Apa pun lagu yang Erwin putar, tidak akan mampu meluluhkan hati Laureta. Meski harus ia akui kalau Erwin ternyata mau berusaha juga untuk mendapatkan hati Laureta. Sayang sekali, tidak ada jalan kembali. Laureta hanya akan mencintai Kian.
Hanya butuh waktu sebentar saja hingga mobil keluar dari pintu tol dan berbelok ke tempat yang Laureta cukup yakini akan Erwin datangi. Ya tentu saja. Erwin berhenti di depan sebuah café tempat pertama kali mereka berkencan.
Waktu itu, Erwin mengajaknya makan ke café itu. Lalu mereka berciuman di taman yang ada di belakang café tersebut yang menghadap ke pemandangan kota Bandung yang cantik.
Jika mengingat hal itu, Laureta bukannya senang, tapi malah jijik. Ia malu sekali karena pernah membiarkan Erwin mencium bibirnya. Seharusnya bibirnya ini hanya untuk Kian seorang.
Namun, tak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi. Setidaknya, Laureta termasuk cukup berpengalaman kalau soal berciuman. Ia ja
“Aku tahu, aku memang sudah gila. Aku gila karenamu, Ta. Aku masih mencintaimu seperti aku telah kehilangan akal sehatku. Aku memikirkan berbagai cara untuk mendapatkanmu kembali, tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain mengambil tindakan ekstrim. Ya, hanya ini yang bisa kulakukan, Ta. Aku masih mencintaimu dan aku bahkan semakin mencintaimu setiap harinya.”Erwin mengusap air mata yang tiba-tiba membasahi matanya. Matanya tampak merah sekali.“Tata, aku mencintaimu.”Laureta membuang wajahnya sambil meringis. Mengapa setelah ia memutuskan untuk menikahi Kian, Erwin baru menyatakan kembali cintanya. Pria itu menawarkan semesta, tapi semua itu tidak bisa Laureta miliki.Bukannya bahagia mendengar pernyataan cinta Erwin, Laureta justru kasihan padanya dan makin tidak menyukai pria itu.“Tata, katakan sesuatu. Aku mohon. Katakan kalau kamu sebenarnya tidak pernah mencintai Om Kian. Kamu hanya mencintaiku, ya kan, Ta. Ka
Satu hari sebelumnya.“Reks, bisakah kita bertemu?”“Untuk apa kamu ingin menemuiku? Aku rasa ini bukan ide yang bagus,” ucap Reksi sambil menautkan alisnya bingung.Ia menatap ponselnya seolah tak percaya dengan yang baru saja ia dengar. Dalam kurun waktu yang cukup lama, Erwin tidak pernah menghubunginya. Lantas, untuk apa pria itu tiba-tiba mencarinya?“Aku tahu, tapi aku bingung harus bicara dengan siapa lagi,” ucap Erwin yang suaranya terdengar parau. “Setidaknya, kita pernah berteman.”Reksi menghela napas. “Sampai sekarang pun aku masih temanmu, Erwin. Sebenarnya, apa pun yang terjadi antara kamu dan Tata memang tidak ada sangkut pautnya denganku. Hanya saja, aku tidak menyangka kalau kamu akan menghubungiku.”“Iya, Reks. Jadi, apa aku boleh menjemputmu?”Reksi mengangguk. “Baiklah. Datang saja ke studio. Aku baru selesai senam.”Hanya perlu menunggu sepuluh menit saja, Erwin sudah datang. Pria itu membawakan Reksi segelas minuman kopi dingin.“Terima kasih, Erwin,” kata Reksi
Reksi merasa seperti ada yang bergetar di dalam dadanya. Meskipun pria itu hanyalah Erwin, tapi ia senang kalau ada orang yang mengajaknya pergi makan.“Kamu sendiri memang sudah tahu jawabannya, Erwin. Tata pasti akan menolakmu.” Reksi mengangguk perlahan sambil tersenyum.Entah bagaimana, Erwin tampak seperti yang sudah bersiap-siap untuk hari esok bahwa ia pasti akan menerima penolakan. Reksi tidak tahu sudah berapa banyak Erwin berusaha untuk mendapatkan Laureta kembali.Lagi-lagi, Reksi merasa cemburu karena selama ini, tidak pernah ada pria yang berusaha untuk mendapatkan hatinya. Waktu awal ia berpacaran dengan Theo pun, ia yang menyatakan cintanya terlebih dahulu. Dan ketika mereka putus, Theo dulu yang memutuskan hubungan mereka.Seperti itulah rasanya jika mencintai seseorang secara sebelah pihak. Sang kekasih tidak membalas cintanya. Sungguh sangat menyakitkan. Mungkin seperti itu pula yang Erwin rasakan saat ini.Mungkin saja. Nyatanya, kejadiannya sangat berbeda dengan ya
Laureta menghampiri Reksi yang sedang berdiri di depan toko jam tangan. Sahabatnya itu mengenakan blouse berwarna biru tua yang tampak pas sekali di tubuhnya yang langsing. Tidak biasanya, sahabatnya itu mengenakan lipstik dan bedak yang membuat wajahnya tampak sangat cantik.“Reksi!” panggil Laureta.Sahabatnya itu menoleh, lalu melihat Laureta dengan wajah tegang, seperti yang terkejut. Reksi pasti tidak menyangka jika akan bertemu dengan dirinya, pikir Laureta.Senyum Laureta mengembang. “Reks, sedang apa kamu di sini? Tumben kamu dandan. Cantik sekali kamu mengenakan baju ini.”Reksi memaksakan senyumannya. “Iya.” Hanya itu jawabannya.“Aku tadi meneleponmu beberapa kali, tapi kamu tidak menjawabnya,” ungkap Laureta sambil cemberut.“Oh iya, maaf. Tadi aku sedang senam kan, menggantikanmu. Jadi, aku tidak sempat menelepon balik. Memangnya ada apa kamu meneleponku?”“Hmmm, tahu kalau aku akan bertemu denganmu di sini, aku akan menjemputmu dan kita bisa pergi bersama.” Laureta menek
Seseorang mengangkat tangan Laureta, tapi ia tidak bisa melawan. Tubuh Laureta terasa lemas tak berdaya. Ingin membuka mata saja, rasanya berat sekali. Orang itu menekankan jarinya ke sebuah benda“Ponselnya sudah penuh baterainya?” tanya seorang pria.“Belum. Yang penting bisa menyala dulu saja,” jawab seorang wanita. “Ini sudah berhasil terbuka. Wah ada banyak telepon masuk dari Boss The Prince. Mungkin itu atasannya. Coba aku lihat lagi. Uhm, ya sudah aku telepon orang ini saja.”Laureta berhasil membuka matanya sedikit, yang terlihat hanya bayang-bayang kabut putih yang memenuhi penglihatannya. Ia ingin bersuara, tapi tenggorokannya terasa kering.“Yah, tidak diangkat teleponnya. Coba aku telepon nomor yang lain.”“Eh, jangan yang itu. Namanya Mantan. Telepon yang lain saja,” kata si pria.Laureta ingin kejang-kejang rasanya jika sampai orang itu menelepon Erwin. Seharusnya mereka menelepon Kian, tapi Laureta juga takut jika sampai Kian datang ke sini dan menyalahkannya karena hal
Reksi menghela napas, lalu membuang wajahnya. Ia melipat tangannya di dada sambil kesal. “Untuk apa aku mengaku? Apa pentingnya untukmu? Kamu kan hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu bebas melakukan apa saja yang kamu mau. Ya silakan saja. Aku tidak pernah protes. Lalu, kenapa sekarang kamu protes kalau aku bersama dengan Erwin?”“Kamu …!” Laureta seperti yang kehabisan kata-kata.“Apa? Kamu kan wanita yang sudah bersuami. Kenapa kamu masih memikirkan tentang mantanmu? Apa jangan-jangan kamu masih ada rasa padanya?”“Tidak! Itu tidak benar!” bantah Laureta.“Kalau begitu, kenapa kamu harus kesal?”Laureta sungguh bingung harus menjawab Reksi apa. Ia sendiri tidak mengerti untuk apa ia sekesal itu melihat Reksi bersama Erwin.“Kamu sendiri bingung kan? Ah, itu sudah jelas kalau kamu sebenarnya masih mencintai Erwin. Kamu bangga karena kamu bisa menikahi omnya, lalu Erwin pun masih mengejar-ngejarmu. Kamu merasa seperti yang berada di atas angin. Aku salut padamu, Ta. Kamu mema
Sejujurnya, Kian terpaksa berkata seperti itu. Laureta memasang wajah sedih, lebih seperti yang kecewa. Jika bisa disebut, Kian yang lebih sedih karena ia sendiri yang telah membelikan Laureta motor baru. Ia ingin menyenangkan Laureta, ingin memberinya kejutan spesial.Namun, yang ia temukan sekarang adalah Laureta terluka karena kecelakaan motor. Dalam kurun waktu yang singkat ini, Laureta telah mengalami kecelakaan motor selama dua kali. Kian tidak ingin melihat yang ketiga kalinya.“Kamu tidak serius kan, Kian?” Laureta masih menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.“Aku serius! Aku tidak ingin kamu sampai mengalami kecelakaan lagi,” ucap Kian tegas.“Aku kan tidak mungkin mengalami kecelakaan terus menerus. Ini hanya kebetulan saja.”Kian paling tidak suka dengan orang yang keras kepala dan membantah perkataannya. Ia ingin bersikap sabar, tapi rasanya sulit sekali.“Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu.” Kian membalikkan badannya, lalu kembali duduk di sofa.“Aku juga tidak i
Kian jadi menyesal. Seharusnya ia tidak membahas tentang hal-hal yang tidak berguna. Pikiran Laureta terlalu kritis. Kian harus mengalihkan perhatian Laureta.“Kenapa kamu senang sekali membahas tentang hal itu? Kamu sedang sakit, lebih baik kamu tutup mulutmu dan diam saja di kasur. Awas kalau kamu sampai turun lagi dari kasur! Aku akan memborgol tanganmu!”“Aku mau buang air kecil dan mengganti pembalutku!” rengek Laureta seperti anak kecil.“Pembalut?” tanya Kian bingung. Ia baru ingat kalau Laureta masih sedang menstruasi.“Iya! Kalau kamu tidak suka melihatku turun dari kasur, lalu bagaimana caranya aku ke kamar mandi?”Kian menghela napasnya, lalu membantu memegang tangan Laureta. “Aku akan membantumu berjalan ke kamar mandi.”“Apa kamu akan membantuku mengganti pembalutku juga?”“Aku tidak pernah menyentuh benda seperti itu. Bagaimana aku tahu caranya mengganti pembalut?!”Laureta terkekeh puas. “Aku hanya bercanda. Aku bisa menggantinya sendiri.”“Hmmm, kalau begitu sekalian s