Ana langsung menatap sang ibu. “Tentu saja tidak, Bu,” katanya sedikit terlalu keras. “Ah maaf maksud saya, menjadi artis adalah impian saya sejak dulu, jadi tidak mungkin saya tinggalkan begitu saja.”
“Tapi kamu tidak masalah bukan kalau nanti hamil, yah.... ibu hanya bertanya karena takut kamu seperti Bella yang lebih mengutamakan karirnya.”“Ibu, itu bukan salah Bella, wajar saja jika dia belum ingin memiliki anak, usianya masih muda.”“Jangan berteriak pada ibumu, Raf, kamu lupa siapa orang yang melahirkanmu,” tegur sang ayah terdengar sangat tidak suka.Raffael menyugar rambutnya kasar, dia tidak sadar telah membentak ibunya, tapi dia dia juga tak ingin ada orang yang menyalahkan Bella, dia sangat memahami karir Bella yang memang sedang ada di puncak dan juga istrinya itu memang berbakat.“Maafkan aku ibu, aku tidak bermaksud kurang ajar, hanya saja aku tidak suka hal itu diungkit, Bella punya mimpi unAna berdiri mematung di tempatnya, dia sama sekali tak menyangka, Raffael, laki-laki pertama yang telah mencuri hatinya dan juga pahlawan untuknya, bisa mengatakan hal seperti itu. Apa itu hanya gertakan saja? ataukah memang Raffael terbiasa melakukan hal itu? Oh.. Astaga betapa sakit hati Ana, bukan karena kata-kata Raffael, tapi lebih kepada kecewa, karena hatinya yang tetap saja menginginkan laki-laki itu bahkan setelah tindakan kasar yang dia lakukan. Pernikahannya memang bukan pernikahan impian bagi siapapun, menjadi istri kedua karena ingin menyelamatkan karir dan kehidupannya tidak ada dalam angan Ana selama ini, tapi dia berusaha menerima takdirnya dengan ikhlas, apalagi karena sebelumnya Raffael memintanya untuk mengandung anaknya, Ana pikir ini adalah jalan Tuhan untuk menyatukan mereka. Sebagai istri kedua Ana sadar diri, dia bukanlah wanita yang dicinta, jadi dia juga tak terlalu berharap diperlakukan seperti p
Ana memejamkan matanya dari semua orang yang ada di dunia ini kenapa harus saat ini dia bertemu dengan istri pertama suaminya ini. Kata-kata Bella yang tajam memang sudah menjadi makanannya setiap hari, tapi tetap saja dia selalu merasa sakit hati, dulu dia memang miskin, tapi belum pernah ada orang yang terang-terangan menghinanya seperti ini. Ana memandang Bella yang sudah tersenyum sinis padanya, senyum yang akir-akhir ini selalu dilihatnya ketika berada di rumah, berbeda sekali dengan senyum manis bak gadis polos yang sering ditampilkan Bella di layar kaca. “Aku hanya sedang ada perlu dengan Raffael?” “Tapi sepertinya Raffael tidak memerlukanmu?” “Aku permisi kalau begitu,” kata Ana tak ingin berlama-lam di sini. “Ah, sebentar, apa kamu tidak merindukan kakak madumu ini selama aku tidak ada di rumah,” kata Bella dengan nada mengejek. Ana terdiam tak tahu harus berkata apa, te
Raffael bukan orang yang picik.Sejak kecil sang ayah selalu menanamkan rasa belas kasih terhadap sesama, tidak membeda-bedaan manusia dari harta kekayaannya saja, tapi bersama Ana ajaran itu seolah menguap begitu saja.Raffael kebingungan. Dia membenci Ana, dia selalu mengangap Ana adalah orang yang merusak kebahagiaannya.Tapi tubuhnya tak bisa berbohong, dia menyukai wangi tubuh Ana, juga saat kulit mereka bersentuhan membuat gelenyar tersendiri yang bahkan tak dia dapatkan saat bersama Bella, wanita yang dia cintai. “Lama-lama aku bisa gila,” gumamnya sambil meraup wajahnya kasar dengan dua telapak tangannya. Dengan langkah lebar, Raffael membuka pintu ruangannya dengan kasar, mengagetkan sekretsrisnya yang sedang tekun memelototi laptop di mejanya. “Aku ingin pergi sebentar.” “Tapi, Pak satu jam lagi akan ada meeting-“ “Aku akan kembali sebelum satu jam,” potong Raffael tak sabar. Saat ini otaknya sama sekali tak bisa diajak untuk berpikir jernih. Ana, wanita itu telah meng
Di tempat parkir, Adam menunggu dengan perasaan tak tenang, sudah setengah jam sejak dia terakhir kali menghubungi Ana tadi, dia bilang akan segera keluar tapi batang hidungnya tak juga terlihat. “Apa dia naik tangga untuk turun dari kantor Raffael, kenapa lama sekali?” gumamnya pelan. Adam menatap ponselnya dan lagi-lagi nomer tak dikenal menghubunginya, dengan ragu dia mengangkat panggilan itu. “Halo ini siapa?” sapanya. “Kamu tidak menghubungiku jadi aku yang berusaha menghubungimu, kamu lupa kalau aku pernah memberikan kartu namaku di pagelaran tempo hari.” Pagelaran? Astaga dia ingat sekarang ada satu orang memang yang memberinya kartu nama, tapi Adam segera memutuskan tak akan pernah menghubunginya. “Aku Edrick, apa kamu sudah ingat sekarang.” Tentu saja Adam sudah ingat tanpa laki-laki itu menyebutkan namanya, dan dia tahu sekali siapa Edrick, anak seorang pengusaha prop
Ana sudah tak tahan lagi melihat semua ini, tenggorokannya terasa sangat panas, air matanya sudah mengalir di pipinya dengan deras. Ana bahkan sudah tak peduli lagi dengan sekretaris Raffael yang bertanya apa yang terjadi, Dadanya terasa sangat sesak, yang dia inginkan adalah segera pergi dari sini. Kakinya berlari dengan tertatih, berkali-kali dia menarik napas dalam-dalam tapi tetap saja sesak itu tak juga hilang, seharusnya dia mendengarkan kata-kata Adam untuk tidka datang kemari, seharusnya dia berusaha lebih keras lagi pasti di luar sana masih ada rizki untuknya. Andai saja... Tanpa mempedulikan kanan kiri lagi Ana melangkah cepat, dia harus menemui Adam sekarang, paling tidka dia butuh orang untuk menceritakan rasa yang ada di hatinya dan Adam adalah orang yang tepat untuk itu. “Ana akhirnya kamu keluar juga aku baru saja ak
Bella sangat tidak suka dengan kata-kata Raffael, sedikit banyak Ana sudah menggeser kedudukannya sebagai istri Raffael dan juga menantu keluarga Alexander, tangannya tanpa sadar mengepal, Ini tidak sesuai dengan rencananya dan Bella tidak suka itu, tapi lalu dia sadar dia tidak akan mendapat apapun dengan kemarahan. “Benar aku juga sebenarnya tak tega membalas semua perbuatan Ana, tapi wanita itu terlalu licik, hatiku sangat sakit saat tahu dia menjebakmu dan membuat kalian harus menikah, sekarang di mata hukum dan semua orang dia dalah istrimu, sedangkan aku...” Bella menggelang dengan putus asa. “Sayang jangan katakan itu, bagiku kamu adalah segalanya, tidak ada wanita lain yang aku cintai selain dirimu,” kata Raffael meyakinkan. “Kamu yakin, Raf, Ana sangat cantik, orang tuamu juga sangat menyukainya, apalagi kemungkinan besar dia akan segera memberimu anak, aku hanya takut semua tak aka
“Ana! apa ini yang selalu kamu lakukan dengan managermu.” Ana spontan langsung melepaskan pelukan Adam dan memandang ibu mertuanya yang berdiri di luar dengan wajah luar biasa kecewa. Astaga! Dia tak sengaja menyakiti hati mertuanya yang baik hati itu. “Ibu... tidak bu, aku hanya-“ Ana kesulitan untuk mengatakan maksudnya, dia bukan orang yang suka mengadu, dan mengadukan perbuatan Raffael pada ibunya bisa saja menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. “Ibu benar-benar tak menyangka,” kata sang ibu dengan pahit, dia menggeleng dengan putus asa dan melangkah menjauhi mobil Adam. Cepat-cepat Ana membuka pintu mobil Adam, dia bahkan tak ingat lagi untuk memakai alas kakinya, semua berjalan membuatnya terkejut dan tak sempat berpikir sama sekali. “Ibu, tunggu... aku bisa jelaskan,” kata Ana dengan air mata berlinang. Sandra Alexander satu-satunya orang yang memperlakukannya dengan sangat baik di keluarga Raffael, ayah Raffael memang menerimanya dengan baik tapi tetap saja ada jarak
Ana tersenyum miris, jangankan makan, diberi senyuman saja tidak. Mobil yang dikendarai Adam memasuki sebuah restoran, Adam bergegas turun dan memesan sebuah tempat yang privasi untuk mereka dna memberi kesempatan pada Ana untuk masuk ke dalam toilet restoran tanpa perlu ada pertanyaan lebih lanjut, pekerjaannya sebagai manager tentu membuatnya lihai melakukan hal ini. Aku seperti pencuri, batin Ana pahit saat dia berhasil sampai ke toilet, untung saja ada tulisan besar yang terpasang jadi tak perlu ada drama tersasar segala. “Kamu terlihat lebih segar, makanlah dulu, aku sudah pesankan makanan kesukaanmu,” kata Adam saat Ana sudah kembali dari toilet. “Terima kasih, Mas, maaf aku banyak merepotkanmu.” Adam menatap Ana dengan pandangan dalam. “Seharusnya aku yang minta maaf, aku telah membuat ibu mertuamu salah paham.” “Itu tidak benar, Mas Adam hanya berusaha untuk menenangkan aku saja, ibu Ra