Terdengar suara ketukan di pintu. Laureta baru saja menyendok dua suap nasi. Apakah itu Kian, pikir Laureta. Sepertinya tidak mungkin. Terlalu cepat pria itu kembali lagi ke kamar. Mungkin itu suster.“Iya!” seru Laureta. “Silakan masuk!”Butuh waktu beberapa waktu hingga pintu itu mengayun terbuka. Laureta tidak segera melihat ke arah pintu. Ia menaruh piring makannya di meja sampingnya, lalu menoleh ke arah pintu. Seketika Laureta terkejut.Seorang wanita tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sedih. Laureta nyaris tidak mengenal wanita itu, tapi kemudian ia melihatnya dengan lebih jelas.Ia terkesiap. “Mama?”Wanita itu mendekat perlahan dengan wajahnya yang seperti merasa bersalah. Laureta sedih sekali melihatnya. Ibunya mengenakan pakaian lusuh dan sendal yang tampak kotor.“Ta ….”Laureta menatap ibunya hingga berada tepat di sebelahnya. Laureta merasa iba, tapi ia juga merasa ibunya seperti orang asing yang tidak ia kenal.“Mama, apa yang terjadi? Apa Mama baik-baik s
Laureta baru menyadarinya sekarang. Rasanya tak terduga jika ibunya bisa tiba-tiba datang, menemuinya di rumah sakit. Jika memang ibunya membutuhkan pertolongannya, seharusnya sejak awal ibunya menemuinya.“Sebenarnya, aku sedang masa percobaan menjadi bagian kebersihan di rumah sakit ini. Tadi pagi, aku tidak sengaja melihat ada namamu di ruang gizi. Aku tidak menyangka kalau kamu menjadi pasien di sini. Jadi, aku langsung ke sini untuk menemuimu.”Laureta menganggukkan kepalanya perlahan. Jika ibunya memiliki pekerjaan yang tetap, itu adalah hal yang sangat bagus.“Jadi, sekarang Mama bisa punya pekerjaan. Aku pikir, tadi Mama bilang kalau Mama sudah tua ….”“Kebetulan ada teman yang membantuku. Jika aku sendiri, mana sanggup aku mencari pekerjaan. Hanya saja, aku tidak suka menjadi petugas kebersihan.”Laureta menautkan alisnya. “Oh, kenapa? Aku pikir tidak apa-apa mendapatkan pekerjaan apa pun yang penting halal.”Ibunya mendecak. “Aduh! Kamu tahu, sejorok apa toilet rumah sakit.
Kian menautkan alisnya. “Kenapa kamu berkata seperti itu? Hadiah apa maksudmu?”Laureta terkekeh pelan. “Entahlah. Kamu kan orangnya berlebihan. Mungkin saja kamu terlalu baik padaku hingga kamu memberikanku hadiah setelah aku pulang dari rumah sakit.”“Kamu terlalu percaya diri.” Kian menggelengkan kepalanya.Sebenarnya, Kian merasa sedih karena sepertinya ia harus mengurungkan niatnya untuk memberikan hadiah motor untuk Laureta. Namun, Kian sudah merencanakan sesuatu yang lain.“Tunggu sebentar. Aku harus menelepon Clara,” kata Kian sambil mengeluarkan ponselnya.“Oke. Uhm, Kian kalau kamu mau pergi bekerja juga tidak apa-apa. Aku bisa di sini sendiri. Lagi pula sebentar lagi kan aku sudah mau pulang.”Kian menyipitkan matanya. “Tidak usah banyak bicara. Biar aku yang urus semuanya. Hari ini aku bisa cuti.”Laureta tersenyum tipis. “Terima kasih ya.”
Sore itu, Kian memeriksa keadaan Laureta. Ia sedang tertidur pulas. Kian bisa mendengar suara dengkurannya.Kian keluar dari kamarnya, lalu berjalan menuju ke parkiran. Ia telah menutup hadiah motor itu dengan kain. Laureta pun tidak menyadari ada motor itu di sana. Namun, ia tidak mungkin membiarkan motor itu tetap di sana.Jadi, Kian berencana untuk mengirimkan motor itu ke rumah Clara. Sepertinya, ia tidak membutuhkan motor itu lagi. Clara bisa memilikinya.Selama seharian itu, Kian tidak ingin berbicara dengan Laureta. Jadi, lebih baik ia menyibukkan diri saja dengan pekerjaannya yang bisa ia tangani dari jarak jauh.Selesai bekerja, Kian ke ruangan olahraga dan mengangkat beban. Rasanya sudah lama sekali ia tidak berolahraga seperti ini. Ia tidak ingin otot-ototnya sampai kendor. Kian akan mulai rutin memasukkan olahraga ke dalam jadwal hariannya.Sejam kemudian, Kian pergi ke kolam renang. Di sana ada Erwin yang sedang diam di ujung kolam den
Ditatapnya Laureta dengan wajah sengit. Kian tidak bermaksud memusuhinya, tapi tetap saja sikap kasar itu muncul begitu saja tanpa ia sadari.Pikiran Kian masih campur aduk antara Erwin dan Reksi. Kian harus mencari tahu tentang banyak hal dari Reksi. Semoga saja wanita itu bisa diajak kerja sama. Kalau sampai Clara tidak berhasil mendapatkan nomor kontak Reksi, Kian akan meretas ponsel Laureta dan mencari tahu langsung.Sebenarnya, ia tinggal menanyakannya saja pada Laureta tentang nomor ponsel Reksi. Namun, Kian tidak tahu harus beralasan apa akan hal itu. Ia tidak punya urusan dengan sahabatnya Laureta itu. Selain itu, Kian terlalu gengsi untuk mengucapkan sepatah kata pun pada Laureta.“Aku merasa kalau sejak tadi kamu terus menerus memusuhiku,” ujar Laureta memecah keheningan. “Aku tidak tahu salahku apa. Bisa tidak kamu jelaskan sesuatu padaku?”Kian menautkan alisnya. “Tidak ada. Kamu tidak salah apa-apa.”Ia kembali menatap layar televisi dan seketika ia menyesal telah menonto
Laureta merasa bahagia dalam hatinya. Rasanya hidup ini terlalu unik baginya. Ia telah mengalami kesedihan dalam hidupnya karena tidak pernah ada yang peduli dan perhatian padanya. Erwin hadir dalam hidupnya hanya untuk membuat mereka berakhir dalam kepedihan.Laureta pikir, ia akan menikah dengan Erwin dan pergi dari rumahnya yang menyedihkan, lepas dari orang tuanya yang tidak pernah memperhatikannya.Namun kemudian, takdir mempertemukannya dengan Kian hingga ia tiba sampai kepada pernikahan yang terasa aneh ini. Laureta bertanya-tanya dalam hatinya, apakah ia boleh merasa bahagia di tengah-tengah situasi seperti ini?Ayahnya masuk penjara. Ibunya hidup miskin menderita. Sementara, Laureta beruntung sekali bisa hidup bahagia bersama pria yang mencintainya. Apakah semua ini adil?Roda kehidupan benar-benar berputar. Laureta kini sedang berada di atas. Ia harap, ia tidak segera turun ke bawah karena ia masih ingin merasakan manisnya dicintai oleh Kian.Kian benar-benar pria yang sanga
“Kamu tidak boleh pergi ke mana-mana hari ini,” perintah Kian pada Laureta.Mereka baru saja selesai sarapan, lalu Laureta mengantarkan Kian hingga ke parkiran. Kebetulan sekali tidak ada yang menyadari jika Laureta baru mengalami kecelakaan. Luka di kepalanya berhasil ia tutup dengan rambutnya. Lecet di tangannya ia tutup dengan kardigan.“Iya, iya,” jawab Laureta dengan ekspresi bosan.“Janji ya! Jangan sampai nanti saat aku pulang ke rumah, kamu malah pergi ke suatu tempat dan aku tidak tahu.” Kian menunjuknya sambil menyipitkan matanya. Ia tampak galak sekali.“Iyaaa! Tenang saja. Aku tidak akan ke mana-mana. Aku akan duduk manis di kamarmu dan tidak melakukan apa-apa.”“Itu kamar kita, Sayang,” ralat Kian. “Oke. Kamu tidak usah olahraga dulu hari ini ya.”Laureta menghela napas. “Aneh ya rasanya. Tadinya aku rutin berolahraga. Setelah menikah, jadwal olahragak
Terdengar suara ketukan di pintu, Kian mempersilakan masuk. Clara masuk sambil membawa berkas-berkas yang harus ia tanda tangani. Satu hari cuti saja, pekerjaan Kian langsung menumpuk.“Selamat pagi, Pak. Mau saya buatkan kopi?” tanya Clara.“Tidak biasanya kamu menawarkan kopi,” ujar Kian sambil menautkan alisnya.Clara meringis. “Maaf, Pak. Kemarin itu ada kiriman kopi.”“Dari siapa?”“Itu … hmmm ….”“Helga?” tebak Kian.Clara mengangguk. “Iya, Pak. Kemarin ini Mbak Helga datang ke sini, lalu menitipkan kopi untuk Pak Kian. Maaf, Pak. Apa seharusnya saya menolaknya? Saya tidak berani, Pak.”“Ya sudah, tidak apa-apa. Di antara aku dan Helga sudah tidak ada hubungan apa-apa. Biarkan saja. Hanya sekedar kopi, aku akan menerimanya. Kamu juga boleh meminumnya, Clara.”Clara tersenyum. “Terima kasih, Pak.”“Oh ya, aku sudah mengurus pengiriman motor ke rumahmu. Aku titip dulu motornya di rumahmu ya.”Clara mengangguk. “Baik, Pak.”Kian mendesah. Sepertinya ia sudah tidak membutuhkan motor