuk sana-sini. Memastikan semuanya sempurna. Berjalan sesuai ekspetasi sang Nyonya.Sejak pagi rumah sudah heboh. Ketenangan yang terasa tadi pagi usai setelah sarapan dan Pak Zaidan berangkat ke kantor. Tiga puluh menit setelahnya, orang dari jasa Dekorasi datang ke rumah. Menyulap rumah besar ini bak hotel bintang lima. Mulai dari pelataran, halaman belakang, hingga di ruang tamu dan teras pun tak luput dari tangan-tangan ahli itu.“Kamu!” Aku terlonjak, kaget luar biasa mendengar suara teriakan Ibu Mareta seolah ingin memecahkan gendang tingaku.Wajah wanita dengan pirang baru itu—warna blonde terang—merengut garang. Bibir semerah anggur yang nyatanya terlihat macam bibir vampir, mulai mengamuk. Aku sanksi kalau setelah ini, tidak kena gigit sama Ibu Mareta. Atau dimakan?“Malah bengong!" Eh?“