“Saat ini diam adalah pilihan yang terbaik,” kalimat itu terngiang selalu dalam benak Ana.
Haruskah dia hanya berdiam diri saja dan merelakan semuanya.Ana kembali melangkah keluar, dia harus membantu bibi untuk menyiapkan makan malam, yah tentu saja bukan murni membantu bibi, tapi juga untuk menenangkan perasaannya sendiri agar tidak menjadi gila, memikirkan semua ini.“Mbak Ana baik-baik saja?” tanya bibi, Ana bisa melihat dengan jelas kekhawatiran di wajah yang mulai keriput itu.“Kenapa bibi selalu mengkhawatirkan aku, aku baik-baik saja, apa bibi tidak bisa melihat matahari di bola mataku,” kata Ana sambil tertawa.“Kayak lagu saja, Mbak,” jawab bibi sambil tertawa.Bicara dengan bibi terbukti mampu mengembalikan mood wanita itu, setidaknya berhasil mengalihkan pikirannya untuk sementara waktu.Di luar rumah Raffael dan Bella yang sedang menghabiskan waktu bersama, di sela kesibukan Bella yang sangat luar biasa padatnya.“Aku kadang kesaAntara sadar dan tidak Ana masih bisa mendengar kalau beberapa langkah kaki mendekatinya, lalu sebuah teriakan menggema sepertinya suara bibi. Rasa sakit yang dia rasakan sudah tak tertahan lagi tanpa sadar Ana mengerang kesakitan, dan Ana masih bisa mendengar suara bibi meminta seseorang memanggil Raffael di ruang kerjanya. “Tuan mbak Ana pendarahan.” Raffael yang sedang sibuk dengan pekerjaannya langsung bergegas berdiri, Ana tergetak di sana dengan darah yang merembes dari rok yang dia pakai. “Astaga apa yang sebenarnya terjadi, ceroboh sekali,” gumam Raffael. Laki-laki itu lalu melangkah menghampiri Ana. “Bawa ke rumah sakit, bibi ikut dengan Ana biar pak mamad yang menyetir,” kata Raffael langsung balik badan. “Tuan ini mbak Ana tidak bisa jalan sendiri, apa tidak sebaiknya tuan gendong saja,” kata bibi. Raffael menghela napas panjang dan berbalik untuk mengangkat tubuh Ana, ke dalam mobil yang telah disiapka
Berita tentang Raffael yang saat ini menemani Bella yang kakinya terkilir langsung menjadi trend, banyak komentar yang mengatakan kalau hal itu sama sekali tidak pantas, satu bulan yang lalu seorang artis dari manageman perusahaan Raffael juga mengalami kecelakaan dan kaki kanannya patah, tapi Raffael sama sekali tidak mengunjunginya, hanya meminta sekretarisnya yang datang. “Direkturnya ternyata pilih kasih.” “Apa mereka ada affair, mereka sering terlihat berdua tanpa Ana?” “Pasti jatuh dengan sengaja, sudah tahu jalannya licin kenapa pakai hak setinggi itu.” Tapi juga ada komentar yang membela mereka.“Mereka memang teman sejak kecil pantas saja dekat.” “Mereka pasangan yang serasi, sayang sekali Raffael sudah menikah.” Dan masih banyak lagi, Ana tahu komentar itu mungkin dari penggemar Bella, atau dari tim yang memang disiapkan Raffael untuk meredam gosip yang buruk tentang artisnya. Membaca itu semua
Berita Ana yang dirawat di rumah sakit sampai juga ke telinga Adam. Laki-laki itu langsung datang padahal dia saat itu sedang ada meeting dengan beberapa artisnya, yang terpaksa harus dia akhiri lebih awal. “Apa kamu sudah tidak menganggapku teman lagi, sampai kejadian seperti ini kamu sama sekali tidak memberitahuku,” sembur Adam saat dia masuk ke ruang rawat Ana. Matanya menatap Ana dengan cemas, tapi laki-laki itu menutupinya dengan memarahi Ana. “Mas Adam pasti sangat sibuk, aku sedang tidak ada kontrak kerja, jadi tidak mau merepotkan mas,” jawab Ana dengan manis. “Sejak kapan kamu berpikir begitu, kamu memang selalu merepotkan tapi aku sudah terbiasa dengan itu,” kata Adam dengan serius. “Uh mas Adam kalau bilang begitu makin manis, jadi tambah sayang,” kata Ana yang membuat Adam sedikit salah tingkah, tapi dia harus kecewa karena ternyata kata sayang yang diucapkan Ana hanya sebagai saudara, itu sangat terlihat jelas dari ca
Wajah dokter itu langsung memucat, dia memang bukan orang yang berkecinpung di dunia hiburan, tapi nama besar Robert Alexander dan juga sekaligus mertua dari Anastasya tentu dia tahu. Sang dokter tahu hal ini cepat atau lambat akan terjadi, karena itu dia menolak perminataan Ana, meski tidak langsung di hadapan wanita itu, karena sebagai dokter dia harus menjaga pasiennya agar baik-baik saja. “Saya tidak akan membuang-buang waktu dokter dengan perkenalan atau basa basi dari ekspresi dokter saya tahu anda sudah kenal saya.” Sang dokter hanya mengangguk, dia lalu membawa pasangan paruh baya itu ke ruangannya. “Apa yang ingin anda ketahui?” “Kondisi sebenarnya menantu saya?” Sang dokter menghela napas, dia menatap kedua orang ini dengan tajam. “Apa dia tidak mengatakan apa yang terjadi padanya pada anda berdua?” “Kami tidak perlu menjawab itu bukan,” kata Robert Alexander dengan tenang, tapi snag dokter tahu pasti
PLAKSuara tamparan itu menggema di koridor rumah sakit, untung saya ruang vvip itu tidak dilewati orang, sehingga peristiwa itu tidak ada saksi dari peristiwa itu. Jika tadi sang ayah yang menamparnya kini giliran sang ibu yang melakukannya, Raffael selalu merasa kedua orang tuanya terlalu membela Ana, sejak wanita itu masuk ke dalam kehidupan mereka.“Ibu, aku-“ “Ibu kecewa padamu, Raf, ibu pikir ibu sudah membesarkan anak yang baik dan bertanggung jawab, nyatanya dalam keadaan seperti ini juga kamu bertindak sangat tidak adil.” “Bu Bella juga sedang sakit, waktu itu sudah banyak orang yang membantu Ana, dia hanya pendarahan-“ Sang ibu menatap nanar putranya, hanya pendarahan, tahukan putranya apa arti kata itu. Dengan tubuh yang lamas sang ibu melangkah mundur dengan muka pias, dia lalu mendudukkan dirinya di kursi tunggu di depan ruang rawat Ana ini. “Hanya pendarahan, ya,” kata sang ibu yang seperti o
“Nyonya Anda tidak boleh bangun dari tempat tidur dulu, anda bisa pendarahan lagi,” cegah seorang suster saat Ana berkeras ingin tahu kondisi ibu mertuanya. Setelah Raffael memanggil dokter tadi, mereka memang memindahkan sang ibu ke ruangan yang lain untuk ditangani dan Ana tak mungkin bisa tenang tinggal di sini sendiri. Ana tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri yang telah membuat sang ibu seperti ini. “Tapi suster, saya juga tak bisa tenang saat mengetahui ibu mertua saya seperti itu,” kata Ana keras kepala. “Iya tapi kondisi anda dan janin dalam perut anda juga sedang tidak baik-baik saja,” diingatkan seperti itu Ana lalu terdiam, dia tentu saja tidak mau kehilangan bayinya. “Baiklah, suster, apa bisa saya minta tolong untuk melihat bagaimana kondisi ibu mertua saya sekarang, suami dan ayah mertua saya pasti sangat sibuk dan tak sempat kemari,” kata Ana akhirnya mengalah. Sang suster mengangguk menyanggupi perm
“Selamat sore Ana, wah wajahmu tampak mengerikan.” “Memang apa yang diharapkan dari wanita yang sedang sakit?” Laki-laki yang baru saja masuk ruang rawat Ana itu menatap Ana dengan senyum menggoda, tapi wanita itu bukannya tersenyum seperti biasa, dia malah terlihat sangat kesal. “Apa aku tadi menganggumu, kamu terlihat sangat kesal, aku mau menghibur juga rasanya akan hambar dan buang-buang energi saja, padahal aku tadi sudah susah payah mencarikan makanan yang kamu inginkan.” “Aku tidak kesal, memang penampakan wajahku seperti ini,” kata Ana kesal. “Astaga memangnya kamu itu hantu pake kata penampakan segala.” “Bukan, tapi aku bisa menjadi hantu kalau mas Adam terus menggodaku.” “Siapa juga yang menggoda istri orang, memang kamu kira aku laki-laki apaan.” Kini Ana yang tertawa karena berhasil membuat Adam kesal. “Mas Adam laki-laki terbaik yang pernah aku temui,” kata Ana. “Nah sekarang siapa yang menggoda.” “Astaga kenapa mas Adam
Ana menatap pintu ruang rawatnya dengan gelisah, semenjak tadi bibi belum juga kembali padahal wanita paruh baya itu berjanji akan kembali lagi ke sini setelah Raffael pergi, yah meski itu dikatakan dengan begitu lirih. “Anda terlihat gelisah, Bu,” kata perawat yang sore ini bertugas mengukur tensi dan suhu tubuhnya. “Saya hanya mengkhawatirkan bibi saya, apa dia tersesat, dari tadi belum kembali juga,” kata Ana. “Rumah sakit ini memang luas, tapi tetap saja banyak orang di sini yang bisa dia tanya.” Ana mengangguk dan membenarkan ucapan sang perawat, tapi tetap saja hatinya cemas, apalagi panggilannya juga tidak diangkat. “Apa perlu saya bantu dengan mengumumkannya?” tawar sang suster. Ana terdiam, usia bibi sudah sangat tua untuk tersesat dan tak bisa kembali, apalagi ruangan ini terlalu mencolok untuk tidak bisa ditemukan. “Tidak perlu, sus, mungkin suster benar saya terlalu khawatir.” Ana terus menco