"Hihihi ...."Ibunda Dokter Adam tertawa lebar. Sedang di sisinya, aku duduk sembari membelalak. "Jangan serius gitu, Ibu cuma bercanda."Fuih. Kuembuskan napas panjang. Wanita di hadapanku menghentikan tawanya."Dokter Adam anak Ibu satu-satunya?"Entah kenapa aku malah tertarik mengajukan pertanyaan."Bukan, Adam itu bungsu. Mereka semua bertiga, satu sekarang sudah di pulau Sumatera, tepatnya di Aceh. Bekerja di Pabrik Minyak Bumi dan Gas Alam. Yang satu lagi ada di Kota Bandung. Buka Restaurant Nasi Padang, soalnya istrinya itu orang Padang. Dari ketiga anak, Saya lebih nyaman tinggal sama Adam, sudah semenjak dahulu bahkan saat mendiang istrinya masih hidup.""Kalau boleh Ibu tahu, kamu bercerai dari suamimu karena apa?"Sejenak aku menatapnya tanpa kata. Berat jika harus kuceritakan pada orang lain tentang kisah hidupku. Tapi entah kenapa, melihat wanita ini, seperti menatap almarhumah ibu kandungku sendiri."Saya difitnah, Bu."Wanita itu tampak terkejut."Difitnah kenapa?"Ha
"Terima kasih banyak Mbak Alya sudah mau mengantar Bibik ke terminal. In Syaa Allah, Bik Ina tidak akan lama di kampung. Jika sudah selesai urusan, saya akan langsung balik.""Iya, Bik. Tidak apa-apa. Ini ada sedikit oleh-oleh untuk orang di rumah."Kuberikan beberapa makanan yang tadi sempat terbeli di setengah perjalanan menuju terminal. Wanita paruh baya itu meraih sembari menyalami tanganku."Mbak, sebelum Bibik pergi, ada satu hal yang mau Bibik sampaikan sama sampeyan."Kedua alisku terangkat. Sepertinya Bik Ina sangat serius."Tentang apa, Bik?"Dia menelan saliva, tampak ragu untuk mengutarakan."Katakan saja, Bik.""Surat ini saya temukan saat membersihkan halaman belakang, Mbak. Maaf, saya sudah lancang membuka dan membaca isinya."Aku terhenyak menatap apa yang ada di tangan Bik Ina. Itukan surat dari alhamrhumah Mama mertua yang belum sempat kubaca. Jadi Bik Ina yang sudah menemukannya."Maaf saya lancang Mbak, tapi saya berharap Mbak Alya bisa kembali lagi bersama Mas Rad
Kami menuruni bus lalu menaiki taksi agar sampai di rumah sakit. Di setengah perjalanan, ponselku tiba-tiba berdering. Kurogoh benda itu lalu lekas mencari tahu siapa yang kini sedang menelpon.Dokter Adam.Kuluangkah waktu untuk mengangkat panggilan tersebut.[Assalamualaikum Dok.][Waalaikum salam. Maaf saya tidak menemukanmu di ruangan, kamu sakit?]Kuhela napas panjang. Dokter Adam membuat perasaanku kembali bergejolak.[Saya ijin ke Jakarta, Dok.][Ke Jakarta?]Sejenak bibir ini terasa kelu.[Saya ke Jakarta menjenguk Ayahnya Akbar yang di rawat di rumah sakit, Dokter.]Dia terdiam.[Kamu kembali padanya?][Belum, Dok.][Hem ... Harusnya saya bisa ikut mengantar?][Tidak usah repot-repot, Dok. Saya bisa pergi berdua dengan Akbar.][Boleh saya menyusul?][Untuk apa, Dok?][Hanya untuk memastikan kalian tidak kembali pulang dengan menaiki bus.][Tidak usah, Dok. Kami tidak apa-apa naik bus.]Dia tampak menghela napas.[Yasudah, berhati-hatilah.][Iya.]Kututup telpon dari dokter Ad
Hati sudah tidak tenang semenjak tahu dokter onkologi yang tadi pagi kutelpon ternyata bukan sebatas temannya Mas Radit, tapi juga dokter yang sedang menangani mantan suamiku itu. Seserius itukah penyakit yang dialami Mas Radit? Ya Allah...Tak sanggup lagi menahan diri, akhirnya kuberanikan untuk bertanya."Mas Radit sebenarnya sakit apa?"Dokter berkaca mata di hadapanku terdiam sejenak. Ia hanya tersenyum samar, lalu kembali menoleh pada Mas Radit. "Nanti juga Adek tahu," jawab Mas Radit tenang.Dengan membiarkan pertanyaanku menggantung, Mas Radit justru kembali berbicara pada Dokter Andre."Khusus untuk hari ini, saya ijin pulang, Dre."Dokter Andre tampak terkejut."Pulang?""Saya ingin membawa Akbar keliling Jakarta. Hanya sehari, besok saya janji tidak akan membatalkan lagi janji kita.""Yeeeyy!"Sorakan kegembiraan Akbar mengundang pandangan dokter Adam. Ia ikut tertawa, meski jelas terlihat kecewa."Semua menjadi tanggung jawabmu, Dit."Mas Radit mengangguk."Oke! Hanya unt
"Kanker, Mas?"Aku tergugu, isak kutahan agar tak terdengar oleh Akbar yang sedang asyik dengan rumah pasirnya.Mas Radit menghela napas lalu kembali berucap,"Kata dokter usia Mas tidak lama lagi, Dek. Jika kemarin-kemarin Mas bersemangat ingin kembali rujuk, saat ini, keinginan itu sepertinya harus Mas kubur rapat-rapat.""Kenapa, Mas?" "Karena Mas tak ingin kamu kembali terluka, Dek. Buat apa kembali jika pada kenyataan lelaki yang akan mendampingimu sesaat lagi akan tutup usia."Emosiku melonjak mendengar ucapan Mas Radit."Emangnya dokter itu Tuhan, apa mereka yang meniupkan roh ke dalam jasad manusia, Mas? Kenapa Mas malah mempercayai hal remeh begitu?"Dadaku terasa sesak, sedang napas naik turun mendapati kenyataan pahit yang kini menimpa Mas Radit. Terlebih saat tahu Mas Radit malah mempercayai prediksi dokter tentang umur hidup manusia. Padahal yang harus diyakini manusia adalah hidup mati karena Allah. Dia yang menghidupkan, Dia pula yang berhak mematikan.Kutarik napas da
Sembilan bulan kemudian ...Aku melihatnya, berdiri disebalik pohon beringin besar."Mas Radit?"Pelan aku menyibak semak hingga mencapai pohon yang kuincari sedari tadi. "Mas ...."Senyap, tak ada jawaban. Aku melangkah lebih dalam hingga tubuh ini bersisian dengan pohon besar yang bergantungan akar itu.Benarkah yang tadi kulihat adalah Mas Radit? Kusingkirkan rasa takut yang tiba-tiba mendera, sebab sekeliling tak terlihat satupun manusia melainkan belantara yang gelap gulita. Tapi demi menemuinya, aku akan mengalahkan ketakutan ini. Setelah lima langkah berjalan, kini aku bisa melihat. Meski membelakangi, aku tahu itu adalah bahu miliknya. Suamiku."Kemana aja kamu, Mas, aku rindu sekali. Tolong kembalilah Mas, kami rindu ingin berkumpul bersamamu."Kuusap air mata yang berderai di pipi, sembari berusaha menyentuh bahu lebar Mas Radit. Tepat saat jemari ini berhasil mengenai tubuhnya, Mas Radit berbalik.Namun, aku terpaksa harus memicingkan mata, berlindung dari pantulan sina
Pesan Untuk Pasangan :Selama ia masih bisa kita sentuh dengan jari jemari, selama ia masih nyata dalam penglihatan, selama ia masih bisa kita dekap dengan kedua tangan. Cintailah pasanganmu. Karena jika sudah sampai waktunya ajal sebagai pemisah, kau akan melepasnya dengan bahagia.*Maryam Anggraini.Adalah nama yang Mas Radit berikan pada janin yang sudah terlahir ke dunia ini. Jika memang ternyata benar ia kelak terlahir sebagai seorang wanita. Alhamdulillah hari ini hari ketujuh kelahirannya. Syukuran akiqah ala kadar pun kugelar di rumah. Mengundang sejumlah teman, kerabat juga tetangga. Diawali dengan tahlilan yang diniatkan untuk almarhum Mas Radit, lalu dilanjutkan dengan zikir penyambut bayi. Seterusnya berbagai ritual bayi baru lahir dilaksanakan, termasuk pemotongan rambut dan pemberian nama.Kusambut para tamu yang berdatangan sembari terus memomong Maryam. Lega rasanya sudah sampai sejauh ini membesarkan bayi Maryam, meski tanpa kehadiran Mas Radit di sisi. Diantara k
Indra pendengaranku hampir tak ingin mempercayai apa yang kudengar kini.Kenapa nama itu lagi? Apa dia juga lelaki yang seminggu lalu ditemui Bik Ina di Rumah Sakit Ciawi? Kenapa sekarang bisa ada di sini?Berbagai pertanyaan, melintas lalu di dalam jiwa. Kemana aku harus mencari jawabannya?Kusambut uluran tangan lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Raditya Alfarisy. Mataku kian membidik wajahnya dengan jarak dekat. Kupastikan tiap inci pahatan yang Allah lukiskan di wajah itu.Dengan teliti keselidiki ukuran hidung, lebar bola mata, bentuk bibir hingga lebar rahang."Hai."Aku tersentak saat dia menggerak-gerakkan tangannya di hadapan wajah."Maaf. Tadinya saya melihat anda sebagai kembaran suami saya. Ternyata bukan."Dia tampak mendelik, lalu tersenyum."Tentu banyak sekali kesamaan indra yang diciptakan Allah pada manusia. Mungkin saya dan almarhum suamimu salah satu contoh. Tapi bisa dipastikan, saya bukan kembarannya."Dia tersenyum. Senyuman yang berhasil melempar angank