Luna tertegun, melihat wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya. Meski sudah pernah bertemu sebelumnya, namun Luna merasa auranya kali ini berbeda."Iya, Bi," ujur Luna gugup, berjalan mendekati Bibi Megan yang menatapnya. "Omah." Bintang yang juga melihat kehadiran sang nenek, segera berlari dan memeluknya."Omah, Bintang rindu pada omah. Mengapa omah tidak pernah lagi menemui Bintang?" oceh Bintang, mengutarakan kerinduan pada sang nenek yang baru ditemuinya lagi setelah sekian lama.Bibi Megan tidak menjawab, namun Ia membawa Bintang untuk ikut bersamanya, berjalan keluar dan meninggalkan ruangan Brian. Begitu pula dengan Luna, Ia mengekor di belakang Bibi Megan."Bintang bisa bermain dengan paman ini." Bibi Megan menunjuk pada asistennya yang segera menghampiri, "paman ini memiliki banyak mainan untuk Bintang," ujar Bibi Megan."Benarkah?" Mendengar kata mainan sudah cukup membuat Bintang langsung tersenyum dengan cerah, menghampiri asisten Bibi Megan yang mengeluarkan banyak
"Apa yang aku pikirkan? Mengapa ini terasa menyakitkan!" bisik Luna pada dirinya sendiri, sesekali menekan pada dadanya yang membuat ia merasa sesak."Mengapa aku sangat bodoh, padahal aku tahu kalau semua ini pasti akan terjadi. Aku sudah sekuat tenaga menghindar, mengapa tetap saja aku jatuh ke dalamnya." Luna berulang kali mengusap wajahnya yang sudah dibanjiri oleh air mata.Setelah bertemu dengan Bibi Megan di restauran, Luna tidak langsung pulang ke kantor Brian. Luna mencoba untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Sedangkan Bibi Megan sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu.Untung saja, Bibi Megan memesan ruangan VIP. Sehingga tidak perlu ada orang lain yang melihat Luna menangis. Bukankah itu akan jadi lebih menyedihkan, menangis dan ditatap oleh beberapa orang dengan perasaan penasaran. Dan saat kau mencoba mengatakan kalau kau baik-baik saja dengan senyuman. Namun air matamu terus mengalir, seolah tidak merestuimu untuk berbohong.Karena itulah, Luna lebih memilih untuk
"Sayang, kamu marah?" tanya Brian sembari memeluk Luna, mengikuti setiap gerakannya yang berjalan ke sana-kemari.Setelah kepulangan mereka dari kantor Brian, kemarin. Brian merasakan ada yang berbeda dari Luna. Seolah Luna menyembunyikan sesuatu darinya. Luna juga jadi lebih banyak diam dan acuh padanya.Brian sudah berulang kali bertanya, namun Luna tak menjawab. Terkadang menjawab tapi hanya sebatas deheman. Brian sendiri tidak bisa menerka-nerka, alasan dibalik diamnya Luna."Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padamu, dan aku tidak ingin mengatakan sesuatu saat itu," ujar Brian memberi pembelaan atas diamnya saat Luna bertanya. Sepertinya, hanya alasan itu yang membuat Luna jadi sedikit berubah. Karena Brian tidak menjawab pertanyaannya yang kemarin."Memangnya kamu ingin aku mengatakan apa, hm?" tanya Brian lagi.Brian merasa bingung dengan sikap Luna yang tiba-tiba berubah. Brian bahkan tidak tahu dimana letak kesalahannya, mengapa Luna tiba-tiba bersikap cuek seperti dulu
Melihat bagaimana Luna yang mengangguk pelan, membuat Brian bingung. Meski selanjutnya ia kembali menyaksikan Luna yang menggerakkan kepalanya, menggeleng."Aku hanya sedih untuk suatu hal, bukan karena kamu," ujar Luna sembari memberikan seulas senyuman pada Brian, menunjukkan pada Brian kalau bukan Brian yang membuatnya menangis. Tapi, dirinya sendiri."Benar?" tanya Brian, dan Luna mengangguk sebagai jawaban."Jangan berbohong, katakan padaku yang sebenarnya. Jika ada hal yang membuat kamu tidak suka dengan apa yang aku lakukan, katakan langsung padaku. Agar aku bisa memperbaikinya," ujar Brian sembari menggenggam erat tangan Luna, meminta Luna untuk percaya padanya.Luna kembali tersenyum. Bukan senyum bahagia, tetapi bukan pula senyuman yang menunjukkan kekecewaannya. Luna sendiri tak tahu, alasan mengapa ia tersenyum saat mendengar pernyataan yang disampaikan oleh Brian."Aku…." ragu, Luna berucap dengan sesekali menatap wajah Brian."Kenapa, hm? Katakan saja," ujar Brian lembut.
Brian, sedekat apa pun Luna dengannya, Luna tidak benar-benar tahu latar kehidupan Brian. Dan, Brian juga tidak pernah tertarik untuk menceritakan pada Luna. Hanya tentang Bella, sang saudara kembar yang pernah diceritakan. Selebihnya, Luna hanya tahu beberapa. Itu pun hanya menerka-nerka.Brian, ia seolah membuka akses untuk Luna. Namun, ia jelas memberi batasan untuk hal-hal yang tak seharusnya bisa dijangkau Luna.Seperti sebelumnya, Brian lagi-lagi tak menjawab pertanyaan Luna yang menanyakan tentang sosok dokter Rio. Brian hanya menghindar dan mengalihkan pembicaraan.Meski sekarang, Luna juga tidak lagi begitu penasaran. Ah, kadang kala Luna memang masih sering kelepasan dan melupakan batasan diantara mereka. Seharusnya, Luna mengingat hal itu setiap saat, agar ia tidak lagi begitu lancang menanyakan hal-hal yang tidak seharusnya dia tahu."Brian, lihatlah. Aku hanya mengganggu kamu jika aku ikut ke kantor," ujar Luna pelan, memainkan jari-jemarinya di kepala Brian yang berada di
Senyum cerah tak juga luntur dari wajah Luna, meski sedari tadi Brian memerintahkannya untuk melakukan banyak hal. Namun, Luna menurutinya dengan senang hati."Kamu begitu bahagia, hanya karena aku memperbolehkanmu untuk bekerja?" tanya Brian sembari tersenyum memandangi Luna yang memasangkan dasinya. Senyuman Luna bahkan membuat Brian tertular untuk menarik sudut bibirnya ke atas."Iya, aku sangat senang." Luna bahkan memberikan sebuah kecupan di pipi Brian, membuat Brian mematung.Untuk pertama kalinya, Luna melakukan itu. Bahkan tanpa diminta oleh Brian, dan Brian merasa sangat senang sehingga ia membalas dengan mengecup pipi Luna berulang kali."Sudah, aku juga harus membantu Bintang bersiap," ujar Luna sembari mendorong Brian, dan membuat Brian langsung mendengus.Luna lalu berjalan menuju kamar Bintang. Tadi, Bintang sudah mandi sendiri, seharusnya sekarang sudah selesai. Dan benar saja, Bintang bahkan sudah memakai seragam sekolahnya, meski jadinya tidak begitu rapi karena ia m
"Brian, mengapa hanya menatapku seperti itu," tegur Luna, "panggil Bintang, mengapa dia tidak juga membuka pintu kamarnya." Luna mulai khawatir, Bintang bahkan tidak menyahut dari dalam sana.Seolah tersadar, barulah Brian ikut menyerukan nama Bintang sembari mengetuk pintunya."Bintang," panggil Brian, namun lagi-lagi tidak ada sahutan dari Bintang."Bintang, buka pintunya sayang. Mama sedih kalau Bintang tidak membuka pintunya," ujar Luna, ia bahkan memasang ekspresi sedih di wajahnya, seolah Bintang akan melihatnya."Bintang!" Suara Brian naik beberapa oktaf, saat tidak juga mendapat jawaban dari Bintang. Rasa khawatir mulai menyerangnya.Brian yang mulai resah dan khawatir, berniat menabrakkan tubuhnya pada pintu, mendobrak. Namun, Luna menahannya."Kamu tidak memiliki kunci lain?" tanya Luna.Luna menyayangkan jika pintu harus didobrak dan mengalami kerusakan. Selain itu, Luna juga khawatir jika saja Bintang ada di balik pintu, dan Bintang akan terluka.Brian tidak menjawab, namun
"Saya akan menunggu Anda di kantor, dan saya harap Anda tidak lagi.…" Adrian berdehem, sebelum melanjutkan ucapannya, "tidak lagi memakan bibir." Adrian tampak menahan tawa saat menyentuh bibirnya, ia bahkan tidak melanjutkan ucapannya dan hanya tertawa."Pergi kau, sia*an!" ketus Brian saat Adrian lagi-lagi menggodanya.Luna bahkan tidak ingin keluar saat mengetahui bahwa yang datang adalah Adrian. Luna merasa malu, belum lagi kemarin saat Bintang dengan terang-terangan mengadu pada Adrian tentang apa yang dilihatnya. Rasanya Luna ingin menghilang saat itu juga. Untung saja saat itu Adrian memiliki penjelasan untuk mengelabuhi Bintang, agar tidak mempermasalahkan hal tersebut. Tapi, setelah itu, Adrian tertawa begitu keras dan mendapat lemparan bantal sofa dari Brian.Lagi pula, itu memang kesalahan mereka. Seharusnya mereka lebih hati-hati dalam melakukan sesuatu."Baik, sampai ketemu di kantor." Adrian pergi dengan sisa tawanya yang masih mengudara.Hari ini, Adrian datang diwaktu