POV AntoSabar ... Mungkin memiliki batas. Aku telah bersabar atas semua takdir yang menimpaku, menerima Marni menjadi istriku dan memberikan nafkah selayaknya suami pada istrinya. Aku juga telah berusaha mendidiknya semampuku, memikirkan kemajuan untuknya agar dia terlihat sama seperti orang kebanyakan. Agar dia tak terlihat aneh, agar dia terlihat terhormat. Agar dia bisa hidup normal dan tak diolok-olok orang lain.Sekeras apa pun kuberusaha, terkadang Marni kembali pada dirinya sendiri. Contohnya tadi malam. Bagiku apa yang dilakukan Marni sangat fatal, tak pernah aku merasa sangat malu melebihi rasa malu dengan perbuatan Marni kali ini.Dia bahkan mabuk di awal pesta, menumpahkan makanan yang tertata sehingga berserakan di rumput taman. Yang lebih memalukan lagi, dia mengotori baju anak pemilik pesta yang malam itu telah berdandan sangat cantik. Diakhiri dengan muntah di sembarang tempat. Selain membuat onar, dia juga menjadi tontonan gratis yang kelakuannya diabadikan beberapa t
POV Anto "Apa?" Ini sebuah informasi besar, anak Pak Gunawan adalah mantannya Dodi, aku tak tau dia sebegitu mempesona bagi perempuan, pantas saja anak gadis Pak Gunawan tadi malam tak lagi berkutik."Sayangnya, kami hanya berhasil menjalani hubungan selama satu bulan, seperti yang pernah kukatakan pada Abang, aku bosan dengan selera orang kebanyakan." Doni melirikku dengan pandangan yang sulit kuartikan."Aku tak percaya kau menyukai Marni.""Dan aku lebih tak percaya lagi, saat Abang membiarkannya tanpa berniat menolong.""Kekacauan itu karena dirinya.""Bukan, tapi karena Abang. Abang yang paling bertanggung jawab karena membawanya.""Don, kau tak mengerti.""Aku mengerti, kalau pun yang sial tadi malam itu bukanlah Marni, aku tetap akan menolongnya. Aku hanya berpikir sederhana, manusia berhak diperlakukan sama, walaupun dia hanya wanita yang aneh, tapi dia juga punya hati dan perasaan. Yang kutahu, sepanjang perjalanan dari rumahku ke rumahmu, dia menangis. Dia terluka dan kecew
POV AntoSebelum berangkat ke kampung Marni, kubeli Paracetamol dan vitamin di toko obat terlebih dahulu. Kerena di sana akses untuk ke dokter dan puskesmas cukup jauh. Aku lebih memilih cara instan dari pada membawanya ke rumah sakit.Kadang heran dengan diriku yang ini, bukankah aku sudah bertekad tak usah saja pedulikan Marni, akan tetapi ada kecemasan saat mengetahui wanita pembuat kekacauan itu tak baik-baik saja.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, sebisa mungkin sebelum Maghrib aku sudah sampai di sana.Perhitungan waktu yang amat tepat, tepat saat azan Maghrib berkumandang dari Mushala yang dekat dengan rumah Marni, aku sampai di halaman rumah yang memiliki cat bewarna cokelat itu.Kulihat adik Marni yang laki-laki sedang bekerja membelah kelapa di pekarangan, airnya ditampung di sebuah wadah."Bang Anto," sapanya hormat, aku tak ingat siapa nama adik Marni yang ini, kalau tak salah dia adik ke empat Marni."Apa kabar?""Saya baik, ayo, masuk, Bang!" katanya ramah. Leni
Sebenarnya aku belum makan dari tadi siang, akan tetapi di rumah Marni, aku tak bisa makan sembarangan. Jika Marni yang memasak, baru bisa kupercaya, jika Leni dan yang lain, belum.Rumah ini masih dalam kategori berantakan walaupun tidak separah sewaktu aku berkunjung dulu. Bahkan di kamar mandi tadi, kulihat sampah bekas bungkus sampo dibiarkan tergeletak begitu saja di atas lantai. Bermalam di rumah Marni, juga menjadi trauma tersendiri.Mataku menangkap sekeranjang buah beraneka jenis dan masih utuh di atas meja. Timbul rasa ingin tau, siapa yang membawanya? Karena kutahu betul, bahwa kemasan seperti itu hanya ada di toko buah modren."Ada yang datang sebelum aku ke sini?" tanyaku pada Leni, adik Marni itu tengah duduk lesehan di samping adik laki-lakinya yang mengerjakan PR."Iya, ada.""Siapa?" Aku sangat penasaran. "Bang Ahmad, teman Kak Marni dulu."Kurasakan rasa tak nyaman di hatiku. Ahmad, aku ingat betul siapa dia. Walaupun sekali berjumpa, aku tak melupakan anak itu sedi
POV Anto"Terimakasih."Ucapan lembut itu menyadarkanku dari pemikiran yang berkelana. Aku merasa kehilangan saat Marni mengurai pelukan dan langsung memberi jarak di antara kami. Lantas, apa yang aku harapkan? Apakah sebuah kemesraan singkat dari Marni di pagi hari? Rasanya Marni tak semenarik itu, tapi kenapa aku malah kecewa?"Bagaimana keadaanmu?" Kurasakan suara agak tersendat di tenggorokan. Yang kulihat, dia terlihat sehat dan bersemangat, seolah tak melewati masa demam yang amat parah."Aku sudah merasa lebih baik. Oh ya, Mas sarapan dulu, Leni sudah buatkan nasi goreng."Aku terdiam, jangan tanya betapa laparnya perutku di pagi ini, tidak makan malam dan menahan diri untuk tak makan apa pun di rumah ini amat menyiksa."Siapa yang memasak?" Aku memastikan pendengaranku."Leni." Marni melipat selimut yang kami gunakan semalam. Ah, tidur dengan Marni yang bergelung di pelukanku ternyata sangat nyaman. Sebentar, apa yang aku pikirkan? Sial, semua gara-gara wangi lavender itu."Ak
"Pak Wirman?" sapa Marni. "Masuk, Pak."Pria itu mengangguk padaku, kubalas dengan senyum tipis."Apa kabar, Pak? Lama tak berjumpa.""Iya, bapak ke sini karena tau dari Leni bahwa kau pulang ke rumah. Bagaimana kabarmu? Kau sehat?""Alhamdulillah, saya sehat, Pak. Kemaren sempat demam, tapi sekarang sudah sembuh.""Alhamdulillah, kalau begitu. Bapak ke sini, mau bercerita sama kamu, sebagai anak yang paling tua, tentu kau harus memantau kondisi kebun yang Bapak jaga, tak enak kalau dipercayakan begitu saja.""Iya, Pak. Jadi bagaimana?""Kebun yang di bagian Jurong, harus dibang, masa usia pohonnya sudah lebih dua puluh lima tahun, jadi sudah tak bisa berbuah lagi. Jadi bagaimana bagusnya?""Kalau begitu, tebang saja, Pak.""Iya, tapi Bapak sarankan, pergilah ke kebun sesekali, supaya kau juga tau, mana kebun ayahmu. Bapak sudah tua, takutnya di kemudian hari kalian kebingunan. Karena tak tak mana kebun orang tuamu, mana kebun orang lain, kalian bisa ditipu."Marni mengangguk, sedangk
Pov Anto"Bagaimana keadaannya?" Ibu baru saja datang, wajah amat cemas juga terlihat di wajah wanita yang melahirkanku itu."Dia masih di ruang operasi." Aku tertunduk. Tak menunggu lama, Marni dipindahkan ke ruang operasi, aku bahkan tak sempat mengabari adik-adik Marni. "Apa yang terjadi?" Ibu menatapku serius, sangat sukar untuk menceritakan pengalaman buruk itu pada ibu, saat kutelpon tadi, aku tak menjelaskan apa-apa. Aku hanya mengatakan Marni kecelakaan dan masuk rumah sakit."Semua terjadi begitu saja, dia mendorongku agar selamat dari timpaan pohon itu, tapi malah mengenai dirinya sendiri." Masih terbayang olehku bagaimana tak berdayanya Marni saat tersungkur, belum lagi darah yang keluar amat banyak.Ibu menghela nafas berat."Dia terlalu ceroboh." Wajah ibu sendu, ibu adalah orang yang paling peduli pada Marni selama ini, walaupun di awal pernikahan ibu tak menyukai Marni, namun dia berusaha menerimanya. Berbeda denganku. Yang masih menganggap Marni bagaikan orang asing.
Selama ini, aku tak suka Marni berada terlalu dekat denganku di tempat umum. Aku merasa tak percaya diri jika membawanya, aku lebih suka melakukan semua kegiatan sendiri tanpa melibatkan Marni. Pergi ke kafe sendiri, malam mingguan sendiri, bahkan nonton ke bioskop sendiri. Aku bahkan tak tertarik mengenalkan Marni pada siapapun.Aku tersenyum miris, jika boleh memilih, sekarang aku lebih memilih diganggu olehnya, memilih untuk mendengar ocehannya yang sering tak nyambung, dari pada melihat dia menutup matanya seperti itu.Mulut berisiknya terkatup, matanya yang biasa menatap bodoh terpejam, dia bahkan tak bisa menggerakkan jarinya yang kecil untuk sekadar memberi harapan pada kami, bahwa dia akan kembali sadar seperti sedia kala.Sesampai di rumah, kubuka pintu. Hening, tak ada cengiran bodoh Marni yang biasa membukakan pintu dan setelah itu menawarkan kopi. Tak ada langkah tergesa-gesanya yang kadang sering menabrak benda yang dilewatinya.Rumah amat rapi, bersih, persis seperti yan