Satu minggu berlalu. "Apa belum ada kabar soal Elena?"Darryl meletakkan gelas whisky miliknya tanpa minat dan menatap lekat Mike. Dia sekarang sedang berada di kasino. Tepatnya di ruangan miliknya. Sudah hampir satu minggu sejak Elena pergi meninggalkan rumah sampai dengan hari ini, kabar baik belum kunjung datang. Darryl tidak tahu ke mana wanita itu pergi. "Belum, sulit mencarinya. Sepertinya ada yang menyembunyikannya."Darryl mendesah kesal mendengar jawaban dari Mike. Seseorang yang menyembunyikannya? Siapa? Apakah itu Kathleen? Tapi tidak mungkin, wanita itu tidak mungkin menyembunyikannya setelah mencoba membunuh Elena. Darryl berpikir keras tentang siapa yang menyembunyikan Elena, sampai dia kemudian menyadari sesuatu. Sebuah nama yang hampir dilupakannya. "Marcell. Sialan!""Marcell? Ada apa dengannya?" tanya Mike yang penasaran. "Aku melupakan dia. Aku baru ingat kalau sebelumnya orang yang kuperintahkan mengikutinya diserang seseorang dan terluka. Aku belum menyelidiki
Darryl sedang duduk di meja kerjanya. Namun hari ini, dia tidak bisa fokus bekerja sejak tadi pagi. Darryl banyak melamun sambil sesekali menghela napas kasar memikirkan soal Elena. Wanita yang menghilang dan membuatnya resah bukan main. Darryl pikir, dia akan lebih baik, tapi ternyata semakin hari, dia semakin tidak tenang. Apalagi memikirkan Elena yang mungkin saja bersama dengan Marcell. Pria itu pasti mengatakan hal-hal buruk tentangnya. Bagaimana jika Elena berhasil dirayunya? "Sialan, tidak, tenanglah. Aku bukan orang yang seperti ini." Darryl mencoba menenangkan diri. Meski dia mencintai Elena, tapi tidak seharusnya perasaannya itu mengalahkan akal sehatnya. Saat kematian istrinya saja, dia masih bisa berpikir tenang. Walau dia benar-benar berduka. Darryl mencoba melakukan hal yang sama dan fokus pada pekerjaannya. Dia meyakinkan dirinya jika Mike akan mengatasi semuanya tanpa masalah dan menemukan keberadaan Elena secepatnya. Namun saat dia mencoba sekuat tenaga untuk fokus,
"Sialan, sialan. Kak Darryl benar-benar menjauhiku."Kathleen mengumpat saat mobilnya tiba di rumah. Dia keluar sambil membanting pintu mobilnya dengan emosi. Meluapkan rasa kesalnya karena Darryl tidak mengangkat panggilannya. Di rumah, Kathleen juga menyadari mobil milik pria itu tidak ada. Sepertinya Darryl belum pulang. Kathleen hanya berdecak dan masuk ke dalam dengan sedikit menghentakkan kakinya. Dia berusaha sabar, walau wajahnya tampak ditekuk. Pun begitu dirinya melewati ruang tengah di mana terlihat Ezekiel yang duduk. Dia ingin mengabaikan anak itu, tapi karena penasaran soal Darryl, Kathleen pun berhenti sejenak dan menghampiri Ezekiel. Dia duduk di sebelahnya. "Hei, sedang apa, Ezekiel?" tanyanya dengan ramah. "Ayahmu belum pulang, ya?""Belum, Tante. Kayaknya Ayah pulang terlambat. Kenapa memangnya?""Tidak, Tante hanya bertanya. Tadinya Tante mau ajak kamu jalan-jalan sama sekalian Ayahmu juga.""Jalan-jalan?" Ezekiel menatap Kathleen dengan alis berkerut. "Ya, sepe
"Sialan! Kenapa aku mengatakan itu? Dasar bodoh!"Kathleen berjalan mondar-mandir di kamarnya. Dia mengutuk mulutnya yang asal bicara di depan Darryl. Gara-gara panik hendak diusir, dia sampai meluapkan semua perasaannya, termasuk perasaan bencinya pada saudaranya sendiri. Sekarang, bukannya mendapatkan Darryl, pria itu akan lebih sulit didekati. Kathleen kesal dan marah pada dirinya sendiri. Namun saat dia sedang sibuk menyalahkan dirinya sendiri, ponselnya tiba-tiba berdering. Sebuah nomor tak dikenal, membuatnya terdiam dan mengernyit. Dia tidak langsung mengangkatnya dan memikirkan siapa yang menghubunginya. "Siapa ini? Marcell?" tebak Kathleen sambil mengerutkan keningnya. Beberapa hari lalu dia mendapat protes dari Marcell soal niatnya membunuh Elena, tapi dia langsung memblokir nomor pria itu. Apa sekarang Marcell mencoba menghubunginya lagi? Kathleen yang penasaran, akhirnya mengangkat panggil tersebut. "Marcell? Apa lagi yang kau—""Bos, ini saya."Kalimat Kathleen terhenti
"Kak Darryl, apa-apaan ini! Kenapa Kakak melakukan ini padaku!"Kathleen melotot. Dia berteriak dan memprotes Darryl karena telah membawanya ke kantor polisi. Hingga kini, dia diinterogasi atas semua kejahatan yang dilakukannya. Kathleen merasa dijebak. Dia merasa semua ini telah direncanakan oleh Darryl. Pria itu ingin dia diadili. "Aku salah apa denganmu!""Kau tidak melakukan kesalahan padaku, tapi pada Elena. Kau merencanakan pembunuhan dan terus menyakitinya. Aku hanya memberimu pelajaran."Darryl menatap datar Kathleen. Dia menunjukkan rasa muaknya terhadap adik iparnya. Jika ditanya apakah dia menyayangi Kathleen? Tentu saja iya, tapi itu dulu sebelum Kathleen mengusik kehidupan pribadinya dan mengganggu urusannya. Seandainya wanita itu bukanlah adik mantan istrinya, dia mungkin sudah melenyapkannya. Darryl tidak akan segan-segan menghabisi orang seperti Kathleen. "Elena lagi, Elena lagi! Kenapa lagi-lagi Kakak membahas dia! Apa kurangnya aku, Kak?" Kathleen menjerit. Tak pedu
"Lepaskan aku! Tolong biarkan aku bebas! Tuan!"Suara rintihan terdengar di sebuah penjara bawah tanah milik Darryl. Seorang pria tua tampak duduk menyedihkan dengan beberapa luka di tubuhnya. Matanya juga tidak bisa melihat. Entah apa yang terjadi, tapi darah terlihat di kedua matanya. Dia benar-benar tampak sangat menyedihkan. Sampai suara langkah tiba-tiba terdengar di penjara bawah tanah. Mendekat ke arah pria tua itu. "Tuan? Apa itu Anda? Jika iya, tolong bebaskan saya. Saya ingin pulang. Saya janji, saya akan membayar utangnya.""Kau tidak akan bisa membayar utang.""Apa? Tidak! Saya bisa melakukannya! Anak saya—""Anakmu sudah pergi, membawa Elena," ucapnya dengan suara penuh kemarahan. Dia menggenggam besi yang memisahkannya dengan pria tua yang menyedihkan. "Anakmu itu lebih memilih Elena dibanding kau, Ayahnya sendiri.""M-mustahil. Tidak mungkin! Marcell tidak mungkin seperti itu!"Tubuh tua dan kurus itu bergerak. Tampak ketakutan mendengar berita tersebut. Tentu saja, it
"Ayah!"Darryl baru saja membuka pintu rumah, ketika suara cempreng Ezekiel menyambutnya. Membuatnya terkejut untuk sesaat ketika mendapat pelukan erat putranya. "Ezekiel, kenapa?""Ayah, kenapa Tante Kathleen tidak ada? Ke mana Tante?"Pelukan terlepas. Ezekiel menjauh, tapi tetap memegangi jas kantor milik Darryl. Mata bulatnya menatap ayahnya dengan penasaran. Dia ingin tahu keberadaan Kathleen karena sejak kemarin hingga hari ini, Ezekiel belum bertemu dengannya. Padahal harusnya Kathleen ada.Sementara Darryl yang mendapatkan pertanyaan tiba-tiba itu, sontak terdiam sesaat. Dia memang belum memberitahu Ezekiel jika Kathleen sedang diinterogasi penyidik dan akan segera dipenjarakan olehnya. Darryl pun hanya bisa menarik tangan Ezekiel dan mengajaknya duduk di sofa. Dia mengusap kepala putranya dengan lembut."Ezekiel, Tantemu sudah pergi dari rumah ini. Mungkin tidak akan kembali untuk waktu yang lama.""Huh? Pergi? Kok tidak bilang-bilang?""Mungkin Kathleen lupa memberitahumu. D
Keesokan harinya. Darryl diam di mobil dengan perasaan gugup. Untuk pertama kalinya, dia merasa perasaannya tidak tenang, memikirkan dia akan bertemu kembali dengan Elena. Semua rencananya berhasil. Setelah lebih dari sebulan dia mencari keberadaan Elena, akhirnya dia menemukannya. Di dalam mobilnya, Darryl bisa melihat sebuah rumah yang begitu sederhana. Tidak ada banyak rumah di sekitarnya. Ada perasaan miris dalam hatinya ketika memikirkan jika Elena tinggal di tempat ini setelah kabur dari rumah. Wanita keras kepala dan tidak tahu diuntung. Jika saja Elena mau tinggal bersamanya, kehidupan wanita itu akan tercukupi. Tidak akan mungkin tinggal di rumah kecil seperti ini. Rasa kesal merayap di dada. Darryl sedikit emosi. Namun dia berusaha mengendalikan dirinya. Mengingatkan jika niatnya datang untuk menjemput Elena tanpa adanya paksaan. Darryl menekan mati-matian emosi serta egonya yang terluka akibat Elena. Dia pun akhirnya keluar dari mobil dan merapikan penampilannya. Darryl