Memanfaatkan waktu saat Bella ke kamar mandi dini hari itu, Raffael keluar dari kamar mereka dan berjalan menuju kamar Ana.
Bukan karena takut dengan Bella, tapi lebih karena Raffael ingin menghindari drama yang tidak perlu, dia hanya ingin menengok Ana, melihat keadaan wanita yang sedang mengandung darah dagingnya itu, meski dia tahu jam segini Ana pasti sudah tertidur lelap.Hal yang tak terduga membuat Raffael hanya bisa mematung di sisi ranjang Ana, istrinya itu memang sudah tertidur dengan lelapnya dan sang ibu juga ada di sana menemani Ana.Sesayang itukah sang ibu dengan Ana, meski wanita itu adalah orang yang baru saja masuk dalam kehidupan mereka. Hubungan sang ibu dengan Bella memang tidak bisa dibilang tak baik, tapi juga bukan hubungan yang sangat hangat, kesibukan Bella untuk belajar akting dan juga syuting berbagai drama membuat sang istri sama sekali tak memiliki waktu senanggang untuk melakukan hal-hal seperti ngobrol atau belanja bersaSetelah kejadian itu Ana sama sekali tak bisa tidur, berbagai pemikiran bergelayut di otaknya, memaksa matanya untuk terus terbuka meski tubuhnya lelah luar biasa. Meski begitu pagi ini Ana bangun dengan semangat yang baru, dia harus bahagia demi anak yang ada dalam kandungannya ini. “Kamu sebaiknya kembali ke kamar saja, Ana, biar ibu dan bibi yang memasak,” kata sang ibu mertua saat melihat Ana mengambil bahan-bahan makanan dari dalam kulkas. “Ana baik-baik saja, Bu malah aneh rasanya kalau harus tidur lagi,” kata Ana lembut. Tapi ternyata sang ibu mertua lebih keras kepala dari pada Ana, wanita paruh baya itu memaksa Ana untuk duduk di kursi panjang. “Kamu bisa jadi jurinya kalau nanti masakan kami tidak enak kamu bisa komplain,” kata sang ibu setengah bergurau. “Saya sangat cerewet kalau jadi juri memasak.” “Kecerewetan itu perlu supaya makanannya enak.” Pagi itu dapur yang biasanya hanya berisi obrolan ri
Hari memang masih terlalu sore, tapi entah mengapa sejak tahu dia hamil tubuh Ana mudah sekali lelah, bahkan tak jarang dia langsung tidur lagi setelah membantu bibi membereskan dapur setelah makan siang tadi.Tapi kali ini Ana harus menahan matanya untuk tetap melek lebar karena ada tamu yang tidak diundang datang ke kamarnya. Bella, sang madu tersayang. Itu bukan bentuk sindiran memang nyatanya begitulah perasaan Ana pada Bella. Dia menyayangkan sikap Bella yang sangat keras kepala tidak mau hamil dan mempublikasikan hubungannya dengan Raffael, hanya demi karier yang menurut Ana tidak akan bertahan lama. sangat disayangkan kalau keluarga yang dia miliki harus ditukar dengan karir. Ana bukan menghina kemampuan akting Bella, wanita itu tidak akan masuk nominasi penghargaan tahunan kalau tidak memiliki kualitas yang baik, jujur saja Bella sangat baik dalam teknik aktingnya, mungkin itu hasil didikan sekolah-sekolah akting mahal yang dia ikuti. S
“Maaf itu salahku aku tadi tidak hati-hati dan menumpahkan saus di sana,” kata Ana. Bella bisa sangat kejam jika dia mau tak peduli hanya kesalahan kecil yang diperbuat orang lain, Ana tidak ingin karena kesalahannya, asisten rumah tangga di sini yang akan jadi korban apalagi kalau mereka sampai dipecat gara-gara dirinya.“Kamu sengaja ya!” “Sengaja bagaimana, aku saja baru tahu kalau sausnya tumpah,” kata Ana tak terima. Para pekerja rumah ini langsung berkumpul begitu mendengar suara keras Bella, mereka hanya berdiri dalam diam tak bisa membantu apapun, di rumah ini memang Bella adalah nyonya rumah dan memberikan mereka gaji, apalagi mereka juga tahu kalau posisi Ana di sini adalah istri kedua yang hanya diharapkan melahirkan anak untuk tuan mereka saja. “Alasan kamu pasti sengaja melakukannya, dan membuatku buruk di mata orang lain, licik kamu Ana, kamu sudah merebut suamiku dan sekarang kamu bermaksud memfitnahku.” Ana t
Ana mengobrak abrik laci nakasnya, dia sangat yakin menyimpan naskah yang diberikan Adam di sana. “Kok nggak ada, apa mungkin aku bawa ke rumah nenek,” gumam Ana. Adam yang baru saja menghubunginya untuk menanyakan naskah yang dia berikan pada Ana, sebenarnya bisa saja Adam meminta naskah sekali lagi pada sutradara atau penulis naskahnya, tapi masalahnya adalah naskah milik Ana sudah dia coret-coret dengan beberapa catatan yang menurutnya bisa membantu untuk membuat drama ini lebih hidup. Ana tentu saja tidak bisa untuk tidak menghubungi Adam lagi seperti yang diminta Raffael, dia memang sangat mencintai Raffael dan ingin menjadi istri yang pantas untuk laki-laki itu, tapi tetap saja dia juga tidak bisa menjalankan perintah yang sama sekali tidak logis seperti itu. Meski Raffael tidak mau mengakuinya, Ana adalah istrinya, bukan pegawainya atau orang bayarannya yang akan menjalankan perintahnya tanpa ada pertanyaan. Baginya bicara den
Ana mengusap air matanya yang mengalir deras di pipinya, di sampingnya bibi juga memandangnya dengan tatapan yang sendu. Wanita tua itu juga akhirnya tak sanggup menahan air matanya, tapi sedapat mungkin dia mengalihkan rasa sedihnya, dia tidak boleh ikut menangis. “Mbak Ana baik-baik saja? atau mau saya ambilkan minuman atau makanan?” tanya bibi menawarkan bukan apa-apa dirinya juga sudah tak kuat melihat itu semua. Ana menatap bibi sejenak yang juga sudah berurai air mata di sampingnya, “Tidak perlu, Bi, saya baik-baik saja,” kata Ana pelan. Bibi menatap Ana sebentar lalu matanya kembali memandang ke depan, dan air matanya sudah tak bisa dibendung lagi, dia menangis terisak-isak, begitu juga dengan Ana yang ada di sampingnya. “Benar-benar menyedihkan ya, Bi, artis itu sukses memainkan perannya dengan baik,” kata Ana sambil menyeka air matanya. “Benar, Mbak, dia sudah ditinggalkan ibunya sejak kecil susah payah mencari keb
“Kamu sedang apa?” tanya Raffael yang melihat Ana sedang duduk di kursi taman belakang rumahnya, di pangkuan wanita itu ada sepiring buah-buahan yang telah di siram bumbu. Raffael tahu mungkin saja Ana tengah ngidam makanan itu, tapi haruskah malam hari begini. Ana hanya menatap Raffael sejenak dan menggeser duduknya, untuk memberi tempat pada sang suami, tapi laki-laki itu diam saja dia hanya berdiri mengamati Ana. “Ini namanya rujak, kamu mau/” tawar Ana, saat tatapan Raffael jatuh ke piringnya. “Aku tidak seudik itu, tentu saja aku tahu makanan apa itu.” Ana hanya mengangguk dan meneruskan makannya, tidak dipedulikannya lagi Raffael yang masih lekat menatapnya. “Naskah apa yang kamu bicarakan tadi?” tanya Raffael akhirnya. Ana memang tadi sempat menanyakan naskahnya yang hilang pada Bella, tapi diluar dugaan wanita itu malah marah kepadanya, dan jika wanita itu marah Raffael tentu saja akan marah juga kepadanya
“Tunggu, Mbak mau kemana, bapak sedang ada meeting dengan klien!” seru sekretaris Raffael yang tergopoh-gopoh menahan Bella. Tapi laki-laki itu kalah cepat dengan Bella yang langsung menerjang masuk ke ruang kerja Raffael. Tiga orang laki-kaki yang ada di sana sangat terkejut dengan kehadiaran sang bintang yang sudah berderai air mata, mereka memandang Raffael dengan penuh selidik, yang membuat laki-laki itu menghela napas gusar, baru kemarin istri dan orang tuanya mengumumkan kehamilan Ana dan sekarang Bella masuk dengan wajah yang berderai air mata, yang mereka pikirkan hanya satu ‘affair’ “Ehm mohon maaf sepertinya saya ada masalah yang mendesak,” kata Raffael pada dua orang tamunya, dia sungguh malu dengan tingkah laku Bella, tapi melihat sang istri juga berderai air mata, hatinya tidak tega juga, pasti ada hal yang sangat mendesak yang terjadi tidak biasanya Bella berbuat seperti ini. Dua tamu Raffael langsung beranjak berdiri, sedikit mereka melirik Bella saat melewati wanit
Ana kembali masuk ke dalam kamarnya dengan hati yang gamang, dia tak tahu sebenarnya di mana salahnya, dan kenapa dia yang harus mendapat hukuman. Searang Apa yang harus dia lakukan, Ana memang bukan orang yang merasa kalau ponsel adalah bagian hidupnya sehingga kemana-mana harus dia bawa serta, tapi tetap saja, dia butuh benda itu untuk menghubungi orang-orang terdekatnya. Ana segera bangkit berdiri begitu ingat kalau neneknya menghubungi tadi, tapi masalahnya dia sama sekali tak ingat nomer telepon neneknya. Bergegas Ana ke kamar Raffael dan mengetuk pintu kamar suaminya itu. “Raf... Raffael buka pintunya sebentar. Raf... tolonglah sebentar saja.” Ana terus mengetuk pintu itu bahkan air matany sudah mengalir, dari luar kamar ini dia bisa mendengar ponselnya berbunyi lagi, mungkinkah dari neneknya lagi? Apa terjadi sesuatu dengan neneknya? Tidak biasanya dia menelpon jam segini dan terus menerus. Tak sabar dengan Raffael yang tidak juga membuka pintu untuknya, Ana kembali meng