"Bawa saja keponakan saya! Dia yang akan menjadi jaminannya!" seru Martin dengan gila, sebelum empat orang pria berbadan besar menangkapnya. Dia yang berada di belakang keponakannya, memegangi bahu Elena dan tak memedulikan tatapan kaget keponakannya itu.
"Apa? Apa yang Om katakan?""Diam! Kamu diam saja! Nurut sama Om!" Martin mendesak, lalu mengalihkan perhatiannya pada empat orang di depannya. Dia mencengkeram dagu gadis itu serta menunjukkan wajah Elena. "Kalian bisa membawa Elena. Lihatlah! Dia cantik, Bos pasti suka! Saya janji akan melunasi semuanya nanti."Elena tersentak. Dia melotot kaget mendengar perkataan pamannya yang bicara seolah dia adalah barang. Bagaimana bisa pamannya bersikap seperti ini? Dia bahkan baru saja pulang kerja saat kegaduhan terjadi dan melihat pamannya dipukuli, gara-gara tidak mampu melunasi utang yang sudah menunggak hingga ratusan juta. Dia juga sedang bernegosiasi untuk mencari jalan keluar terbaik agar utang pamannya bisa dilunasi, tapi apa yang dikatakan pamannya ini? Pamannya malah meminta mereka untuk membawanya? Setelah membuat masalah dengan meminjam uang untuk berjudi dan bahkan sampai menggadaikan rumah, sekarang dia akan dijadikan jaminan?Marah? Kesal? Kecewa? Ya, itulah yang Elena rasakan sekarang, sampai dia mendorong pamannya dan menjauh. Pamannya adalah keluarganya sekaligus orang yang dia sayangi, tapi teganya melakukan ini terhadapnya. "Om! Om apa-apaan? Om mau menjualku?""Apa? Tentu saja tidak, Om hanya ingin kamu ikut mereka. Kamu tidak akan diapa-apakan. Jadi, bernegosiasi 'lah dengan Bos mereka. Bantu Om, Elena. Hanya kamu yang bisa melakukannya," bisiknya. Hanya ini satu-satunya cara agar dia masih bisa bernapas. Menyerahkan anak dari saudaranya yang telah meninggal. Ya, lagi pula dirinya tidak punya pilihan lain selain ini."Tapi tidak dengan cara seperti ini!""Sudahlah, tahu apa kamu? Lebih baik kamu diam saja!""Om!""Kami tidak membutuhkannya. Yang Bos minta itu, kau melunasi utangnya. Jika tidak, kami harus membawamu dan kau akan tahu akibatnya!" tegas salah seorang dari pria yang tadi memukuli Martin dan diam saja melihat pertengkaran paman serta keponakannya. Dia berhasil menarik kembali perhatian serta memberi ancamannya yang sangat nyata dan semua orang yang mendengar tahu itu tak main-main, apalagi saat kata 'Bos' disebut.Selama ini, kata 'Bos' seolah menjadi momok menakutkan bagi siapa pun yang terlibat dengan mereka. Sebagai seorang penjudi dan orang yang berutang pada 'bos' tersebut, Martin tentu cukup mengenal siapa yang dimaksud. Pria kejam yang juga pemilik kasino dan sebuah kelab malam di pusat kota yang selalu dia kunjungi. Selentingan kabar mengatakan, pria itu adalah yang terburuk dari yang terburuk dan tak punya hati.Sayangnya, tak ada yang pernah bertemu secara langsung. Mereka yang memiliki kepentingan hanya bisa berinteraksi lewat orang kepercayaannya, tapi beberapa orang yang berurusan dengan pria tersebut memiliki nasib tak beruntung. Apalagi jika mereka berutang dan tak mau membayar utangnya. Orang yang berutang itu bisa saja harus membayar utangnya dengan nyawa, dan jika orang yang berutang melarikan diri, maka keluarganya yang akan diburu."A-ayolah! Saya janji akan melunasi utangnya. Saya tidak akan melarikan diri."Martin dengan cepat maju, menghadap pria yang merupakan ketua dari ketiga orang lainnya. Dia menariknya agak jauh untuk berdiskusi. "Tolong bawa saja keponakan saya. Bos kalian mungkin akan senang dan terserah dia mau diapakan. Bos kalian bebas melakukan apa pun padanya.""Kenapa kau bisa berpikir Bos akan senang jika kami membawanya?""Tentu saja karena pria suka bersenang-senang dengan wanita! Dengarlah, keponakan saya itu, dia masih perawan. Dia akan cocok untuk melayani Bos kalian.""Perawan?""Ya, lihatlah! Elena sangat cantik, tubuhnya juga bagus. Saya janji tidak akan melarikan diri. Saya juga pasti akan membayar utangnya, jadi tolong bawa saja dia sebagai jaminannya. Jika Bos kalian puas dengannya, bukankah kalian juga akan mendapatkan bonus?"Martin mencoba menghasut dan mengiming-imingi sambil berharap keponakannya akan berguna. Hingga pria itu mulai berpikir dan menimbang perkataan Martin, sambil sesekali melirik ke arah Elena yang tampak waspada karena tidak tahu apa yang dibicarakan. Memang tidak ada ruginya sekali pun mereka membawa gadis itu. Jika Martin melarikan diri, mereka tinggal membunuhnya dan mengambil apa yang bisa mereka jual dari gadis itu. Memburu Martin juga tidaklah sulit. Bosnya juga mungkin senang karena gadis itu bisa menjadi hiburannya."Baiklah, kami akan bawa gadis itu, tapi kalau Bos tidak mau, kami akan datang dan memenggal kepalamu," ucapnya dengan serius sambil menekankan setiap kalimatnya, yang membuat Martin berkeringat dingin. Lalu dia menoleh ke arah tiga orang anak buahnya. "Bawa gadis itu. Kita akan menyerahkannya pada Bos.""Baik.""Apa? Om! Aku tidak mau! Kenapa jadi aku?"Elena kaget saat kedua tangannya dipegangi. Dia ketakutan, tapi dia masih berusaha memberontak. Dia sama sekali tidak menyangka, kenapa kejadiannya jadi seperti ini? Kenapa jadi dirinya yang harus dibawa dan apa yang dikatakan pamannya pada orang itu?"Cckk, menurut saja, Elena. Ini juga demi kebaikan kita! Kamu harus bisa melakukan tugasmu dengan baik!""Aku tidak mau! Apa yang akan dikatakan Kak Marcell kalau dia tahu apa yang Om lakukan padaku!" jerit Elena yang berusaha bertahan. Dia tidak ingin pergi. Dia tidak mau meninggalkan tempat itu. Rumahnya dan kakak sepupunya yang entah kenapa belum kunjung pulang."Marcell tidak akan marah, dia pasti akan mengerti. Tenang saja, kami juga akan membawamu lagi."Wajah Elena memucat mendengar perkataan pamannya. Membawanya kembali? Apa itu mungkin? Elena memiliki firasat, dia tidak akan pernah kembali ke sini lagi jika dibawa oleh mereka. Jahat sekali pamannya melakukan ini padanya. Padahal orang tuanya telah mempercayakan dirinya untuk menjaganya. Elena merasa sangat terluka dan dikhianati. Selama ini dia selalu berusaha menjadi orang yang berguna dan membantu memenuhi kebutuhan pamannya yang sudah tidak bekerja. Namun balasannya? Dia dijadikan barang jaminan."Kenapa Om tega sekali padaku! Aku dan Kak Marcell sudah berulang kali memintamu berhenti berjudi, tapi Om malah melakukan ini padaku! Kak Marcell pasti akan marah!" Elena berusaha keras untuk tidak menangis, walau dadanya sesak bukan main."Kalian bisa membawanya sebelum orang lain melihat." Martin tak memedulikan ucapan Elena."OM!"Elena benar-benar tidak mau pergi. Dia juga tidak terima diperlakukan seperti ini. Dia tak percaya pamannya malah memalingkan muka. Hingga Elena yang marah dan kesal, serta ingin bebas, berusaha menggigit tangan yang memegangi lengan kirinya dan hendak melarikan diri, tapi sialnya dia kembali ditahan. Tentu saja, siapa gadis yang bisa mengalahkan tiga pria berbadan besar seorang diri? Bukan Elena tentunya.Hal itu pun membuat Elena frustrasi sampai akhirnya dia mencoba cara terakhir, yaitu berteriak dan berharap ada orang yang menolongnya. "TIDAK! LEPASKAN! TOLONG! TOLONG AK—"Sayangnya, belum sempat Elena berteriak kembali, sebuah pukulan dirasakan di tengkuknya dan itu cukup keras sampai akhirnya berhasil membuatnya pusing. Elena mulai merasakan pandangannya tidak terlalu jelas, sampai sebelum dia sempat melakukan apa pun, kegelapan merenggutnya."Siapa yang menyuruh kalian membawa gadis ini?""Maafkan kami, Bos, pria tua itu menjadikan keponakannya sebagai jaminan. Dia bilang, Anda bisa melakukan apa pun padanya dan dia harus membicarakan masalah utangnya dengan anaknya."Ugh.Suara percakapan samar-samar terdengar di telinga Elena yang kini dalam kondisi setengah sadar. Dia berusaha kuat membuka matanya, tapi sangat sulit. Rasa pusing di kepalanya juga sangat terasa. Tubuhnya lemah."Jaminan? Dia memberikan keponakannya?""Iya, kami rasa, tidak ada salahnya. Kalau dia kabur, kita bisa jual keponakannya dan kita bisa menangkapnya. Bos juga bisa bersenang-senang dengannya. Pria itu bilang dia masih perawan.""Perawan, huh? Kalian bertindak di luar perintah.""Maafkan kami, Bos. Jika Bos tidak mau, kami akan mengembalikannya dan menangkap pria itu.""Tidak, biarkan aku memeriksa. Apa gadis ini berguna atau tidak."Seorang pria dewasa sekaligus bos mereka, yang berumur sekitar tiga puluh delapan tahunan itu, tampak melirik ke ar
"Non, Nona, apa Anda sudah selesai?" tegur sebuah suara, pada Elena yang kini melamun.Emma, pelayan yang dari tadi membantunya menyiapkan keperluannya, termasuk membangunkan dia yang sempat tidur di kamar mandi, kini menatapnya khawatir. Membuat perhatian Elena pun langsung teralihkan. Dia tersadar dari lamunannya."Apa?""Jika Anda sudah selesai makan, saya akan merapikan kembali penampilan Anda. Tuan akan segera ke sini.""Tuan? Maksudmu, pria tua tadi? Ini sudah malam, apa yang akan dia lakukan? Lalu, Emma, bisakah aku mendapatkan pakaianku lagi? Ini terlalu terbuka!"Ada banyak sekali pertanyaan di kepala Elena saat ini. Dia tidak mengerti sama sekali kenapa Darryl akan ke kamarnya. Setelah membuatnya ketakutan, pria itu bahkan sulit dia temui. Sekarang, Darryl malah akan menemuinya dan dia memakai pakaian tipis begini.Elena tidak suka. Gaun tidur yang dia dikenakan juga hanya sebatas paha dan sangat menerawang, juga memperlihatkan tubuh bagian atasnya. Dia seperti wanita penghi
"Aakhh!"Darryl mengerang sakit saat Elena berhasil menendangnya jatuh dari ranjang dan memukulnya. Kejadian itu sangat cepat, sampai Darryl tidak sempat mengantisipasinya, tapi cukup membuat Elena puas dan tanpa menyia-nyiakan waktunya, gadis itu berusaha turun sambil menjadikan tubuh Darryl sebagai pijakannya.Elena tanpa ragu-ragu sedikit pun menginjak pria itu dengan kesal sebelum akhirnya berlari. Akan tetapi sebelum itu, Elena sempat dibuat jatuh oleh Darryl yang tidak membiarkannya pergi. "Aakhh!""Gadis nakal, aku akan memberimu pela—""Jangan menyentuhku!" Elena menendang wajah Darryl dan membuat pria itu kaget, hingga akhirnya melepaskannya. Beruntung, Tuhan masih menyelamatkannya dan Elena bisa lepas dari cengkeraman Darryl.Pintu yang memang kebetulan belum dikunci oleh Darryl, menjadi harapan besar bagi Elena melarikan diri. Dia langsung berlari dengan semangat dari kamar itu untuk segera mencari jalan keluar. Keadaan rumah itu gelap dan tidak ada orang. Semua tampaknya t
"Nona, Nona bangun! Ini sudah pagi, Tuan menunggu Anda."Seorang pelayan wanita yang tidak lain adalah Emma, menggoyangkan tubuh Elena yang saat ini tengah tertidur lelap di ranjang. Membuat wanita itu terusik hingga akhirnya menguap dan membuka mata. Suara desahan kasar terdengar saat Elena berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang menyilaukan matanya."Ugh! Siapa kau? Kak Marcell mana?" tanya Elena sambil berusaha mengusir rasa kantuknya. Dia menatap Emma dengan wajah bingungnya. Kesadarannya belum pulih sempurna. Dia belum ingat apa yang terjadi dan karena pertanyaannya, pelayan itu menjadi kebingungan."Marcell? Siapa yang Anda maksud, Nona? Apa Anda lupa Anda berada di mana?""Tentu saja di rumah. Memangnya di—tunggu! Di mana ini!" pekiknya sambil melotot. Dia spontan terduduk tanpa memedulikan jika tindakannya membuat kepalanya pusing. Tentu saja, dia tidak peduli pada hal lain, karena apa yang dilihatnya ini jauh lebih menarik perhatiannya."Rumah Tuan Darryl. Apa Anda menging
"T-tunggu! Aku ingin bicara denganmu! Tunggu sebentar!" teriak Elena yang kini berjalan mengejar Darryl. Acara sarapan pagi telah selesai dan pria itu langsung pergi sebelum Elena sempat melayang protes, atas apa yang diputuskan Darryl seenaknya. Dia juga terpaksa meninggalkan Ezekiel seorang diri dan mengejar Darryl, yang pada akhirnya masuk ke dalam ruangan. Pria itu tidak mengindahkannya sedikit pun sampai saat Elena menarik lengan bajunya 'lah, Darryl baru berhenti. Tak hanya berhenti, pria itu juga akhirnya menoleh, meski dengan wajah kesalnya. "Apa yang kau lakukan?""Aku ingin bicara denganmu! Aku sudah memanggilmu dari tadi!" Rasanya Elena ingin mengumpat dan mengatai Darryl tuli, tapi dia yang masih ingin hidup, terpaksa menahan lidahnya agar tak salah ucap. Elena tidak mau nyawanya melayang lagi, apalagi mengingat di sini tidak ada Ezekiel yang akan menghentikan pria itu. "Apa yang ingin kau bicarakan?"Darryl menyingkirkan tangan Elena yang memegang tangannya dan melangk
"Pa, katakan sebenarnya! Di mana Elena?"Seorang lelaki muda terlihat berjalan mendekati ayahnya yang saat ini sedang duduk santai sambil nonton televisi. Dia menahan gemas sekaligus kesal karena tak mendapat jawaban yang diinginkan sejak semalam. Namun sayangnya, kehadirannya kali ini pun tak diacuhkan. Lelaki yang disebutnya ayah itu, malah terus sibuk menonton berita di televisi. Sampai akhirnya, tak tahan dengan rasa jengkel, dia langsung mencabut kabel televisi dan membuat TV itu mati seketika. "Apa yang kamu lakukan Marcell! Papa lagi nonton! Kamu tidak ada sopan-sopannya sama orang tua!""Papa tidak menjawab pertanyaanku! Di mana Elena! Kenapa dia tidak ada?" Marcell yang kepalang jengkel, menaikkan nada suaranya tanpa peduli jika orang yang diteriaki adalah ayahnya sendiri. Dia sudah melontarkan pertanyaan yang sama sejak kemarin sore, tapi ayahnya tidak menjawabnya sama sekali dan beralasan tak enak badan. Padahal dia kelimpungan mencari keberadaan Elena, yang merupakan sep
Di depan sebuah rumah besar nan mewah, sebuah mobil berhenti. Pintu gerbang yang tadi sempat terbuka lebar, kini tertutup kembali dan dikunci rapat. Matahari sudah kembali ke peraduannya dan sebentar lagi malam akan tiba. Seorang pria yang tidak lain adalah Darryl, keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia yang tadi siang harus pergi karena ada urusan untuk sesuatu hal, akhirnya bisa kembali. Walau mungkin, dia juga akan pergi lagi nanti malam. "Selamat datang, Tuan.""Hmm." Darryl menanggapi sapaan Emma dengan gumaman singkat. Dia melangkah masuk tanpa memedulikan wanita itu. "Di mana Ezekiel?""Tuan Muda tadi ada di ruang tengah bersama Nona Elena, Tuan. Anda mau melihatnya?""Ya, aku akan melihatnya. Tolong ambilkan air minum.""Baik."Darryl mempercepat langkahnya. Dia tidak sabar untuk melihat anaknya, tapi saat sampai di ruang tengah, dia justru tidak mendapati keberadaan Ezekiel. Hanya ada seseorang yang tampak tertidur dengan kepalanya telungkup di meja. Itu
"Ayah, Ayah, Iel malam ini mau tidur lagi sama Tante, boleh tidak?" Ezekiel bertanya. Memecah keheningan di ruang makan yang begitu dingin serta kaku sebelumnya. Membuat Darryl yang sedang memotong daging dengan anggun pun harus berhenti dan menatap mata Ezekiel yang berbinar. Sedangkan Elena yang juga ada di sana, tampak acuh tak acuh. Gadis itu justru sibuk makan karena memang sangat kelaparan. "Elena memiliki kamarnya sendiri. Kamu tidak bisa terus tidur dengannya, Ezekiel.""Tapi, Ayah—""Kamu bukan bayi, Ezekiel. Kamu harus mulai belajar untuk tidur sendiri," tegur Darryl dengan halus pada putranya. Dia tidak berharap Ezekiel akan terus bersama dengan Elena, karena dia sudah meminta pelayan untuk menyiapkan kamar yang akan ditempati gadis itu. Namun karena teguran tegasnya, wajahnya putranya tampak murung, seolah anak itu kehilangan semangatnya hanya karena Elena. "Baik, Ayah."Suasana meja makan pun seketika kembali hening dan canggung. Tidak ada lagi yang bicara dan itu membu