Rasanya Luna ingin memaki Brian yang selalu melakukan apa pun sesukanya. Bagaimana bisa Brian meminta Adrian datang ke rumah hanya untuk mengambil bekal makan siang buatan Luna."Brian yang memintanya." Adrian masih berusaha meyakinkan Luna yang tidak mudah percaya."Lebih baik Anda siapkan secepatnya, saya tidak memiliki banyak waktu," ujar Adrian, memperingatkan Luna yang hanya menatap tak percaya pada Adrian."Tetap saja, mengapa harus merepotkan aku, kau bisa membeli makanan di luar. Ada banyak restauran yang menyajikan makanan enak. Kau bisa langsung memesan dan membawanya pada Brian saat itu juga," protes Luna, enggan melakukan perintah Adrian."Andai saja Brian mau, saya tidak akan membuang-buang waktu untuk kemari, Nona Luna yang terhormat," geram Adrian, sudah cukup ia merasa kesal dengan perintah Brian yang tiba-tiba ini, sekarang ia malah semakin kesal dengan Luna.Entah mengapa, Kesialan Adrian terasa lengkap jika Luna ada di dekat Brian. Karena saat itulah, pekerjaan Adria
Luna menatap nanar pada makanan yang sudah ia sajikan. Brian sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu, dan Luna belum juga beranjak dari tempatnya berdiri."Apa yang aku pikirkan, ini adalah hal biasa. Mengapa aku harus terbawa perasaan, aku ada di sini hanya untuk bekerja. Ingat itu Luna." Berusaha menolak rasa gundah yang menghampiri, Luna menyadarkan diri dengan kenyataan yang ada."Aku bisa memakan semuanya sendirian," gumamnya, berusaha menenangkan perasaan dari dalam hatinya yang terasa bergejolak.Dalam diam, Luna berusaha memasukkan banyak makanan ke dalam mulutnya. Mengunyah dengan pelan, meski rongga mulutnya terasa kaku tak ingin bergerak.Dan Luna merasa kesulitan hanya untuk menelannya. Seolah tertahan, dan terasa sulit untuk sekedar ia cerna. Makanannya terasa mengganjal di kerongkongan."Aku akan memakannya, nanti," ucap Luna akhirnya, tidak ingin memaksakan diri, atau ia akan terlihat begitu menyedihkan.Bukan karena apa, Luna hanya merasa usahanya tidak dihargai. Lun
Keasikan bermain dan mengunjungi beberapa tempat hanya untuk sekedar memanjakan mata, Luna jadi lupa waktu dan baru pulang saat sudah jam delapan malam. "Seharusnya kalian pulang tepat waktu. Kalian juga tidak memberi kabar, membuat khawatir saja. Bagaimana jika tidak ada pengawal yang mengikuti kalian," omel Brian, segera menghampiri Luna dan Bintang yang baru saja turun dari mobil.Brian sengaja menunggu mereka di halaman rumah, sehingga Brian bisa langsung melihat mobil yang membawa Luna dan Bintang masuk ke pekarangan."Papa, tidak boleh marah-marah!" protes Bintang, menjadi garda terdepan yang bisa melawan Brian."Bintang harus banyak istirahat, seharusnya kau ingat itu baik-baik." Brian sengaja tidak menghiraukan Bintang dan hanya fokus pada Luna yang tampak merasa bersalah."Papa!" teriak Bintang, tidak terima saat sang ayah tidak sedikit pun menggubrisnya, "papa jangan lagi memarahi mama! Tadi siang mama sudah menangis karena melihat papa bersama Bibi Sely, jadi papa tidak bol
"Kau belum menjawab pertanyaan Bintang, apa kau tidak memiliki rasa apa pun terhadapku?" tanya Brian, ia masih juga penasaran akan jawaban yang kiranya akan diberikan Luna."Kau ingin memakai yang mana? Biru gelap atau hitam?" Luna tidak menjawab pertanyaan Brian, ia mengalihkan dengan menunjukkan dua setelan untuk dipilih Brian.Menyadari bahwa Luna mencoba menghindar, Brian hanya tersenyum kecut. Memangnya apa yang sebenarnya diharapkan Brian, disaat ia kini dekat dengan Sely."Siapkan beberapa, dan masukkan ke dalam koper," ujar Brian. Ia beranjak dari sofa tempatnya duduk dan berjalan menuju ruang ganti pakaian."Apa kau ingin pergi…." Luna tidak melanjutkan ucapannya, terkejut karena ternyata Brian sedang memakai pakaian. Buru-buru Luna keluar dari sana."Mengapa dia tidak mengatakan kalau sedang berpakaian," ringis Luna, "mataku hampir saja ternodai," gumamnya lagi.Padahal Luna sudah sering melihat Brian yang hanya bertelanjang dada, dengan sebuah handuk yang melilit bagian bawa
"Aku dan Adrian akan pergi ke kantor cabang dulu, kau bisa istirahat dengan Bintang. Atau, kalau kau ingin jalan-jalan, kau bisa meminta pengawal untuk menemanimu," ucap Brian, ia mengecup puncak kepala Luna sebelum pergi. Hal yang sama juga ia lakukan pada Bintang yang tengah tertidur."Baiklah, hati-hati," ujar Luna pelan, ia masih juga merasa canggung jika harus berinteraksi lebih dekat dengan Brian."Hm, aku pergi dulu," pamit Brian, segera pergi.Setelah kepergian Brian, Luna berjalan ke arah jendela. Melihat keindahan alam yang masih sangat segar, dimana udara bisa dihirup bebas tanpa adanya polusi.Sekarang ini, Luna sudah berada di kota yang menjadi tempat tujuan mereka berpergian. Sebuah pusat kota yang masih sangat asri karena alam yang masih dijaga dengan begitu baik."Apa aku berjalan-jalan di sekitar sini dulu, sebelum Bintang bangun," gumam Luna, melirik Bintang yang tertidur nyenyak.Setelah mempertimbangkan dengan baik, Luna memutuskan untuk pergi dan melihat-lihat pema
"Terima kasih, sudah datang menyelamatkan aku," ujar Luna pelan.Brian tidak menjawab, ia hanya memeluk Luna dan menyandarkan di dadanya. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan untuk kembali ke hotel.Brian ingin membawa Luna ke rumah sakit, melihat keadaan Luna yang pucat dan lemah. Luna bahkan sempat pingsan selama beberapa menit, membuat Brian kalang kabut meminta bantuan. Untung saja, tidak berselang lama Luna kembali sadar, meski keadaannya tetap saja sangat lemas.Akan tetapi, Luna menolak untuk dibawa ke rumah sakit dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. Selain itu, Luna juga mengingat Bintang yang mereka tinggalkan sendirian di hotel."Bintang pasti mencariku," ujar Luna. Bintang adalah orang pertama yang diingatnya, mengingat ia meninggalkan Bintang sendirian di hotel."Tenang saja, ada pengawal yang menemaninya." Meski Brian juga khawatir karena sempat melupakan Bintang, tapi ia berusaha tetap tenang agar Luna juga bisa tenang.Brian bahkan baru mengingat Bintang saat Lun
"Brian, hentikan!" Luna berusaha menjauhkan wajah Brian, namun Brian begitu kuat merengkuh Luna."Brian! Bagaimana jika Bintang tiba-tiba pulang dan melihat kita," keluh Luna, masih juga berusaha menghentikan aksi Brian."Aku sudah mengirim pesan pada Adrian, agar ia tidak cepat pulang," jawab Brian disela-sela kegiatannya. Pada akhirnya, Luna hanya bisa pasrah di bawah Kungkungan Brian. Dan tentu saja Brian merasa senang jika Luna jadi penurut seperti sekarang, tidak lagi memberontak dan mencoba mencari alasan.Namun, ada saja gangguan yang datang. Brian terpaksa menghentikan kegiatannya dan mendengus, mengucapkan sumpah serapah pada orang yang terus membuat ponselnya berdering."Sely?" Brian mengernyitkan keningnya, melihat nama Sely terpampang di layar ponselnya.Melirik ke arah Luna yang menatapnya, Brian memilih menjauh untuk berbicara dengan Sely. Ia merasa kalau hal ini adalah penting, tidak biasanya Sely menelpon berulang kali.Berbeda dengan Luna, ia hanya menatap Brian yang
"Anda sudah datang?" tegur Adrian saat ia melihat Brian yang baru saja masuk ke ruang rawat inap yang ditempati Sely saat ini.Kecelakaan yang menimpah Sely tidak begitu parah, hanya ada beberapa luka kecil di bagian tangan juga kakinya. Sehingga Sely hanya mendapat perawatan untuk luka ringan. Selebihnya, Sely baik-baik saja.Hanya saja, Brian yang berlebihan karena merasa khawatir. Panggilan telpon dari orang tua Sely membuat Brian tidak bisa tenang jika keadaan Sely belum benar-benar membaik."Bintang sudah tidur?" tanya Brian, mengusap rambut Bintang yang berbaring di sofa, tempat Adrian ikut duduk."Dia tidur setelah menangis, Bintang terus mencari Luna," ujar Adrian."Bagaimana dengan Luna, mengapa Anda tidak membawanya kemari," ujar Adrian lagi, melihat Brian yang hanya datang sendiri, bukankah lebih baik jika Brian membawa serta Luna bersamanya. Dari pada Brian meninggalkan Luna sendirian di rumah.Brian hanya menghela napas, ia memilih duduk terlebih dahulu. Sangat jelas bahwa