Laureta mencari-cari lemari untuk ia menaruh pakaiannya. Tiba-tiba, ia merasa jika dirinya mungkin tidak pantas jika memiliki lemari pakaian sendiri. Ia menatap kopernya yang sepertinya sudah cukup untuk menaruh seluruh pakaiannya.Laureta menghela napas. Ia mengeluarkan lingerie coklat mudanya yang kemarin ia pakai. Lingerie itu sudah bersih dicuci dan wangi pelembut pakaian.Kian hanya mandi sebentar saja, lalu ia keluar hanya berbalut handuk di pinggangnya. Rambutnya masih basah, membuatnya tampak seksi. Laureta mengatur napasnya. Saat ini jelas bukan saat yang tepat untuk terpesona pada pria itu.Kian tidak menoleh padanya sedikit pun. Pria itu berjalan ke sebuah ruangan lain. Laureta mengintip Kian sedikit. Ia hanya penasaran, ada ruangan apa lagi di balik sana. Sayangnya, nyalinya ciut.Laureta menunggu, tapi pria itu tidak muncul juga. Jadi, ia masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri secepat mungkin. Kamar mandinya sangat mewah, jauh lebih hebat dari kamar mandi di hotel. Sa
Kian melebarkan matanya. “Laura …,” bisiknya.“Hmmm,” erang Laureta masih dengan mata yang terpejam.“Kamu sudah tidur?”“Hmmm.” Laureta mengerang lagi. Lalu ia terkekeh pelan. “Aku sedang membalasmu, Kian. Hmmm. Hmmm. Kamu suka menjawabku dengan satu kata hmmm.”“Oh ya?”“Hmmm,” jawabnya lagi.Kian melengkungkan senyumnya dengan ekspresi heran. Apakah Laureta benar-benar tertidur atau hanya mengigau, ia tidak yakin.Setidaknya, di antara segudang masalah yang terjadi dalam hidupnya, Kian merasa ada seseorang yang bisa menghiburnya. Jika suatu hari nanti mereka akan berpisah, Kian mungkin akan merindukannya.Kian mengusap kepala Laureta dengan sayang, lalu mengecup keningnya. Untuk saat ini, biar wanita itu menjadi wanita kesayangannya. Untuk menghasilkan buah hati yang baik dan berkualitas, tentu saja Kian harus menyayanginya dan membuatnya bahagia.Kian mematikan lampu kamarnya dan menyisakan satu lampu tidur yang remang-remang. Lalu ia mengenyakkan tubuhnya di kasurnya yang kini ja
Laureta terbangun pagi itu. Ia membuka matanya perlahan, lalu mengerjap beberapa kali. Ternyata ia sedang berada di kamar Kian. Kamar ini benar-benar luas seperti satu rumah, tapi isinya hanya kamar saja.“Luar biasa,” ujar Laureta sambil tersenyum.Ia meregangkan ototnya sambil membuka kaki dan tangan selebar mungkin. Seketika ia menyadari jika ia sendirian di sana.“Eh, di mana Kian?”Laureta duduk, lalu menoleh ke sebelah kasurnya yang kosong. Lalu ia berjalan menuju ke ruang kerja dan ke seluruh ruangan, tidak ada Kian di mana pun.“Aduh gawat! Kian kenapa pergi?”Laureta mengeluarkan ponselnya dan mencoba untuk menelepon Kian. Namun, ia teringat jika pria itu sedang dalam mood yang tidak baik. Sebaiknya Laureta tidak mengganggunya. Ia mencoba menenangkan dirinya dan kemudian bersikap senormal mungkin.Ia mandi, lalu masuk ke walk-in closet yang fenomenal itu. Hatinya kembali terhibur. Ruangan itu bagaikan ruang harta karun. Laureta menemukan kaus longgar yang tampak nyaman untuk
Kian menatap Helga dari bawah ke atas. Wanita itu mengenakan halter blouse berwarna biru elektrik dan bawahan berupa rok midi di bawah lutut. Sepatunya hak tinggi berwarna hitam dengan tali-tali yang membelit hingga ke betisnya.Wanita itu benar-benar tampak seksi dan elegan seperti biasa. Belum lagi riasan wajahnya yang tampak maksimal dan rambutnya yang coklat kemerahan ditata ikal di bagian bawahnya. Helga memang sangat cantik.“Kamu menemuiku sepagi ini? Untuk apa?” tanya Kian.“Untuk mengungkapkan isi hatiku.” Helga merapikan rambutnya dengan gaya yang anggun.Kian mengulum senyum. Ia merasa senang karena akhirnya, Helga berusaha untuk mengejarnya. Namun, di sisi lain, ia tidak ingin jika Helga sampai merusak rencananya.“Ungkapkan saja sekarang, setelah itu kamu boleh pergi.”Helga mendecak kesal, lalu bibirnya mencebik. “Sekarang ini kamu jadi lebih senang bersikap dingin padaku. Mau sampai kapan kamu akan begini terus? Apa kamu tidak lelah berpura-pura membenciku padahal kamu
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Erwin.“A-aku …, aku mau makan.” Lebih baik Laureta mengaku daripada ia diam saja seperti orang bodoh.“Kamu baru bangun jam segini?” Erwin mengangkat alisnya sebelah sambil berwajah masam. “Dasar pemalas. Kamu aneh sekali mengenakan pakaian seperti itu. Apa pamanku tidak membelikanmu pakaian yang bagus?”“Tidak usah mengomentari pakaianku! Lagi pula, aku bukan pemalas! Sudah sejam yang lalu aku bangun. Kamu sendiri, sedang apa di sini?” Laureta bertanya balik. “Kamu juga pemalas,” imbuh Laureta dengan suara pelan.Erwin mendecak sambil menyipitkan matanya. “Aku juga mau sarapan.”Ia berjalan ke arah pintu yang berada di dekat sana. Ia membukanya, kemudian berbicara dengan seorang pelayan.“Mbak, aku mau makan nasi goreng. Jangan pakai telur ya,” kata Erwin.Laureta tidak mau ketinggalan. Ternya
Tangan Laureta gemetar sedikit, antara kelaparan atau terlalu tegang berhadapan dengan sang mantan. Ia tersenyum puas. Setidaknya, ia bisa melawan pria itu. Meski begitu, ia juga jadi khawatir jika sampai ada pelayan yang mendengar pembicaraannya dengan Erwin.Ruangan ini sangat luas. Suara Laureta mungkin tidak akan terdengar sampai ke mana-mana. Semoga saja para pelayan sedang sibuk menyiapkan makanan untuk makan siang. Tentu saja, mereka tidak akan sempat mendengarkan pertengkarannya dengan Erwin.Laureta menyelesaikan sarapannya yang kesiangan, lalu hendak kembali ke kamarnya. Namun, sayang sekali jika ia melewatkan pemandangan taman yang sangat indah. Saat ia pertama kali tiba di tempat ini, ia tidak sempat jalan-jalan dan melihat keindahan istana ini.Cahaya matahari menyinari tanaman-tanaman yang ada di taman. Cerah sekali. Udaranya terasa bersih dan segar. Ini baru taman di dekat ruang makan. Taman yang ada di dekat kolam renang jauh lebih luas lagi. Lau
Helga menatap Kian selama beberapa detik, tak sanggup membalas perkataan Kian sama sekali. Tentu saja, karena apa yang Kian katakan itu memang benar.“A-aku tidak pernah …,” ujar Helga terbata-bata.“Aku tidak butuh pengakuanmu karena itu terlalu menyakitkan bagiku. Aku sudah mengetahuinya sejak lama.”Kian telah melepaskan tangan Helga. Wanita itu mengusap air matanya lagi. Sungguh miris, melihat wajah Helga yang sedih penuh penyesalan. Seandainya Kian bisa membalikkan waktu, ia ingin memperbaiki segalanya.Ia merasa jika dirinya mungkin kurang baik di mata Helga. Ia bukanlah pria yang manis, romantis, dan penuh perhatian seperti pria-pria lain yang sedang dimabuk cinta. Pada waktu itu, Kian masih sangat muda dan sedang berjuang untuk memajukan perusahaan ayahnya.Kian sadar, karena alasan itulah Helga akhirnya pergi meninggalkannya dengan alasan sekolah lagi di luar negeri. Dusta. Semua itu hanyalah kebohongan belaka.Terbersit di pikiran Kian untuk menanyakan tentang pria yang memb
“Apa?!” teriak Reksi di telepon.Laureta baru saja memberitahunya sahabatnya tentang Erwin. Ia sudah tak tahan lagi, ia butuh seseorang yang bisa diajak bicara.“Ya, Reks! Erwin itu keponakannya Kian.”“Ck ck ck,” decak Reksi. “Itu artinya kamu akan bertemu terus dengannya setiap hari. Aduh! Bagaimana ini? Apa kamu tidak bisa pergi saja dari rumah itu? Memangnya si Kian itu tidak punya rumah lain apa?”“Aku rasa dia bukannya tidak punya rumah lain, tapi memang ayahnya tidak mengizinkan dia untuk pergi dari rumah ini. Lihat saja kakak dan adiknya juga semua tinggal di sini. Rumah ini begitu besar dan luas, Reks. Aduh rumah ini bagaikan sepuluh rumah mewah dijadikan satu. Aku masih belum berkeliling ke seluruh sudut rumah. Berjalan dari kamar Kian ke ruang makan saja sudah jauh sekali.”Reksi terkekeh hambar. “Aku tidak bisa membayangkannya. Aku belum pernah berkunjung ke sana. Eh, Ta, kalau misalnya aku main ke sana boleh tidak?”“Jangan, Reks! Aku belum berani membawa tamu ke sini. Se