"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Bawa saja keponakan saya! Dia yang akan menjadi jaminannya!" seru Martin dengan gila, sebelum empat orang pria berbadan besar menangkapnya. Dia yang berada di belakang keponakannya, memegangi bahu Elena dan tak memedulikan tatapan kaget keponakannya itu."Apa? Apa yang Om katakan?""Diam! Kamu diam saja! Nurut sama Om!" Martin mendesak, lalu mengalihkan perhatiannya pada empat orang di depannya. Dia mencengkeram dagu gadis itu serta menunjukkan wajah Elena. "Kalian bisa membawa Elena. Lihatlah! Dia cantik, Bos pasti suka! Saya janji akan melunasi semuanya nanti."Elena tersentak. Dia melotot kaget mendengar perkataan pamannya yang bicara seolah dia adalah barang. Bagaimana bisa pamannya bersikap seperti ini? Dia bahkan baru saja pulang kerja saat kegaduhan terjadi dan melihat pamannya dipukuli, gara-gara tidak mampu melunasi utang yang sudah menunggak hingga ratusan juta. Dia juga sedang bernegosiasi untuk mencari jalan keluar terbaik agar utang pamannya bisa dilunasi, tapi apa yang
"Siapa yang menyuruh kalian membawa gadis ini?""Maafkan kami, Bos, pria tua itu menjadikan keponakannya sebagai jaminan. Dia bilang, Anda bisa melakukan apa pun padanya dan dia harus membicarakan masalah utangnya dengan anaknya."Ugh.Suara percakapan samar-samar terdengar di telinga Elena yang kini dalam kondisi setengah sadar. Dia berusaha kuat membuka matanya, tapi sangat sulit. Rasa pusing di kepalanya juga sangat terasa. Tubuhnya lemah."Jaminan? Dia memberikan keponakannya?""Iya, kami rasa, tidak ada salahnya. Kalau dia kabur, kita bisa jual keponakannya dan kita bisa menangkapnya. Bos juga bisa bersenang-senang dengannya. Pria itu bilang dia masih perawan.""Perawan, huh? Kalian bertindak di luar perintah.""Maafkan kami, Bos. Jika Bos tidak mau, kami akan mengembalikannya dan menangkap pria itu.""Tidak, biarkan aku memeriksa. Apa gadis ini berguna atau tidak."Seorang pria dewasa sekaligus bos mereka, yang berumur sekitar tiga puluh delapan tahunan itu, tampak melirik ke ar
"Non, Nona, apa Anda sudah selesai?" tegur sebuah suara, pada Elena yang kini melamun.Emma, pelayan yang dari tadi membantunya menyiapkan keperluannya, termasuk membangunkan dia yang sempat tidur di kamar mandi, kini menatapnya khawatir. Membuat perhatian Elena pun langsung teralihkan. Dia tersadar dari lamunannya."Apa?""Jika Anda sudah selesai makan, saya akan merapikan kembali penampilan Anda. Tuan akan segera ke sini.""Tuan? Maksudmu, pria tua tadi? Ini sudah malam, apa yang akan dia lakukan? Lalu, Emma, bisakah aku mendapatkan pakaianku lagi? Ini terlalu terbuka!"Ada banyak sekali pertanyaan di kepala Elena saat ini. Dia tidak mengerti sama sekali kenapa Darryl akan ke kamarnya. Setelah membuatnya ketakutan, pria itu bahkan sulit dia temui. Sekarang, Darryl malah akan menemuinya dan dia memakai pakaian tipis begini.Elena tidak suka. Gaun tidur yang dia dikenakan juga hanya sebatas paha dan sangat menerawang, juga memperlihatkan tubuh bagian atasnya. Dia seperti wanita penghi
"Aakhh!"Darryl mengerang sakit saat Elena berhasil menendangnya jatuh dari ranjang dan memukulnya. Kejadian itu sangat cepat, sampai Darryl tidak sempat mengantisipasinya, tapi cukup membuat Elena puas dan tanpa menyia-nyiakan waktunya, gadis itu berusaha turun sambil menjadikan tubuh Darryl sebagai pijakannya.Elena tanpa ragu-ragu sedikit pun menginjak pria itu dengan kesal sebelum akhirnya berlari. Akan tetapi sebelum itu, Elena sempat dibuat jatuh oleh Darryl yang tidak membiarkannya pergi. "Aakhh!""Gadis nakal, aku akan memberimu pela—""Jangan menyentuhku!" Elena menendang wajah Darryl dan membuat pria itu kaget, hingga akhirnya melepaskannya. Beruntung, Tuhan masih menyelamatkannya dan Elena bisa lepas dari cengkeraman Darryl.Pintu yang memang kebetulan belum dikunci oleh Darryl, menjadi harapan besar bagi Elena melarikan diri. Dia langsung berlari dengan semangat dari kamar itu untuk segera mencari jalan keluar. Keadaan rumah itu gelap dan tidak ada orang. Semua tampaknya t
"Nona, Nona bangun! Ini sudah pagi, Tuan menunggu Anda."Seorang pelayan wanita yang tidak lain adalah Emma, menggoyangkan tubuh Elena yang saat ini tengah tertidur lelap di ranjang. Membuat wanita itu terusik hingga akhirnya menguap dan membuka mata. Suara desahan kasar terdengar saat Elena berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang menyilaukan matanya."Ugh! Siapa kau? Kak Marcell mana?" tanya Elena sambil berusaha mengusir rasa kantuknya. Dia menatap Emma dengan wajah bingungnya. Kesadarannya belum pulih sempurna. Dia belum ingat apa yang terjadi dan karena pertanyaannya, pelayan itu menjadi kebingungan."Marcell? Siapa yang Anda maksud, Nona? Apa Anda lupa Anda berada di mana?""Tentu saja di rumah. Memangnya di—tunggu! Di mana ini!" pekiknya sambil melotot. Dia spontan terduduk tanpa memedulikan jika tindakannya membuat kepalanya pusing. Tentu saja, dia tidak peduli pada hal lain, karena apa yang dilihatnya ini jauh lebih menarik perhatiannya."Rumah Tuan Darryl. Apa Anda menging
"T-tunggu! Aku ingin bicara denganmu! Tunggu sebentar!" teriak Elena yang kini berjalan mengejar Darryl. Acara sarapan pagi telah selesai dan pria itu langsung pergi sebelum Elena sempat melayang protes, atas apa yang diputuskan Darryl seenaknya. Dia juga terpaksa meninggalkan Ezekiel seorang diri dan mengejar Darryl, yang pada akhirnya masuk ke dalam ruangan. Pria itu tidak mengindahkannya sedikit pun sampai saat Elena menarik lengan bajunya 'lah, Darryl baru berhenti. Tak hanya berhenti, pria itu juga akhirnya menoleh, meski dengan wajah kesalnya. "Apa yang kau lakukan?""Aku ingin bicara denganmu! Aku sudah memanggilmu dari tadi!" Rasanya Elena ingin mengumpat dan mengatai Darryl tuli, tapi dia yang masih ingin hidup, terpaksa menahan lidahnya agar tak salah ucap. Elena tidak mau nyawanya melayang lagi, apalagi mengingat di sini tidak ada Ezekiel yang akan menghentikan pria itu. "Apa yang ingin kau bicarakan?"Darryl menyingkirkan tangan Elena yang memegang tangannya dan melangk