Lelah.
Itu yang Ana rasakan saat ini, tenggorokannya terasa kering dan kepalanya sedikit pusing.Dia tak pernah menyangka kalau menyanyi beberapa jam saja selelah ini, padahal dia suka ngobrol dengan temannya sampai lupa waktu biasa saja.“Pak ada air mineral tidak?” tanya Ana pada sopirnya.“Kalau air mineral yang masih utuh nggak ada mbak, apa kita perlu mampir di mini market sebentar?”Ana mengangguk, tenggorokannya sangat kering, meski jarak rumah sudah tak begitu jauh tapi lebih baik dia membeli di jalan, bukan apa-apa di rumah nanti belum tentu tak ada drama.Ana membuka pintu mobil, tapi saat akan melangkah ke mini market kepalanya terasa sangat pusing, semuanya seolah berputar.“Mbak Ana baik-baik saja?” tanya sang sopir khawatir.Ana menghela napas sejenak, berusaha menenangkan dirinya.Oh tidak! Dia tak boleh sakit banyak hal yang harus dia lakukan, latihan vokal, latihan akting juga harus mengu“Raf kamu tahu ternyata manager Ana mendapatkan undangan resmi dari pimpinan theater itu.” Raffael yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menghela napas dalam, Bella tidak mungkin membicarakan suatu hal tanpa tujuan. “Bisa ambilkan bajuku di walk in closet, biasanya Ana sudah menyiapkan di atas meja tinggal mengambil saja,” kata Raffael. “Kenapa kamu tidak membawanya tadi.” “Maafkan aku sayang aku lupa tadi kamu.” Raffael tak mungkin mengatakan kalau semua ini karena Bella yang menyeretnya langsung ke kamar mereka ini, tanpa memberinya kesempatan untuk mengambilnya. “Baiklah.” Sambil menunggu Bella mengambil baju untuknya, Raffael membuka ponselnya mengecek email yang masuk, dan saat itu sebuah pesan masuk dari orang kepercayaan yang dia percaya untuk menyelidiki Ana. Tanpa sadar bibirnya tersenyum saat melihat secara langsung laporan anak buahnya, di sana juga disertakan pendapat artis profesional saat Ana melakukan sesi latihan theater, tidak salah memang Raffael mem
Bagi Ana, Adam adalah pahlawan untuknya, laki-laki yang lima tahun lebih tua darinya itu seperti paman berkaki panjang yang telah mengubah hidupnya, bahkan saat dia sudah menjadi artis, Adam juga dengan setia mendampinginya. Bahkan saat ini dia juga tidak keberatan mengurus hal-hal remeh seperti mendaftar ke dokter yang seharusnya bukan bagian dari pekerjaannya. “Kamu mendapat nomer antrian dua,” kata Adam dengan wajah masam. “Kok kayaknya nggak ikhlas mas Adam bantu aku,” kata Ana sambil menatap managernya itu. “Bukan tidak ikhlas tapi males saja lihat orang yang suka ngeyel seperti kamu.” “Apa bedanya?” “Nanti saja aku pikirkan bedanya, sekarang kamu duduk yang manis menunggu di bangku itu, aku belikan makanan.” “Kok tahu aku belum sarapan pagi?” tanya Ana dengan mata bulatnya yang besar menatap penasaran pada Adam. “Dari wajahmu yang terlihat kelaparan,” kata Adam asal. “Jadi kamu mau makan apa?”
Ana terduduk lemas di depan ruangan dokter, otaknya terasa kosong, tak mampu untuk diajak berpikir barang sejenak. Hilir mudik pasien yang masuk ke ruangan dokter menjadi pemandangan yang makin menyesakkan hatinya, kebanyakan dari mereka berbawah ceria dan senyum lebar, dengan langkah kaki pelan, seolah sangat takut kalau llangkah kaki yang terburu-buru akan membuatnya tak nyaman, dan yang membuat Ana makin iri adalah adanya seorang laki-laki yang mendampingi mereka, menggenggam lembut tangan mereka dan membimbingnya dnegan sayang. Hal kecil yang bagi Ana adalah sebuah kemustahilan. Ana memang bukan remaja ingusan yang baru saja melakukan dosa denganpacarnya dan membuatnya harus menanggung akibatnya sendirian, sedangkan sang pacar sudah punya gandengan baru dan ak mau tahu dengan urusannya. Bukan, dia wanita dewasa dan telah menikah, anak ini juga lahir dengan pernikahan yang sah. Anak ini memang diinginkan keluarga itu, Akan tetapi apakah nan
Seperti malam-malam sebelumnya, Ana juga tak bisa tidur dengan nyenyak, matanya seolah diganjal dengan lidi, padahal tubuhnya sudah sangat lelah dan dia sadar betul kalau dia butuh istirahat, tubuhnya tidak akan sama lagi sekarang, ada bayi yang sedang tumbuh di rahimnya.Ana mengambil ponselnya dan membuka galeri di ponselnya, ada satu buah foto Raffael di ponselnya, Foto saat hari pernikahan mereka yang diam-diam Ana ambil dengan meminta salah satu staff EO, tentu saja dengan berbagai alasan yang logis. Mereka memang memakai jasa fotografer profesional yang diminta oleh orang tua Raffael, tapi sampai saat ini Ana tak pernah mendapatkan satu pun foto itu, bahkan di rumah ini tak ada satu pun foto dirinya, seolah kehadirannya di rumah ini hanya fatamorgana. Di foto itu meski diambil secara candid, tapi Raffael terlihat sangat tampan, seperti pangeran dari negeri dongeng saja. Memang benar adanya Raffael adalah pangeran yang akan mewarisi semua kekayaan
Ana mengerjapkan matanya, dia khawatir sudah tertidur dan hanya bermimpi, rugi banget bukan kalau dia sudah sangat senang tapi ini hanya mimpi belaka dan tak pernah jadi nyata. Ana sedikit mencubit lengannya sendiri dan terasa sakit, jadi bisa dipastikan dia tidak bermimpi, tapi tetap saja perkataan Raffael sulit untuk dia cerna dengan baik. “Ka... kamu yakin, Raf?” tanya Ana, hatinya entah mengapa tak sesenang yang dia kira. Raffael yang dia kenal tak pernah memperlakukannya sebaik ini selama mereka berstatus suami istri, bukankah perubahan yang mendadak juga patut dicurigai. “Tentu saja, bukankah seharusnya aku juga menyapa keluargamu.” Ana memandang Raffael sejenak, dia tak yakin suaminya yang selalu tampil tampan dan karismatik serta bau duit akan mampu hidup di rumah masa kecilnya. Oh, bukan karena rumah sang nenek tidak layak huni, setelah menjadi artis Ana memang membangun sebuah rumah seperti impian sang nenek, sede
Raffael menatap itu semua dengan hati yang berkecamuk, bingung harus berbuat apa, di satu sisi dia harus meneruskan rencananya untuk membalas dendam pada Ana yang telah memporakporandakan hidupnya, tapi di sisi lain Raffael juga manusia yang masih punya hati, dia tak mungkin membuat kecewa semua orang dengan bersikap tak sepantasnya. “Maksudnya pengaantin baru itu kita? Aku tidak tahu kalau kamu merencanakan acara seperti ini, memalukan,” gumam Raffael tajam di telinga Ana. Raffael bisa melihat mata indah Ana terbelalak mendengar ucapan tajamnya, tapi dia tahu kalau itu hanya kepura-puraan saja, dia pasti sudah merencanakan ini semua untuk semakin menjeratnya, apa dia telah salah menururti permintaan Bella hanya demi selembar tiket audisi, istrinya itu pasti tak akan menyangka kalau Ana sudah memasang jebakan untuknya. “Wah selamat datang di kampung kami,” kata beberapa orang laki-laki paruh baya yang berkumpul di sana, terlihat banyak sekali tamu yang
Ana bangun tidur dengan hati yang was-was. Benar saja tangannya sakit karena semalam dia tertidur miring dengan kaku seprti robot, sedangkan Raffael yang seolah tak berdosa menjadikannya seperti guling. Apa laki-laki yang menjadi suaminya ini terbiasa tidur dengan banyak wanita? Pertanyaan itu langsung mampir begitu saja ke otaknya, Raffael memang marah saat mereka ‘tidur besama’ malam itu, tapi perlakuan Raffael padanya saat mereka terpaksa harus tidur sekamar membuatnya berpikiran seperti itu. Atau karena aku sama sekali tak menarik hatinya, karena itu tak ada hal yang perlu dicemaskan, mungkin bagi Raffael dia hanya wanita yang menampung benihnya dan akan mengandung anak yang diinginkan oleh orang tuanya. Ana sadar selama ini tidak pernah melihat Raffael besama anak-anak, memang ada artis-artis cilik yang bernaung di bawah perusahaan managemannya, tapi Ana tak pernah melihatnya dekat dengan mereka, atau pun ada berita di infotemen
Tinggal di desa memang tak sepenuhnya menyebalkan. Memang tidak ada jaringan internet yang memadai dan juga mall yang bisa dia tuju jika membutuhkan sesuatu, tapi bagi Raffael pemandnagan indah juga sapaan ramah orang-orang yang bertemu dengannya membuat hatinya senang, padahal dia tidak mengenal mereka semua, sangat berlawanan memang dengan kehidupannya di kota yang jarang sekali berteur sapa dengan tetangga. Yang makin membuat Raffael cukup terkejut adalah, istrinya yang ternyata cukup oportunis, bagaimana tidak, sudah tyahu kalau dia biasanya hanya bekerja memegang kerja dan komputer saja, tapi di sini, Ana memintanya untuk membantu mengangkut kacang panjang hasil kebun neneknya. “Ana kamu itu masak suamimu di suruh angkat karung, nanti dia bisa sakit karena tak terbiasa,” kata sang nenek tak setuju saat Ana meminta suaminya ikut bersama seorang laki-laki sebayanya yang biasa bertugas mengangkut hasil panen neneknya. Dibela demikian Raffael