"Nona, Nona bangun! Ini sudah pagi, Tuan menunggu Anda."
Seorang pelayan wanita yang tidak lain adalah Emma, menggoyangkan tubuh Elena yang saat ini tengah tertidur lelap di ranjang. Membuat wanita itu terusik hingga akhirnya menguap dan membuka mata. Suara desahan kasar terdengar saat Elena berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang menyilaukan matanya."Ugh! Siapa kau? Kak Marcell mana?" tanya Elena sambil berusaha mengusir rasa kantuknya. Dia menatap Emma dengan wajah bingungnya. Kesadarannya belum pulih sempurna. Dia belum ingat apa yang terjadi dan karena pertanyaannya, pelayan itu menjadi kebingungan."Marcell? Siapa yang Anda maksud, Nona? Apa Anda lupa Anda berada di mana?""Tentu saja di rumah. Memangnya di—tunggu! Di mana ini!" pekiknya sambil melotot. Dia spontan terduduk tanpa memedulikan jika tindakannya membuat kepalanya pusing. Tentu saja, dia tidak peduli pada hal lain, karena apa yang dilihatnya ini jauh lebih menarik perhatiannya."Rumah Tuan Darryl. Apa Anda mengingatnya?""Oh."Ingatan perlahan berputar di kepala Elena seperti sebuah film pendek. Menunjukkan kembali peristiwa yang terjadi sampai alasan kenapa dirinya tertidur di ranjang besar itu. "Sialan! Bagaimana bisa aku tidur di sini!"Elena refleks memukul keningnya dengan gemas. Dia jengkel luar biasa pada dirinya sendiri yang malah tidur di ranjang itu, saat seharusnya dia mencari jalan keluar untuk melarikan diri dari sana. Namun memang, kasur itu sangat empuk dan membuatnya sulit menahan diri untuk tidak memejamkan mata. Apalagi setelah perkelahian semalam yang menguras tenaganya. Dia benar-benar bisa tidur di mana saja dan dalam kondisi darurat sekali pun. Dia benar-benar bodoh. Ini juga pasti karena Ezekiel yang pandai merayunya dan membuatnya tidur tanpa rasa waspada sedikit pun. Sayangnya, saat ini dia tidak melihat keberadaannya. Sisi sampingnya kosong."Ke mana perginya bocah menggemaskan itu? Kenapa aku tidak melihatnya?""Maksud Anda, Tuan muda Ezekiel? Beliau sedang sarapan bersama Tuan Darryl.""Dia makan dengan ib—maksudku, Ayahnya?""Ya, Nona, Tuan Darryl juga meminta Anda segera datang untuk sarapan dan katanya, ada sesuatu yang ingin dibicarakan.""Sesuatu?" Wajah Elena berubah pucat. Dia sedikit gemetar takut. Nyalinya menciut. Jangan sampai pria itu hendak melakukan apa yang tidak sempat dilakukannya semalam. Elena tidak sudi tubuhnya dijamah pria tua itu. "Apa dia akan membunuhku?""Mana mungkin, tapi sebaiknya Anda cepat mendatanginya."Glek.Elena tidak memiliki pilihan lain. Dia pada akhirnya turun dari ranjang, tapi teringat dengan pakaiannya yang masih mengenakan gaun kurang bahan, Elena pun langsung menatap pelayan itu dengan malu-malu. "Anu, Emma, bolehkah aku mendapatkan pakaianku kembali? Aku tidak nyaman memakainya.""Tentu saja, Nona. Saya akan ambilkan pakaian lain, karena pakaian Anda masih kotor.""Baiklah.""Mohon tunggu sebentar."Elena diam. Dia melihat Emma yang hendak meninggalkan kamar itu, tapi sebelum benar-benar pergi, Elena tanpa sadar memanggilnya. "Emma!""Ya, Nona? Anda butuh yang lain?""Yang kemarin ... aku minta maaf. Maksudku, aku tidak bermaksud menyakitimu," ucap Elena pelan tanpa melihat pelayan wanita itu. Dia tertunduk penuh rasa bersalah. Teringat akan kelakuannya yang agak kasar. Namun tanpa sepengetahuan Elena, Emma tersenyum maklum."Tidak apa-apa, saya tidak marah. Kalau begitu, saya permisi."Elena hanya mengangguk dan menoleh ke arah pintu di mana Emma menghilang. Dia seketika langsung duduk sembari mendesah kasar. Segala umpatan meluncur mulus di mulutnya. Elena menyesali dirinya yang bodoh serta tidak memanfaatkan kesempatan. Sekarang, dia malah terjebak di sini. Bagaimana caranya dia keluar? Elena takut bertemu dengan Darryl, tapi mau tak mau, mereka juga harus bertemu. "Sialan."Tak berapa lama kemudian, saat Elena sedang sibuk mengutuk dirinya, Emma ternyata kembali. Pelayan itu membawa sebuah dress. Dress berwarna biru yang tampak polos, tapi juga tampak sopan. Setidaknya itu bukan gaun tidur yang dikenakannya."Nona, ini pakaian untuk Anda. Sepertinya akan pas.""Terima kasih, aku akan memakainya."Tanpa menunggu lagi, Elena langsung masuk ke dalam kamar mandi dan mencuci muka sambil mengganti pakaiannya dengan cepat, lalu kembali keluar setelah siap. Dia mungkin harus segera bertemu dan bicara dengan Darryl. Berharap dirinya akan bebas, walau itu agak mustahil.Elena menarik napas serta menyiapkan mental dalam-dalam sesaat sebelum dia keluar kamar dan dipandu oleh Emma menuju ruang makan. Tidak ada pembicaraan berarti karena Elena sibuk mengendalikan rasa cemasnya, sampai kemudian, mereka berhenti di depan sebuah pintu besar dan Emma mengetuknya.Elena hanya diam saat Emma meminta izin masuk dan terdengar suara sahutan dari dalam. Suara yang tak mungkin dia lupakan karena memberikan rasa takut. Bahkan saat pintu dibuka, Elena refleks menutup matanya kuat-kuat karena takut berhadapan dengan Darryl, sampai sebuah suara terdengar."Tante!"Refleks, Elena membuka mata dan melihat Ezekiel yang memanggilnya. Bocah laki-laki yang saat ini duduk di samping Darryl. Wajah polos ceria khas anak kecil, membuat perasaan Elena tenang seketika. Sayangnya itu tak bertahan lama saat pelayan tadi pamit pergi dan suara Darryl mulai terdengar kembali."Aku tidak menyangka ada orang yang membuatku menunggu setengah jam di sini. Sulit dipercaya."Perkataan itu diucapkan dengan santai, tapi Elena tahu Darryl sedang menyindirnya yang bangun kesiangan. Ya, itu salahnya, tapi kenapa dia tidak dibangunkan sejak awal? Elena menyunggingkan salah satu sudut bibirnya dengan kesal. Dia memilih berjalan dan mengabaikan perkataan bajingan itu.Elena juga menatap ke arah meja makan yang kini dalam keadaan penuh. Belum ada makanan yang disentuh. Sepertinya Darryl marah karena ini. Pria itu belum makan karena menunggunya."Sepertinya selain tidak tahu malu, kau juga tuli.""Ayah, jangan gitu. Bun—Tante pasti capek. Sini, Tan! Duduk di samping Iel!"Telinga Elena sedikit panas dengan sindiran Darryl, tapi karena ada Ezekiel, dia menahannya. Bocah itu menepuk-nepuk kursi di sebelahnya dan tentu saja, Elena tanpa ragu duduk di sana. Itu lebih baik dari pada dia harus duduk di samping Darryl."Tante, gimana tidurnya? Semalam pasti Tante kecapaian. Iel sengaja tidak bangunin Tante." Ezekiel berceloteh dan mencoba mencairkan suasana yang agak tegang gara-gara sang ayah terus menatap tajam Elena."Ah, terima kasih. Maaf Tante membuatmu menunggu." Elena gugup. Dia refleks membenarkan rambut panjangnya yang tidak diikat. Sungguh, dia merasa tidak nyaman mendapatkan perhatian kecil dari anak pria yang dibencinya."Tidak apa-apa, Iel tidak mau mengganggu Tante.""Bajumu. Siapa yang memberikan baju itu padamu?" tanya Darryl, mengalihkan perhatian Elena. Gadis itu langsung menoleh padanya dengan kebingungan saat melihatnya menatap tajam. Darryl tidak suka melihatnya. Dress yang dikenakan Elena tidak pantas dikenakan gadis itu."Oh, ini, Emma yang memberikannya. Katanya, bajuku belum dicuci—""Lepaskan!""Apa?""Aku tidak suka baju istriku digunakan olehmu," ujar Darryl menekankan kalimatnya. "Jadi lepaskan sekarang!"Elena yang awalnya kebingungan, seketika terkejut. Harusnya dia sudah menduga ini, tidak mungkin Darryl menyiapkan baju untuknya, tapi dia juga tidak salah. Baju itu diberikan Emma, bukan karena dia minta sendiri. Mustahil juga baginya melepaskannya. Apa Darryl ingin melihatnya telanjang? Maniak gila itu benar-benar tidak tahu malu. "Kau bercanda?""Tidak."Brak!Elena refleks menggebrak meja makan dengan emosi. "Aku memakai baju ini bukan atas kemauanku! Kalau aku melepaskannya, apa yang harus aku pakai! Kau ingin aku makan sambil telanjang?""Itu tidak masalah." Darryl menjawab dengan tenang, tapi mata tajamnya tetap menatap Elena yang berdiri serta memprotes. Dia melihat kemarahan meluap-luap dalam sorot mata wanita muda itu. Sepertinya Elena sangat kesal."Bajingan ini—""Kau mengumpatku?"Darryl menggeram. Dia mengepalkan kedua tangannya dan menahan marah saat mendengar umpatan Elena padanya. Gadis itu sama sekali tidak tahu diri dan berani melawannya. Apa dia pikir, dia akan diam meski ada anaknya? Elena butuh diberi pelajaran. Darryl yang tersinggung, hendak berdiri untuk menghampiri Elena, tapi sebelum sesuatu yang buruk terjadi, sebuah sentuhan dirasakannya. Ezekiel memegang tangannya."Ayah, Iel lapar. Iel mau makan sekarang, iya 'kan Tante? Tante pasti juga lapar." Ezekiel menatap keduanya bergantian. Wajah khas anak kecil yang lugu pun, berhasil memenangkan Darryl maupun Elena yang kini duduk kembali."Ezekiel—"Kruuyyuk!Ucapan Darryl terhenti seketika, saat dia mendengar suara perut anaknya berbunyi. Kemarahan dan pertengkaran kecil yang sempat terjadi, seketika dilupakannya. Walau bukan berarti dia akan memaafkan Elena atas sikap arogannya. "Baiklah, ayo makan.""Yey! Tante, ayo, Tante juga makan!""Ah, iya."Elena tergagap saat Ezekiel menatapnya dengan senyum lebar. Bocah lelaki itu memiliki pesona yang jauh beda dari ayahnya yang bajingan. Membuat dia pun tidak bisa menolaknya. Termasuk dirinya yang kini milih patuh. Elena pada akhirnya mulai menikmati sarapan itu, walau dia sempat berdebat dengan Darryl."Kamu pilih-pilih makanan lagi, Ezekiel," tegur Darryl di tengah sarapannya saat melirik anaknya memisahkan sayuran di pinggir dan hanya menyantap daging. "Kalau terus begini, kamu tidak akan tumbuh dewasa.""Ugh, Ayah, tapi Iel tidak suka sayur.""Kamu harus mencobanya sedikit."Perkataan dan sikap lembut Darryl pada Ezekiel, menarik perhatian Elena yang saat ini sedang makan. Melalui sudut matanya, dia memerhatikan pria tua itu yang tampak sangat menyayangi anaknya. Kelembutan yang tidak pernah dia lihat. Jika seperti ini, Darryl seperti manusia normal dan ayah pada umumnya, berbeda dari kemarin. Elena tanpa sadar mendengkus ketika mengingat kembali kejadian menakutkan semalam. Nyawanya hampir saja melayang."Tapi, Ayah—""Kalau kamu tidak menurut, Ayah tidak akan mengabulkan permintaanmu.""Tidak bisa! Ayah 'kan udah janji kalau Tante Elena akan jadi pengasuh Iel!""Uhuk!"Elena tersedak. Dia terkejut dengan apa yang didengarnya. Pengasuh? Apa dia salah dengar? Dia mau dijadikan pengasuh? Pengasuh anak dari orang yang hampir membunuhnya kemarin? Elena terbengong sesaat, sebelum kemudian melotot tajam pada ayah dan anak yang masih berdebat tentang dirinya."Kalau kamu makan dengan benar, Ayah akan kabulkan. Kalau tidak, sebaiknya lupakan saja.""Ugh, baiklah, Iel tidak akan pilih-pilih makanan lagi, tapi Iel mau Tante Elena jadi pengasuh Iel," ujarnya dengan penuh permohonan. Ezekiel memasang wajah memelas sembari menatap Elena."Ya, mulai sekarang, Elena akan menjadi pengasuhmu.""Yeey! Makasih, Ayah!"Ezekiel bersorak paling senang setelah mendengar perkataan ayahnya, tapi tidak bagi Elena yang justru kebingungan. Dia bahkan tidak dilibatkan dalam pembicaraan. Pendapatnya juga tidak ditanyakan. Apakah dia mau atau tidak, Darryl tidak bertanya. Pria tua tidak tahu malu seenaknya mengambil keputusan."T-tunggu! Aku ingin bicara denganmu! Tunggu sebentar!" teriak Elena yang kini berjalan mengejar Darryl. Acara sarapan pagi telah selesai dan pria itu langsung pergi sebelum Elena sempat melayang protes, atas apa yang diputuskan Darryl seenaknya. Dia juga terpaksa meninggalkan Ezekiel seorang diri dan mengejar Darryl, yang pada akhirnya masuk ke dalam ruangan. Pria itu tidak mengindahkannya sedikit pun sampai saat Elena menarik lengan bajunya 'lah, Darryl baru berhenti. Tak hanya berhenti, pria itu juga akhirnya menoleh, meski dengan wajah kesalnya. "Apa yang kau lakukan?""Aku ingin bicara denganmu! Aku sudah memanggilmu dari tadi!" Rasanya Elena ingin mengumpat dan mengatai Darryl tuli, tapi dia yang masih ingin hidup, terpaksa menahan lidahnya agar tak salah ucap. Elena tidak mau nyawanya melayang lagi, apalagi mengingat di sini tidak ada Ezekiel yang akan menghentikan pria itu. "Apa yang ingin kau bicarakan?"Darryl menyingkirkan tangan Elena yang memegang tangannya dan melangk
"Pa, katakan sebenarnya! Di mana Elena?"Seorang lelaki muda terlihat berjalan mendekati ayahnya yang saat ini sedang duduk santai sambil nonton televisi. Dia menahan gemas sekaligus kesal karena tak mendapat jawaban yang diinginkan sejak semalam. Namun sayangnya, kehadirannya kali ini pun tak diacuhkan. Lelaki yang disebutnya ayah itu, malah terus sibuk menonton berita di televisi. Sampai akhirnya, tak tahan dengan rasa jengkel, dia langsung mencabut kabel televisi dan membuat TV itu mati seketika. "Apa yang kamu lakukan Marcell! Papa lagi nonton! Kamu tidak ada sopan-sopannya sama orang tua!""Papa tidak menjawab pertanyaanku! Di mana Elena! Kenapa dia tidak ada?" Marcell yang kepalang jengkel, menaikkan nada suaranya tanpa peduli jika orang yang diteriaki adalah ayahnya sendiri. Dia sudah melontarkan pertanyaan yang sama sejak kemarin sore, tapi ayahnya tidak menjawabnya sama sekali dan beralasan tak enak badan. Padahal dia kelimpungan mencari keberadaan Elena, yang merupakan sep
Di depan sebuah rumah besar nan mewah, sebuah mobil berhenti. Pintu gerbang yang tadi sempat terbuka lebar, kini tertutup kembali dan dikunci rapat. Matahari sudah kembali ke peraduannya dan sebentar lagi malam akan tiba. Seorang pria yang tidak lain adalah Darryl, keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia yang tadi siang harus pergi karena ada urusan untuk sesuatu hal, akhirnya bisa kembali. Walau mungkin, dia juga akan pergi lagi nanti malam. "Selamat datang, Tuan.""Hmm." Darryl menanggapi sapaan Emma dengan gumaman singkat. Dia melangkah masuk tanpa memedulikan wanita itu. "Di mana Ezekiel?""Tuan Muda tadi ada di ruang tengah bersama Nona Elena, Tuan. Anda mau melihatnya?""Ya, aku akan melihatnya. Tolong ambilkan air minum.""Baik."Darryl mempercepat langkahnya. Dia tidak sabar untuk melihat anaknya, tapi saat sampai di ruang tengah, dia justru tidak mendapati keberadaan Ezekiel. Hanya ada seseorang yang tampak tertidur dengan kepalanya telungkup di meja. Itu
"Ayah, Ayah, Iel malam ini mau tidur lagi sama Tante, boleh tidak?" Ezekiel bertanya. Memecah keheningan di ruang makan yang begitu dingin serta kaku sebelumnya. Membuat Darryl yang sedang memotong daging dengan anggun pun harus berhenti dan menatap mata Ezekiel yang berbinar. Sedangkan Elena yang juga ada di sana, tampak acuh tak acuh. Gadis itu justru sibuk makan karena memang sangat kelaparan. "Elena memiliki kamarnya sendiri. Kamu tidak bisa terus tidur dengannya, Ezekiel.""Tapi, Ayah—""Kamu bukan bayi, Ezekiel. Kamu harus mulai belajar untuk tidur sendiri," tegur Darryl dengan halus pada putranya. Dia tidak berharap Ezekiel akan terus bersama dengan Elena, karena dia sudah meminta pelayan untuk menyiapkan kamar yang akan ditempati gadis itu. Namun karena teguran tegasnya, wajahnya putranya tampak murung, seolah anak itu kehilangan semangatnya hanya karena Elena. "Baik, Ayah."Suasana meja makan pun seketika kembali hening dan canggung. Tidak ada lagi yang bicara dan itu membu
Keesokan harinya. Elena duduk tenang di sofa sambil mengamati Ezekiel yang saat ini tengah belajar dengan seorang guru wanita. Mereka tampak asyik belajar huruf sampai-sampai Elena merasa bosan dan menghela napas beberapa kali. Tentu bukan hanya itu saja, dia juga murung karena kejadian semalam. Uang yang dikumpulkan di rekening bank miliknya pasti sudah dikuras oleh orang yang menemukan ATM-nya. Itu benar-benar sangat disayangkan. Dia mengumpulkannya dengan susah payah selama ini karena ingin membeli sesuatu. Elena juga mulai merindukan sepupunya, Marcell. Apa lelaki itu akan tahu dan mencarinya? Hanya Marcell satu-satunya harapan bagi Elena saat ini. Kakak sepupunya yang begitu menyayanginya. Seandainya tantenya masih ada, dia pasti tidak akan dijual ke sini oleh pamannya. Kenapa orang baik harus mati lebih cepat? Elena menghela napas kasar. Cukup lama, Elena larut dalam pemikirannya, hingga dia tidak sadar ketika guru privat Ezekiel memandangnya dan berjalan mendekatinya. Dia ba
"Yo, Darryl!"Sebuah suara keras terdengar menyapa Darryl, saat dia sedang menikmati waktunya memandangi orang-orang bermain judi. Dia satu-satunya orang yang tidak tertarik melakukannya saat para wanita dan pria asyik bermain. Darryl lebih senang menjadi pengamat saja di lantai atas sambil menikmati segelas tequila miliknya. Namun kehadiran seseorang membuat perhatiannya teralihkan. Dia menatap seorang pria berpakaian rapi mendekat ke arahnya sambil tersenyum lebar. Pria yang seumuran dengannya. "Mike.""Apa kabar? Tumben kau berada di sini?"Darryl menyambut jabatan tangan Mike yang penuh semangat. "Sangat baik. Aku hanya ingin melihat-lihat.""Mau coba main?" tawar Mike sambil melirik ke arah bawah di mana banyak permainan yang bisa mereka mainkan. Orang-orang juga tampak begitu asyik. Sayangnya, Darryl yang memang pada dasarnya enggan melakukannya, langsung menggeleng tanpa berpikir dua kali. "Tidak akan ada untungnya aku bermain.""Kau bercanda? Memang siapa yang membuat tempat
"Apa kau tidak berniat melanjutkan hidupmu? Sudah waktunya kau belajar untuk merelakan kepergian istrimu." Darryl melangkah masuk ke dalam rumah dengan perkataan Mike yang terus berdenging di telinganya. Dia sudah mendengar perkataan itu beberapa kali dari orang lain selama ini, tapi dia belum bisa melakukannya. Darryl masih belum rela dengan kepergian istrinya. Bagaimana mungkin mereka semua menyuruhnya melupakan dan melanjutkan hidup, sedang kematian Kayleen masih saja membayanginya? Darryl menarik napas kasar dan perlahan melangkah semakin ke dalam. Dia yang minum cukup banyak hari ini, sedikit pusing. Namun untungnya, lampu rumah masih menyala terang, sehingga dia bisa melihat jalan dengan jelas. Walau Darryl bingung, siapa orang yang masih bangun di jam segini? Apa ada seseorang yang menunggunya? Tidak, tidak mungkin. Darryl menggelengkan kepalanya dan kembali melangkah menuju dapur. Dia ingin menenangkan pikirannya yang lagi-lagi tertuju pada mantan istrinya. Dia juga harus m
"Emma, apa kau sedang menyiapkan sarapan?"Elena melangkah mendekati dapur dan mengejutkan Emma yang saat ini sedang memasak. Wanita itu menoleh ke arahnya. "Anda mengejutkan saya, Nona pengasuh. Iya, saya sedang membuatkan sarapan.""Apa aku boleh membantu? Aku ingin tahu, apa yang Ezekiel sukai.""Saya tidak ingin merepotkan Anda, Nona. Ini sudah menjadi tugas saya," tolak Emma dengan halus. Elena yang mendengarnya sedikit kecewa. Bibirnya merengut. "Tapi aku benar-benar ingin membantu, Emma. Tolong, aku bisa memasak kok."Emma diam dan menatap Elena yang menatapnya dengan ekspresi penuh permohonan. Gadis muda yang kini terlihat lebih bersemangat setelah sebelumnya marah-marah dan murung. "Baiklah, Anda bisa membantu. Tolong masak cuminya. Tuan muda menyukai cumi.""Tentu!"Jika itu demi Ezekiel, maka Elena bisa melakukannya. Dia akan membuatkan makanan anak itu dengan masakan buatannya. Elena sebenarnya merasa bosan karena pekerjaannya hanya mengawasi Ezekiel atau bermain denganny