Reksi merasa seperti ada yang bergetar di dalam dadanya. Meskipun pria itu hanyalah Erwin, tapi ia senang kalau ada orang yang mengajaknya pergi makan.“Kamu sendiri memang sudah tahu jawabannya, Erwin. Tata pasti akan menolakmu.” Reksi mengangguk perlahan sambil tersenyum.Entah bagaimana, Erwin tampak seperti yang sudah bersiap-siap untuk hari esok bahwa ia pasti akan menerima penolakan. Reksi tidak tahu sudah berapa banyak Erwin berusaha untuk mendapatkan Laureta kembali.Lagi-lagi, Reksi merasa cemburu karena selama ini, tidak pernah ada pria yang berusaha untuk mendapatkan hatinya. Waktu awal ia berpacaran dengan Theo pun, ia yang menyatakan cintanya terlebih dahulu. Dan ketika mereka putus, Theo dulu yang memutuskan hubungan mereka.Seperti itulah rasanya jika mencintai seseorang secara sebelah pihak. Sang kekasih tidak membalas cintanya. Sungguh sangat menyakitkan. Mungkin seperti itu pula yang Erwin rasakan saat ini.Mungkin saja. Nyatanya, kejadiannya sangat berbeda dengan ya
Laureta menghampiri Reksi yang sedang berdiri di depan toko jam tangan. Sahabatnya itu mengenakan blouse berwarna biru tua yang tampak pas sekali di tubuhnya yang langsing. Tidak biasanya, sahabatnya itu mengenakan lipstik dan bedak yang membuat wajahnya tampak sangat cantik.“Reksi!” panggil Laureta.Sahabatnya itu menoleh, lalu melihat Laureta dengan wajah tegang, seperti yang terkejut. Reksi pasti tidak menyangka jika akan bertemu dengan dirinya, pikir Laureta.Senyum Laureta mengembang. “Reks, sedang apa kamu di sini? Tumben kamu dandan. Cantik sekali kamu mengenakan baju ini.”Reksi memaksakan senyumannya. “Iya.” Hanya itu jawabannya.“Aku tadi meneleponmu beberapa kali, tapi kamu tidak menjawabnya,” ungkap Laureta sambil cemberut.“Oh iya, maaf. Tadi aku sedang senam kan, menggantikanmu. Jadi, aku tidak sempat menelepon balik. Memangnya ada apa kamu meneleponku?”“Hmmm, tahu kalau aku akan bertemu denganmu di sini, aku akan menjemputmu dan kita bisa pergi bersama.” Laureta menek
Seseorang mengangkat tangan Laureta, tapi ia tidak bisa melawan. Tubuh Laureta terasa lemas tak berdaya. Ingin membuka mata saja, rasanya berat sekali. Orang itu menekankan jarinya ke sebuah benda“Ponselnya sudah penuh baterainya?” tanya seorang pria.“Belum. Yang penting bisa menyala dulu saja,” jawab seorang wanita. “Ini sudah berhasil terbuka. Wah ada banyak telepon masuk dari Boss The Prince. Mungkin itu atasannya. Coba aku lihat lagi. Uhm, ya sudah aku telepon orang ini saja.”Laureta berhasil membuka matanya sedikit, yang terlihat hanya bayang-bayang kabut putih yang memenuhi penglihatannya. Ia ingin bersuara, tapi tenggorokannya terasa kering.“Yah, tidak diangkat teleponnya. Coba aku telepon nomor yang lain.”“Eh, jangan yang itu. Namanya Mantan. Telepon yang lain saja,” kata si pria.Laureta ingin kejang-kejang rasanya jika sampai orang itu menelepon Erwin. Seharusnya mereka menelepon Kian, tapi Laureta juga takut jika sampai Kian datang ke sini dan menyalahkannya karena hal
Reksi menghela napas, lalu membuang wajahnya. Ia melipat tangannya di dada sambil kesal. “Untuk apa aku mengaku? Apa pentingnya untukmu? Kamu kan hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu bebas melakukan apa saja yang kamu mau. Ya silakan saja. Aku tidak pernah protes. Lalu, kenapa sekarang kamu protes kalau aku bersama dengan Erwin?”“Kamu …!” Laureta seperti yang kehabisan kata-kata.“Apa? Kamu kan wanita yang sudah bersuami. Kenapa kamu masih memikirkan tentang mantanmu? Apa jangan-jangan kamu masih ada rasa padanya?”“Tidak! Itu tidak benar!” bantah Laureta.“Kalau begitu, kenapa kamu harus kesal?”Laureta sungguh bingung harus menjawab Reksi apa. Ia sendiri tidak mengerti untuk apa ia sekesal itu melihat Reksi bersama Erwin.“Kamu sendiri bingung kan? Ah, itu sudah jelas kalau kamu sebenarnya masih mencintai Erwin. Kamu bangga karena kamu bisa menikahi omnya, lalu Erwin pun masih mengejar-ngejarmu. Kamu merasa seperti yang berada di atas angin. Aku salut padamu, Ta. Kamu mema
Sejujurnya, Kian terpaksa berkata seperti itu. Laureta memasang wajah sedih, lebih seperti yang kecewa. Jika bisa disebut, Kian yang lebih sedih karena ia sendiri yang telah membelikan Laureta motor baru. Ia ingin menyenangkan Laureta, ingin memberinya kejutan spesial.Namun, yang ia temukan sekarang adalah Laureta terluka karena kecelakaan motor. Dalam kurun waktu yang singkat ini, Laureta telah mengalami kecelakaan motor selama dua kali. Kian tidak ingin melihat yang ketiga kalinya.“Kamu tidak serius kan, Kian?” Laureta masih menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.“Aku serius! Aku tidak ingin kamu sampai mengalami kecelakaan lagi,” ucap Kian tegas.“Aku kan tidak mungkin mengalami kecelakaan terus menerus. Ini hanya kebetulan saja.”Kian paling tidak suka dengan orang yang keras kepala dan membantah perkataannya. Ia ingin bersikap sabar, tapi rasanya sulit sekali.“Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu.” Kian membalikkan badannya, lalu kembali duduk di sofa.“Aku juga tidak i
Kian jadi menyesal. Seharusnya ia tidak membahas tentang hal-hal yang tidak berguna. Pikiran Laureta terlalu kritis. Kian harus mengalihkan perhatian Laureta.“Kenapa kamu senang sekali membahas tentang hal itu? Kamu sedang sakit, lebih baik kamu tutup mulutmu dan diam saja di kasur. Awas kalau kamu sampai turun lagi dari kasur! Aku akan memborgol tanganmu!”“Aku mau buang air kecil dan mengganti pembalutku!” rengek Laureta seperti anak kecil.“Pembalut?” tanya Kian bingung. Ia baru ingat kalau Laureta masih sedang menstruasi.“Iya! Kalau kamu tidak suka melihatku turun dari kasur, lalu bagaimana caranya aku ke kamar mandi?”Kian menghela napasnya, lalu membantu memegang tangan Laureta. “Aku akan membantumu berjalan ke kamar mandi.”“Apa kamu akan membantuku mengganti pembalutku juga?”“Aku tidak pernah menyentuh benda seperti itu. Bagaimana aku tahu caranya mengganti pembalut?!”Laureta terkekeh puas. “Aku hanya bercanda. Aku bisa menggantinya sendiri.”“Hmmm, kalau begitu sekalian s
Terdengar suara ketukan di pintu. Laureta baru saja menyendok dua suap nasi. Apakah itu Kian, pikir Laureta. Sepertinya tidak mungkin. Terlalu cepat pria itu kembali lagi ke kamar. Mungkin itu suster.“Iya!” seru Laureta. “Silakan masuk!”Butuh waktu beberapa waktu hingga pintu itu mengayun terbuka. Laureta tidak segera melihat ke arah pintu. Ia menaruh piring makannya di meja sampingnya, lalu menoleh ke arah pintu. Seketika Laureta terkejut.Seorang wanita tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sedih. Laureta nyaris tidak mengenal wanita itu, tapi kemudian ia melihatnya dengan lebih jelas.Ia terkesiap. “Mama?”Wanita itu mendekat perlahan dengan wajahnya yang seperti merasa bersalah. Laureta sedih sekali melihatnya. Ibunya mengenakan pakaian lusuh dan sendal yang tampak kotor.“Ta ….”Laureta menatap ibunya hingga berada tepat di sebelahnya. Laureta merasa iba, tapi ia juga merasa ibunya seperti orang asing yang tidak ia kenal.“Mama, apa yang terjadi? Apa Mama baik-baik s
Laureta baru menyadarinya sekarang. Rasanya tak terduga jika ibunya bisa tiba-tiba datang, menemuinya di rumah sakit. Jika memang ibunya membutuhkan pertolongannya, seharusnya sejak awal ibunya menemuinya.“Sebenarnya, aku sedang masa percobaan menjadi bagian kebersihan di rumah sakit ini. Tadi pagi, aku tidak sengaja melihat ada namamu di ruang gizi. Aku tidak menyangka kalau kamu menjadi pasien di sini. Jadi, aku langsung ke sini untuk menemuimu.”Laureta menganggukkan kepalanya perlahan. Jika ibunya memiliki pekerjaan yang tetap, itu adalah hal yang sangat bagus.“Jadi, sekarang Mama bisa punya pekerjaan. Aku pikir, tadi Mama bilang kalau Mama sudah tua ….”“Kebetulan ada teman yang membantuku. Jika aku sendiri, mana sanggup aku mencari pekerjaan. Hanya saja, aku tidak suka menjadi petugas kebersihan.”Laureta menautkan alisnya. “Oh, kenapa? Aku pikir tidak apa-apa mendapatkan pekerjaan apa pun yang penting halal.”Ibunya mendecak. “Aduh! Kamu tahu, sejorok apa toilet rumah sakit.