"Silvia telah resmi menjadi istri Satria?" Paman Gozali bercerita setelah kami saling sapa dan berbasa-basi sebentar.Aku tahu ini pasti akan terjadi. Mereka akan tetap menikah. Namun, hatiku tetap saja merasakan sakit. Bibirku kelu untuk berucap. Kata-kataku tertahan di kerongkongan. Aku tidak bisa menjawab atau merespon cerita paman Gozali."Jujur paman kecewa tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Semua ini kehendak Silvia." Suara lelaki yang menjadi walinya Silvia itu terdengar berat. Seperti ada beban dalam dadanya."Allah telah menjodohkan mereka, Paman. Sekuat apa pun kita menolak tetap kuasa Tuhan di atas segalanya." Aku tidak tahu sebenarnya sedang berbicara apa? Yang aku tahu itu adalah cara untuk mengobati luka sendiri.Kalau memang pernikahan itu bisa membawa kebahagiaan untuk Silvia aku bisa apa? Bukankah mencintai itu tidak harus memiliki? Aku akan mencoba untuk mengikhlaskannya. Bukan menyerah, bukan. Aku akan tetap mencintai Silvia dalam diam. Akan kusebut namanya di
Hatiku memanas. Bukan karena cemburu melihat Arumi bergelayut manja pada pria itu, bukan. Hatiku sudah mati rasa untuk sekedar cemburu pada Satria. Aku marah karena Satria membentakku di depan umum. Sehingga banyak mata memandang ke arah kami. Malu. Itu yang aku rasakan saat ini. Merasa menjadi istri yang tidak dihargai oleh suaminya. Aku menutup mata sejenak berusaha meredam gemuruh di dalam dada. Tak peduli pada mereka berdua yang sedang menyimpan barang-barang di jok belakang. Bagasi sudah penuh dengan barang bawaan Arumi.Sebelum mampir ke sini, aku diminta ibu mertua menemani Satria menjemput mantan istrinya — ibunya Putri. Dari Pontianak. Kami menjemput di bandara Lampung."Silvia." Aku yang sedang mematung di samping mobil segera menoleh ke arah asal suara."Mas Abian." Aku menyapanya dengan suara lirih. Aku terpaku di tempat. Bukan karena apa-apa. Aku hanya merasa malu dengan pria yang pernah menjadi suamiku itu. Aku yakin dia mendengar bentakan Satria yang cukup keras tadi
"Tapi kamu jangan mengatakan apa pun sesampainya di rumah. Aku tidak mau semua orang yang rewang tahu masalah ini." Suara Satria lemah. Seolah pria itu sedang memohon padaku. Aku tidak menjawab ucapan Satria. Tidak perlu dijawab. "Mas, apa kamu akan mempertahankan wanita itu? Bukankah tugas dia sudah selesai. Bukankah kamu sering bilang meski dia istrimu tapi tidak lebih dari sekedar baby sitter untuk Putri?" Tatapan Arumi membidik wajah Satria, meski hanya dari samping. Aku sakit hati mendengar ucapan Arumi? Tidak sama sekali. Sudah kebas hati ini. Tanpa bicara pun sikap Satria sangat kentara. Menganggap aku hanya pengasuh anaknya. Selama enam bulan perkawinan, Satria tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorangsuami. Sikapnya tidak semanis ucapannya saat melamar aku di depan paman dan bibi. Sangat bertentangan. Putri lah yang membuatku kuat menjalani pernikahan ini. Dokter telah menjatuhkan vonis jatah umur gadis kecil itu. Sebagai ibu sambungnya aku tidak ingin membuatn
"Neng, sini. Kok malah bengong di situ?" Mamah memperhatikan aku yang sedang diam terpaku di depan pintu kamar Putri.Aku mengangguk pelan, saat tangan perempuan itu menepuk karpet di sisinya. Gegas, aku berjalan ke arah mereka. Aku mengambil tempat di depan kedua mertua yang sedang duduk di atas karpet."Mah, Pak, ada yang mau saya bicarakan." Aku menjeda ucapan sembari menatap kedua mertua secara bergantian.Bapak mengernyitkan dahinya. Mamah membalas tatapanku dengan penuh tanda tanya."Ada apa, Neng? Kelihatannya serius sekali." Lelaki berbaju koko putih itu mengamati mimik wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam dan membuangnya pelan-pelan.Mereka memanggilku dengan sebutan Neng. Aku pun menyebut ibu mertua Mamah. Mertuaku orang Sunda. "Neng, ada masalah apa?" Kini perempuan setengah baya menatapku dengan lembut.Aku masih terdiam, menyusun kalimat yang tepat untuk disampaikan. Ibu mertua tahu aku sedang tidak baik-baik saja. Lekas, perempuan itu menggenggam tanganku dengan penu
Aku memberontak. Satria marah tangannya menarik paksa tubuhku yang lepas dari pelukannya. "Semakin kamu memberontak, aku semakin semangat mengagahi kamu. Aku tidak akan melepaskan kamu sebelum mendapatkan tubuhmu." Dia menatapku dengan buas. Aku semakin takut dengan sikapnya. Mau teriak tapi itu suamiku sendiri.Satria mulai melepas bajunya. Aku menutup mata. "Serahkan tubuhmu malam ini, maka aku akan melepaskanmu begitu saja besok pagi." Suaranya semakin dekat di telingaku. Aku merinding mendengarnya. Bukan karena menikmati, bukan. Tetapi, merasa ngeri kalau dia benar-benar melakukannya padaku. Aku tak Sudi.Namun, bagaimana caranya aku bisa lolos dari serangannya kalau pintu saja dia kunci. Otakku benar-benar membeku. ***** Tatapan Satria bagai mata elang yang siap memangsa lawannya.Tubuhku merosot. Aku hanya bisa menangis dalam takut.Aku menundukkan kepala saat tangan itu mulai membelai rambutku. Lelaki yang baru ditinggal anaknya itu telah jongkok, mensejajarkan diri dengan
Terserah mereka mau menganggap aku menantu yang durhaka karena membuat perumpamaan pada ibu mertua. Aku hanya ingin mereka paham posisiku. Mamah terdiam, begitu pun dengan bapak mertua. Mungkin mereka mencerna ucapanku. Satria menatapku dengan tajam. Aku tak peduli. "Halah sok-sokan tidak rela dijamah Bang Satria!" Arumi membantu Satria duduk di ranjang. "Apa ruginya memberikan tubuhmu pada Bang Satria? Dia berhak untuk itu." Inilah yang membuat aku enggan memakai nama Arumi sebagai perumpamaan tadi. Dia pasti akan menjawab begitu. "Mah, Pak. Saya pamit malam ini." Aku segera pergi dari hadapan mereka setelah mengalami ibu dan bapak mertua. "Silvia. Mau ke mana kamu malam-malam begini?" tanya ibu mertua dengan dingin. Sikapnya langsung berubah seketika terhadapku. Mungkin beliau kecewa dengan perbuatanku. Terserah! "Minta dijemput saudara, Mah." Aku menoleh ke arahnya sekejap. Tak peduli lagi dengan tatapan mereka. Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar rumah Satria.
"Hanya kamu orang yang tepat diminta tolong." "Kenapa kamu yakin begitu?" "Karena kamu mencintai Silvia." Dari mana Aiza tahu? Aku tidak pernah bercerita tentang perasaanku ke dia."Ah, sok tahu." Mulutku menolaknya, padahal hati ini mengakuinya."Kamu tidak bisa membohongi aku, Bian. Sorot matamu yang menjelaskan semuanya padaku." Aiza menjeda ucapannya. Ah, perempuan itu memang selalu tahu banyak tentang aku meski tanpa berbicara padanya. "Aku berhenti di sini." "Rumahnya yang mana? Bagaimana kalau aku salah masuk rumah orang?" tanya setelah menurunkan Aiza. "Sepuluh rumah dari sini. Temboknya berwarna hijau daun. Ada pagar besinya. Dan yang paling penting Silvia sudah menunggu di luar. Aku tidak bisa ikut ke sana. Aku ingin membantu Silvia tanpa harus dimusuhi keluarga Satria." Aku mengangguk sebelum melajukan mobilnya kembali. Meskipun banyak tanda tanya di dalam otakku mengenai keluarga Satria. "Tunggu aku di sini." Aku lihat Aiza mengangguk. Gegas, aku menekan pedal gas m
"Silvia …" pekikku dan Aiza secara bersamaan. Reflek aku maju mendekat dan menangkap tubuh wanita yang aku cintai. Kebetulan aku berdiri tak jauh dari posisi Silvia saat tubuhnya mulai lemas dan hendak melorot ke tanah.Silvia pingsan setelah ditarik tangannya oleh suaminya."Jangan sentuh istriku!" Dengan kasar Satria merampas tubuh Silvia dari pelukanku.Aku pun urung mengangkat Silvia. Tadinya aku hendak membawa tubuh perempuan itu ke dalam rumah Aiza. Satria benar aku tidak boleh menyentuhnya. Biar bagaimanapun perempuan yang sedang tak sadarkan diri itu masih memiliki suami. Seandainya sudah tidak bersuami pun aku tidak boleh menyentuhnya sebelum halal bagiku. "Aiza. Aku akan membuat perhitungan dengan mu mulai saat ini," ancam Satria. Tatapan tajamnya mengarah pada temanku itu. Saat ini Satria membopong Silvia."Lebih baik dibawa ke dalam rumahku saja! Memangnya mau dibawa ke mana?" tegur Aiza dengan nada tinggi pada Satria. Temanku itu pasti sangat kesal menyaksikan kelakuan