Halo My Readers! Kalau kalian suka cerita ini, silakan tinggalkan komen yang banyak ya. Jangan lupa untuk memberi bintang, tuliskan pendapatmu tentang buku ini. Jangan lupa juga untuk share link buku ini ke teman-temanmu supaya mereka juga baca ya. Terima kasih.
Seketika Kian terkejut bukan main. Ia melebarkan matanya, membeku. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia tidak bisa membalas ciuman Helga meski sebenarnya dalam hatinya ia ingin sekali menarik wanita itu dalam pelukannya, lalu membaringkannya di ranjang. Mereka kemudian akan bercinta sampai beronde-ronde. Demi apa pun, Kian amat sangat merindukan Helga.Helga terus mendesaknya, menciumnya lebih dalam lagi. Kian pun nyaris luluh. Ia hanya bisa diam, membiarkan Helga menciumnya. Hal itu juga supaya Helga berhenti sendiri karena Kian tidak meresponnya.Wanita itu terlalu lama untuk menyadari jika Kian hanya diam saja mematung, tidak memberi sedikit pun celah bagi Helga untuk mendapatkan kembali hatinya. Helga melepaskan ciumannya dan menatap Kian dengan mata yang masih berkaca-kaca.Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu berkata, “Aku masih mencintaimu, Kian.”Kian tahu jika Helga akan berkata seperti itu. Ia tidak menjawabnya. Kian tidak bisa berbohong, tapi ia juga tidak bisa mengakui p
Laureta melebarkan matanya. Ia kesal bukan main. Kian memang berhak untuk melakukan apa saja yang ia inginkan. Namun, Laureta pun bisa marah.Beruntung, ia sedang sangat kelaparan. Jadi, ia hanya mendelik pada Kian sambil mengunyah sarapannya. Kian si pria menyebalkan, sama sekali tidak merasa bersalah. Ia malah tersenyum geli sambil memandang Laureta.“Laura, Laura. Kamu itu lucu sekali kalau sedang marah. Kamu marah, tapi kamu juga sedang lapar. Tak ada yang bisa mengganggumu jika sedang makan, ya kan?”Laureta tidak mau menjawab Kian. Pria itu sepertinya akan mengejeknya lagi. Kian memotong roti lapisnya dengan pisau, lalu menusuknya dengan garpu. Sikapnya sungguh elegan. Tidak seperti Laureta yang menyantap roti lapisnya dengan tangan, membuka mulut lebar-lebar dan menggigitnya dengan rakus.“Pelan-pelan,” tegur Kian.Pria itu masih terus menerus memperhatikan Laureta hingga ia jadi salah tingkah. Jadi, Laureta mengalihkan pandangannya ke kolam renang. Di tempat itu, ia membuka ka
Ciuman Kian benar-benar memabukkan. Pria itu sudah beberapa kali mencium bibirnya. Tubuhnya mulai merespon dengan baik. Ada sesuatu dalam dadanya yang menanti Kian menciumnya lagi, menyentuhnya, membuatnya mabuk meski tanpa minuman alkohol.Ketika Laureta mulai membalas ciuman Kian, pria itu melepaskannya. Ia mengusap rambut Laureta, merapikan poninya yang berantakan. Lalu ia berkata, “Kamu tidak tahu apa yang sudah kulewati tadi malam. Anggap saja, aku kembali demi dirimu.”“A-apa maksudnya?” tanya Laureta, masih kesulitan mengendalikan gemetar di suaranya.“Tidak ada maksud apa-apa. Sudahlah, kamu tidak perlu tahu.” Kian mengacak-ngacak rambut Laureta, lalu membalikan badannya dengan cepat. Ia mengambil gelas jusnya, lalu menghabiskannya. “Jangan lupa, kamu sudah kalah push up. Kamu harus mengikuti keinginanku hari ini.”Laureta masih bergeming di tempatnya. Otaknya berputar, masih belum memahami perkataan Kian. Pria itu malah bicara aneh setelah mencium Laureta. Kesadarannya masih
Kuliah. Hal itu sudah lama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Laureta lagi. Ia sudah lama menjadi instruktur zumba dan senang menjalaninya. Anggap saja jika hal itu sebagai hobby yang dibayar. Namun, kuliah ….“Entahlah. Aku masih belum berpikir untuk kuliah lagi. Kita lihat saja nanti.”“Oke. Tidak masalah. Beritahu aku saja jika kamu memang ingin kuliah. Aku akan mencarikan universitas yang bagus untukmu.”“Terima kasih. “Laureta mengangguk canggung. Ia harus membelokkan pembicaraan ini supaya Kian menceritakan lebih banyak tentang dirinya sendiri.“Uhm, omong-omong seperti apa kakakmu itu?” tanya Laureta tiba-tiba.“Oh, Elisa. Dia adalah kakak yang ambisius.”“Oh ya?”“Ya, dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling sempurna di antara semuanya. Saat aku masih kecil, tahta tertinggi di rumah dikuasai oleh kakakku. Untungnya, hal itu tidak berlangsung selamanya. Ayahku menempatkanku di The Prince untuk melanjutkan bisnis keluarga. Ayahku lebih suka anak laki-laki yang memegang pe
Kian tersenyum dalam hati melihat ekspresi Laureta yang lucu. Satu hal yang Kian yakini bahwa mencium Laureta tidak pernah salah. Wanita itu adalah istrinya dan ia berhak mendapatkan bagian yang indah itu. Ya, bibirnya sangat indah dan lembut.Hari itu, Kian menghabiskan waktunya dengan memancing. Laureta ingin snorkeling, tapi ia tampak ragu karena tidak ada yang menemani. Jadi, Laureta pun menemani Kian memancing sampai mereka mendapatkan tiga ekor ikan yang besar.Kian melepaskan kembali ikan-ikan itu ke laut. Setelah itu, ia pun melepaskan kemejanya dan ikut terjun ke laut bersama Laureta.Airnya surut. Kian dan Laureta sama-sama berdiri di atas karang yang sudah mati. Lalu mereka mengenakan kacamata scuba yang terdapat selang untuk bernapas.Tampaknya Laureta tidak membutuhkan pelampung. Wanita itu bisa berenang dengan sangat baik. Terdapat banyak ikan-ikan laut yang berwarna-warni. Laureta tampak kegirangan saat tangannya memegang roti, lalu para ik
Mendengar hal itu, Laureta melebarkan matanya. Kian segera membuat mata itu tertutup saat bibirnya mencium bibir Laureta. Ciuman itu terasa intens karena Laureta membalas ciumannya. Wanita itu jadi semakin ahli dalam hal mencium.Tangan Kian bergerak untuk meremas bulatan milik Laureta yang begitu padat dan sintal. Tak ada penolakan dari wanita itu. Laureta justru tampak menikmati sentuhan Kian karena mulutnya tak henti-hentinya mengerang dan mendesah.Kian meraba pinggangnya yang ramping. Ia telah melihat perut Laureta yang berotot kemarin. Kian jadi tidak sabar untuk melihatnya lagi. Tidak hanya perut, tapi juga yang lain-lainnya.Hanya butuh waktu beberapa detik saja untuk mereka melepaskan semua pakaian. Ciuman mereka masih terus berlanjut sambil Kian terus menerus menyentuh tubuh Laureta. Tanpa menunggu lama, Kian langsung menggendong Laureta ke kamar mandi.Wanita itu terkejut, tapi ia pun terlalu dipenuhi gairah yang sama seperti yang dirasakan Kia
Laureta tidak yakin Kian mendengarnya berbicara. Ia jadi malu karena mengungkapkan perasaannya. Namun, ada bagusnya juga Kian tertidur lagi. Perlahan Laureta melepaskan pelukannya.Gairah telah membutakan mata dan hati Laureta. Ia cukup yakin jika awalnya ia berniat untuk menolak Kian. Ia masih muda dan masih perawan. Ia tidak akan membiarkan Kian merenggut kesuciannya.Namun, ia telah berjanji di hadapan altar bahwa ia akan menjadi istrinya Kian. Ia tidak mungkin mengelak dari keinginan nafsu yang justru berasal dari dirinya sendiri.Ciuman serta sentuhan Kian sungguh membuatnya kehabisan akal. Ia merasa dirinya berada di awang-awang. Seluruh inderanya aktif, seolah apa pun yang Kian sentuh akan membuat tubuhnya meledak bagai serpihan debu.Laureta tidak bisa menolak Kian. Ia bahkan menikmati semua itu hingga ia merasa takut. Apakah gairah ini begitu besar? Ia merasa dirinya telah berkhianat pada Erwin.Ia pernah bersumpah bahwa ia hanya akan menc
Para pelayan dengan sigap menurunkan koper Kian dan Laureta dari mobil. Lalu mereka membawa koper-koper itu masuk ke dalam rumah.Laureta masih meremas koper kecil yang selama ini selalu ia bawa ke dalam kabin pesawat. Isinya berupa baju ganti yang bersih dan kosmetik yang sebenarnya tidak pernah Laureta gunakan. Para pelayan tidak mengambil koper itu dari tangannya.“Mama bilang kamu akan pulang minggu depan,” ujar Elisa sambil melipat tangannya di dada. “Kenapa kamu pulang hari ini? Apa kamu tidak betah main di sana? Atau mungkin kamu tidak menemukan wanita yang cantik di sana?”“Apa maksudmu? Istriku adalah wanita yang paling cantik,” tukas Kian.“Aku tidak sedang membicarakan istrimu.”“Tidak perlu bicara omong kosong, Elisa,” timpal Kian dengan wajah yang dingin. “Aku harus pulang karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Tidak sepertimu yang bebas main kapan saja. Ah, itu karena kamu tidak punya pekerjaan yang penting.”“Astaga! Jaga ucapanmu, Kian!”“Omong-omong, tumben s