Elena adalah impian yang terwujud bagai para lelaki. Tubuh tinggi proporsional, wajah cantik dan memiliki kulit putih yang membuat iri. Cahaya berusaha menelan perasaan rendah diri yang perlahan menyusup dalam dadanya saat melihat Elena melenggok dengan keanggunan yang membuat Cahaya merasa seperti preman.Wanita itu jelas cantik.“Elena, ada apa? Aku tidak tahu kita punya janji hari ini?”Elena masuk dengan senyum yang bisa membuat pertahanan para pria runtuh. Dia mendekat dan memeluk Alex.“Ada yang ingin kubicarakan mengenai pembukaan hotel yang ada di Guapisima. Menurutmu kita perlu mengundang walikota? Aku yakin ini akan membuat media tertarik.”Elena duduk tanpa menoleh pada Cahaya seolah mereka tidak berada dalam ruangan yang sama.Bah!Alex melirik Cahaya sekilas.“Kurasa kita bisa membicarakannya lain waktu, saat ini aku punya urusan yang lebih penting.”Urusan yang lebih penting?Whoa.Bunga kemenangan mekar dalam tubuhnya. Cahaya menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya.
Waktu bergulir tanpa terasa. Musim panas tetap bertahan meski pergantian hari dan bulan terus berjalan. Pernikahan yang sudah ada di ujung mata kini terasa semakin nyata saat setiap majalah, media dan orang-orang mulai membicarakannya secara aktif. Lonceng pernikahan menggema memenuhi penjuru negeri.Undangan telah disebar dan jalan-jalan dipenuhi dengan hiasan yang menarik perhatian para tamu. Satu-satunya masalah adalah panik yang tiba-tiba melanda Cahaya. Gadis itu tengah berjalan mondar-mandir di salah satu kamar mewah keluarga Hardin yang disediakan untuknya.“Tarik napas dalam-dalam, setelah itu keluarkan secara perlahan. Aku selalu bilang panik tidak menyelesaikan masalah, Cahaya.”Cahaya mengabaikan nasihat sahabatnya. Ia berjalan mondar-mandir, mengigit kuku tangannya yang sudah diwarnai.“Hentikan itu!” dengan lembut Flo menarik tangan Cahaya. “Kau membuat kukumu yang cantik berantakan padahal pernikahanmu akan terjadi dalam hitungan jam.”Ucapan Flo menimbulkan riak kepanik
Ada yang salah. Alex mengamati wajah Cahaya yang tersenyum. Gadis itu mungkin saja tersenyum tapi Alex bisa mengatakan kalau Cahaya menyembunyikan sesuatu. Senyum itu tidak menyentuh matanya yang cokelat keemasan. Ia mengedarkan pandangan, menatap para tamu yang sedang menikmati jamuan. Ia tidak mungkin menanyakannya di sini, di tengah-tengah pesta dengan ratusan pasang mata yang mengamati.“Aku tidak tahu apa yang membuatmu jengkel, atau kalau kau tiba-tiba berubah pikiran, tapi jika tidak ingin menarik perhatian para tamu sebaiknya perbaiki sikapmu sebelum mereka menyadarinya dan wajahmu muncul di halaman depan surat kabar.” Alex tersenyum, mengangkat gelasnya saat melihat salah satu rekan kerjanya tersenyum padanya. Ia menoleh pada Cahaya yang sekarang menatapnya dengan mata berkedip.“Apa maksudmu?”Satu alis Alex terangkat. “Ada yang membuatmu jengkel dan meski aku tidak tertarik mengetahuinya kurasa kau harus tahu kalau semua orang memperhatikan kita saat ini.”Cahaya melirik p
Cahaya mengigit bibirnya keras-keras saat mobil yang membawa mereka berjalan melintasi jalan raya menuju tempat yang tidak ia ketahui. Cahaya sudah menahan diri untuk tidak bertanya karena merasa seharusnya ia yang marah bukan sebaliknya!Akan tetapi suasana di mobil terasa seperti di dalam pemanggang dan Cahaya tidak menyukainya.“Sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Cahaya setelah menyerah untuk tidak bicara sebelum Alex memulainya lebih dahulu, tapi ternyata pria itu menyukai kebisuan sama besarnya dengan pekerjaan.Menyebalkan!“Suatu tempat.”“Kau tidak akan lebih spesifik? Kalau kau lupa aku masih mengenakan ini.” Cahaya menunjuk gaun pengantinnya yang luar biasa merepotkan. Padahal sebelumnya Cahaya amat menyukainya, sekarang gaun putih berkilauan yang ia kenakan membuat geraknya terbatas dan ia benar-benar sudah tidak sabar agar bisa melepaskannya.Alex menatap gaunnya kemudian menatapnya. Ekspresinya tidak terbaca.“Kau kesusahan, ya.”Dan Cahaya pikir pria itu berusaha agar t
Saat Cahaya yakin kalau ia bisa saja mati karena kehabisan napas Alex tiba-tiba tertawa dan menjitak keningnya.“Alex!” teriak Cahaya, menggosok keningnya yang malang, menatap Alex jengkel.Alex tertawa. “Apa? Kenapa kau terlihat kecewa? Kau punya sesuatu dipikiranmu untukku?” ledek Alex.“Kurasa kau terlalu percaya diri, Mister.”“Benarkah? Kurasa aku baru saja membuatmu tersipu. Percayalah aku mengenali gejala-gejalanya.”Ouh jadi pria ini sengaja menggodanya. Dua orang bisa memainkan permainan ini. Cahaya tersenyum sangat manis saat perlahan berjalan ke arah Alex. Mata pria itu menyipit, memperingatinya, tapi Cahaya tidak peduli.“Menurutku menggoda suami sendiri bukanlah kejahatan.” Cahaya menjalankan tangannya di sepanjang lengan Alex. Sentuhannya ringan, nyaris tidak kentara tapi Cahaya berharap cukup untuk membuat pria itu gugup.“Kau pikir apa yang kau lakukan?”Cahaya tersenyum polos. “Kenapa? Aku hanya menyentuh suamiku. Tidak boleh?”Alex menangkup tangannya, menariknya ke
Mungkin hanya ia satu-satunya orang di dunia ini yang menghabiskan waktu bulan madunya dengan belajar. Ya, belajar, persis seperti anak sekolahan. Cahaya tidak tahu bagaimana perasaannya tentang ini. Sejak awal respon pertamanya adalah terkejut dan sekarang yang Cahaya rasakan adalah kebingungan.Kenapa Alex bersikeras ingin ia belajar? Apa Alex malu dengan keadaannya? Cahaya tidak ingin mengalami momen itu lagi. Saat orang-orang dewasa yang seharusnya mendukung justru menyudutkan dan membuatnya menjadi di kucilkan.Tapi ia tidak punya pilihan. Dan meski tidak ingin mengakuinya secara terang-terangan, Cahaya sungguh ingin bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang normal. Jika ini slaah satu tantangan yang harus ia tempuh, Cahaya akan menjalaninya dengan berani.Cahaya tersenyum memandang pantai Elia yang menawan dan juga menenangkan dari villa milik Alex. Hanya dengan sekali lihat Cahaya tahu kawasan disekitar pantai ini dilingkupi dengan kemewahan. Pantainya menakjubkan dengan g
“Kau suka?”Suka? Kata itu terlalu remeh. Cahaya jatuh cinta! Persis seperti yang dikatakan Alex. Ouh ya ampun! Sejauh mata memandang Cahaya disuguhi dengan keindahan laut yang spektakuler dan juga jajaran rumah putih yang tampak memukau. Cahaya tidak bisa menghentikan cengiran bodoh menghiasi wajahnya.“Ini sangat indah, Alex. Kurasa aku tidak akan keberatan menghabiskan waktu seumur hidup di tempat ini. Melihat kapal menepi, senja yang indah dan juga rumah-rumah tradisional yang begitu cantik, siapa yang tidak akan jatuh cinta dengan tempat ini?”Saat ia berbalik, Alex tengah menatapnya dengan sorot mata aneh.“Kenapa?” tanya Cahaya, merasa wajahnya panas. Mungkin Alex malu karena tingkahnya yang konyol. Cahaya bersyukur tidak begitu banyak pengunjung yang datang. Perjalanan selama 4 jam lebih terbayar lunas begitu melihat apa yang bisa ia dapatkan.“Bukan apa-apa,” jawab Alex pendek.Kening Cahaya mengerut, tapi ia tidak ingin mendesak pria itu lebih jauh. Cahaya kembali memandang
Alex tidak tahu apakah harus tersinggung atau tertawa mendengar pertanyaan absurd Cahaya. Akan tetapi mungkin itulah yang akan dipikirkan orang-orang jika melihat interaksinya dengan keluarganya kan? Alex menarik gelasnya mendekat, memberikan isyarat lewat tatapan matanya agar Cahaya juga mengambil minumannya.“Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?” tanya Alex geli.Cahaya terlihat lega. Kenapa? Apa gadis itu pikir ia akan marah?“Kau begitu berjarak dengan keluargamu. Aku bisa mengerti kalau kau tidak dekat dengan sepupumu karena mereka sepertinya jahat, tapi orang tuamu? Apa yang mereka lakukan sampai kau harus tinggal di benua lain untuk hidup?”Mengabaikan pertanyaan lainnya Alex fokus pada pernyataan Cahaya yang menarik.“Sepupuku jahat? Kenapa kau bilang seperti itu?”Cahaya tiba-tiba terlihat gelisah dan jika Alex tidak salah tebak sedikit takut juga. Kenapa? Alex menangkap gerakan kaki Cahaya di bawah meja. Mata Cahaya juga enggan menatapnya.“Kurasa kau akan marah kalau ak