Bab 89 Kshama “Kesabaran itu pahit, tetapi buahnya manis.” – Aristoteles Aroma karbo menusuk keras indra penciuman Bening, dan memaksa otaknya untuk membuka mata. Untuk beberapa detik, wanita itu seperti orang linglung, berada di ruangan serba putih. “Evan!!” Bening berusaha bangkit dari ranjang. “Alhamdulillah, kamu akhirnya siuman” kata Iswati lega. Ia menghentikan aktifitas mengajinya, dan mencium kening Bening. “Mama… Mama… Evan… Evan di mana?” tanya Bening panik. Kesadarannya mulai utuh. “Evan masih di luar bersama Mba Atun.” Bening mengernyitkan dahinya, mencerna perkataan mamanya. Iswati sadar. kemudian meletakkan quran kecil di atas meja, dan mengambil alat bantu dengar, dan memasangkannya ke telinga anaknya. “Sebentar Mama panggilkan Evan.” Iswati bergegas memanggil Atun yang sedang berada di luar menggendong Evan yang bosan berada di kamar perawatan. “Evan, mamamu sudah sadar, ayo sini.” Mendengar istrinya memanggil Evan, Gatot yang sedang bercengkrama dengan penun
Bab 90 It’s not easy to forget “Pak, berhenti?” kata Tita tiba- tiba. Sopir Tita menghentikan mobil mendadak di tepi jalan. “Ada apa. Bu?” Ini permintaan aneh. Biasanya Tita selalu bilang di awal jika dia ingin berhenti ke suatu tempat. Padahal rumah Ibra masih jauh. Cuaca panas tiba – tiba berubah menjadi hujan deras, disertai angin kencang. Mata Tita lekat memperhatikan perempuan yang terburu – buru menggendong anaknya dan duduk di belakang di antara bunga – bunga. Kaki perempuan itu menggantung dan tangannya sibuk memastikan anaknya tidak terkena tampias hujan. “Anggi, bukankah itu Bening?” tanya Tita, matanya tak lepas melihat Bening. “Sepertinya iya, Bu.” Anggi yang duduk di sebelah Tita tak kalah terkejut. “Kasihan, kenapa dia jualan di pinggir jalan sekarang?” gumamnya pelan. “Kamu jangan mudah kasihan, kita tidak tahu cerita sebenarnya, siapa tahu itu gimmick untuk menaikkan pamornya?” Tita menaikkan kaca matanya. Anggi tidak menjawab perkataan Tita yang menurutnya san
Bab 91 Quite eyes “Apa yang kamu temukan?” tanya Tita datar. Ia menunggu kabar dari Anggi sejak pagi. “Menurut informasi, mantan suami Bening berhutang sekitar 1 Milyar pada pihak ADASAYA. Mereka menagih ke Bening dan meneror keluarganya, sedangkan Ibra sudah lama menghilang dan tidak ketahuan di mana riKakaknya.” Anggi berhenti. “Terus…” desak Tita tak sabar. “Keluarga Bening diteror, sampai ke kantor kedua orang tua, dan adiknya. Untuk menghentikan teror itu, mau tidak mau Bening bertanggung jawab, meKakakyar hutang kepada ADASAYA, mereka juga memaksa mengambil alih Joli Flower. Jika tidak mereka akan mengancam mau mencelakai anak buah Bening yang saat itu sedang bekerja.” Anggi mengungkapkan apa yang diketahuinya. “Bening sudah membuat laporan tentang Ibra, sayangnya Polisi tidak menanggapinya. Saat ini Bening mulai Joli Flower dari nol, Bu.” Dia memperhatikan ekspresi datar Tita. “Lantas, apa kamu tahu kenapa dia membawa bayinya berjualan. Bukankah ada Nenek dan pembantunya?
Bab 92 Please bring us closer “Kenapa Kakak menyimpan masalah sendiri, aku ini adikmu, Kak?” tangis Arum pecah. Dia sedih sekali melihat nasib Dinda. “Karena Kakak tidak mau menyakiti hati Ibu. Emil adalah pilihan Ibu. Dia menikahi Kakak, hanya karena tahta dan harta, bukan karena cinta.” Kama menarik panjang dan memeluk keponakannya. “Dinda, kamu tidak seharusnya begitu. Ada masa di mana kita patuh, ada masa di mana kita melawan.” Mendapat perlakuan sayang dari Kama, seketika kesedihan yang Dinda jahit rapi, keluar mengeluarkan air mata luka. Selama ini, Kamalah yang dia anggap papanya, karena papanya selalu sibuk bekerja. “Dinda tahu Om, dan saat ini Dinda mau melawan Emil dan Ibu.” Wanita cantik itu mengambil tempat duduk. “Om kenal dengan Bening, kan?” Kama seketika tergagap mendengar kata Bening. “Iya, kenapa kamu bertanya seperti itu?” Dinda menghela napas panjang. “Bening sudah lama menjadi inspirasi saya. Apa Om tahu selain menjual bunga, dia sepertinya menyukai design.
Bab 93 Through the time“Apa kamu tidak apa – apa?”“Iya, aku tidak apa – apa?” sahut Bening seraya meringis. Suaranya seperti aku kenal? Wanita itu mendongak dan terkejut. “Kama, kenapa kamu di sini?” tanyanya gugup.Alih – alih menjawab pertanyaan Bening. Kama mengulurkan tangan, membantu Bening berdiri. “Lututmu terluka!” tanpa ragu pria itu memeriksa luka Bening. “Luka ini harus segera diobati biar tidak infeksi.”“Mas, mba, gerobak cilok saya bagaimana ini?” kata Mas pedagang cilok. Mukanya kusut melihat sebagian ciloknya tumpah ke tanah.“Tenang, Mas, saya akan ganti rugi,” kata Bening. Dia membuka dompet dan memberikan semua uang yang ada di dalam dompetnya. Uang itu dari pembayaran bunga barusan. “ini Mas.”“Wah, ngawur saja, uang ganti ruginya cuma 150 ribu. Lihat itu, gerobak cilok saya ada yang penyok! Belum lagi cilok saya yang rusak. Saya kan rugi kalo begini, gak bisa jualan. Mana istri mau lahiran pula,” gerutu Mas penjual cilok.“Terus, saya harus ganti berapa, Mas?” t
Bab 94 Sweet Revenge“Kamu pikir tempat tambal ban ini, HI?” Bening mau ketawa sekaligus menangis memandang Kama. Dia lalu mengeluarkan uang 150 ribu berikut KTP miliknya. “Saya titip uang ini dulu, Pak. Setelah ini saya balik.”Tukang tambal ban itu melihat KTP Bening. “Owh Mba ini putrinya Pak Gatot dan Bu Iswati?”“Iya Pak.”Rupanya percakapan mereka didengar oleh istri tukang tambal ban. Dia keluar dan langsung nimbrung. “Owh jadi ini anaknya Bu Iswati, yang ditinggal pergi suaminya, terus ninggalin utang banyak itu?” tanya wanita itu tanpa rasa bersalah. Dia melirik ke Bening.Bening tersenyum masam. Sial, kenapa mereka ingatnya cuma yang jelek? Rutuknya dalam hati. “Saya titip dulu KTP saya sebentar Pak, buat jaminan.”“Sebentar – sebentar Pak, ini ada apa kok pake titip KTP segala. Apa teman lelaki Mba Bening gak bisa bayarin dulu.” Perempuan itu tertawa. “Ya ampun, ganteng – ganteng kok kere. Jangan – jangan ceritanyanya nanti berulang lagi.” Wanita itu melihat Kama dengan pan
Bab 95 November rain“Be… Robert tadi menelpon Ibu, dia bilang temannya mau tinggal di paviliunnya,” kata Iswati memperhatikan keluwesan tangan Bening dalam membuat gambar.“Oh, ya? Terus jawaban Ibu apa?” tanya Bening, matanya sama sekali tidak beralih dari kertas folio. Hari ini dia sudah membuat 3 sketsa batik untuk kain yang mau dibuat oleh Dinda.Iswati duduk disamping Bening, tangannya sibuk mengipasi badan dengan kipas kecil. “Ibu sih oke – oke saja, selama orangnya baik dan tidak neko – neko.”“Serius? Apa Ibu tidak khawatir, Robert menyewakan paviliunnya pada orang lain?” kata Bening berasumsi. “Ngomong – ngomong temannya wanita atau lelaki?”“Katanya sih wanita. Ibu tahu masalah ini cukup pelik, tapi biarkan saja deh, Be. Asal mereka tidak bawa pasangan. Ibu gak mau paviliun Ibu dipake kumpul kebo.” Iswati memandang langit. “Sepertinya mau hujan, ini. Ibu mau lihat Evan dulu siapa tahu, dia sudah bangun.”Awal November, mendung mulai menyelimuti langit, beberapa detik kemudi
Bab 96 Karma Setelah melihat kejadian itu, Tita murung berhari – hari, dan akhirnya dirawat di rumah sakit. Hari itu Dinda menemaninya. “Ternyata nasib kita sama, Bu. Sama – sama diselingkuhi laki – laki,” kata Dinda langsung, tanpa membungkusnya dengan kalimat pembuka. Dia tahu, fisik ibunya tidak sakit, wanita itu sakit pikiran. “Ibu tidak mengerti apa maksudmu berkata begitu, Din?” tanya Tita. Pikirannya kosong dan tak bisa mencerna perkataan Dinda. Dinda membuka jaketnya. “Kenapa lenganmu itu?” Tita melihat bekas skar di kedua lengan mulus anaknya. “Ini adalah perbuatan Mas Emil. Dia berselingkuh dengan kekasih lamanya, dan menyiram Dinda dengan kopi panas. Sayangnya dia malah membolak – balikkan fakta,” cetusnya dengan nada sinis. Tita menutup mulutnya. Sebagai Ibu, tentu saja hatinya berdarah. “Kenapa kamu tidak menceritakan dari awal, Din, sehingga Ibu tidak menuduhmu macam – macam.” “Dinda takut, Dinda takut mengecewakan Ibu dan Ayah. Tapi sekarang Dinda berani mengat